Siasat Rekonsiliasi dalam Kumpulan Cerpen
Fungsi sosial sastra (dalam hal ini cerpen) yang dibayangkan oleh Jauss sangat beragam telah dipangkas oleh editor menjadi fungsi politis, yang dipangkas lagi menjadi fungsi pemenuhan hak-hak asasi dan rekonsiliasi.
Judul Buku: Perempuan dan Anak-anaknya: Membaca Cerpen tentang Tragedi Masa Lalu.
Editor: Yoseph Yapi Taum dan Antonius Sumarwan, SJ
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan: Pertama, Maret 2021
Tebal:xxvi + 342 hlm
ISBN :978-602-481-549-3
Kumpulan cerpen ini unik karena, pertama, berisi ceritera dengan tema peristiwa politik tertentu, yang sangat menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia di kemudian hari, yaitu ”peristiwa G30S”. Kedua, karena editor dengan sangat sadar menggunakannya untuk membangun sebuah kesadaran politis tertentu, yang akan berujung pada aksi politik tertentu, yaitu perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia, khususnya hak-hak mereka yang menjadi ”korban” peristiwa G30S tersebut.
Para editor—Dr Y Yapi Taum dan A Sumarwan, SJ, keduanya staf ahli Pusat Studi Demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia (Pusdema), Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta—dengan sengaja mengajak para pembaca untuk memaknai cerpen-cerpen di situ sebagai cerpen ”politik”, dan membacanya dengan niat dan perspektif politik pula.
Untuk melegitimasi apa yang mereka lakukan, editor memanfaatkan pandangan Jauss (1970: 31) tentang fungsi sosial sastra. Fungsi ini ”menjadi nyata hanya ketika pengalaman sastrawi dari seorang pembaca masuk ke dalam cakrawala harapan hidupnya, membentuk cara dia memahami dunia, dan karena itu berpengaruh pada tindakan sosialnya”.
Cakrawala harapan dalam sastra ini berbeda dengan cakrawala harapan dalam dunia nyata: ”karena sastra tidak hanya mengabadikan pengalaman nyata, tetapi juga mengantisipasi kemungkinan yang belum terlaksana, memperluas batasan tingkah laku sosial dengan memunculkan harapan baru, tuntutan baru, dan tujuan baru, dan dengan itu membuka jalan bagi pengalaman pada masa depan.”
Dua belas cerpen berhasil dihimpun editor. Semua ditulis pada masa awal Orde Baru (1966-1970) dan pernah diterbitkan di majalah Horison atau Sastra ketika narasi peristiwa 1965 versi rezim ini belum kuat berakar dalam masyarakat.
Isi cerpen beragam, tetapi bukan tanpa kesamaan di sana-sini. Ada cerpen tentang pelaku yang bermaksud menolong keluarga tokoh PKI meskipun dia sendiri adalah korban tindakan tokoh tersebut (”Perempuan dan Anak-anaknya”); pelaku yang berada dalam situasi sulit karena harus menindak kenalan dekatnya yang anggota PKI (”Pada Titik Kulminasi”); pelaku yang dianggap sebagai PKI, yang kemudian kena ciduk (”Musim Gugur Kembali di Connecticut”); pelaku yang bukan anggota PKI, tetapi terpaksa bersembunyi untuk menyelamatkan diri (”Bawuk”); atau yang kemudian bunuh diri akibat kesedihan yang tak tertanggungkan karena orang yang dicintainya mati dibunuh oleh massa yang anti-PKI (”Malam Kelabu”).
Mengikuti saran editor, selesai membaca saya mencoba melakukan refleksi atas apa yang terjadi pada pikiran dan perasaan saya. Ternyata, bukan simpati terhadap para ”korban”, melainkan justru kepada para tokoh yang berada dalam situasi ”perang”, baik yang kemudian terlibat langsung maupun tidak, atau malahan menjadi korban dari perang itu sendiri.
Mereka yang berani mengambil risiko tidak berperang melawan saudaranya, atau bahkan berani melindunginya; atau yang memilih mati mengikuti saudaranya. Mungkin orang akan menilai bahwa saya—yang ketika peristiwa G30S terjadi masih duduk di kelas 5 SD—telah terhegemoni oleh ideologi Orde Baru. Mungkin saja.
Akan tetapi, bagi saya, pertanyaan yang lebih penting adalah mengapa hegemoni tersebut berhasil mengakar begitu kuat? Jawabannya tidak dapat diperoleh hanya dengan menelisik berbagai siasat politik dan militer rezim Orde Baru, tetapi dengan mengetahui dan memahami secara komprehensif situasi dan kondisi sosial-ekonomi-budaya-politik masyarakat Indonesia di tahun 1965 dan sebelumnya. Inilah yang gagal dicapai oleh masyarakat kita dan kebanyakan ilmuwan sosial-budayanya hingga sekarang.
Siasat editor untuk meningkatkan fungsi sosial kumpulan cerpen ini sangat layak dihargai. Pemanfaatannya sebagai sarana untuk membangun kesadaran sosial-politik tertentu merupakan terobosan baru dalam pembacaan sastra di Indonesia. Demikian pula penyertaan kuesioner yang cukup rinci untuk para pembaca walaupun secara metodologis kuesioner ini sangat terasa bias politiknya.
Dari sisi lain, pemanfaatan tersebut juga dapat dimaknai sebagai pengebirian atas potensi cerpen-cerpen di situ sebagai karya sastra yang mutifungsi. Tanpa sadar editor telah menjadi ”tukang sensor” atas kemungkinan cara pembacaan lain yang lebih luas.
Editor berasumsi bahwa masalah hak-hak asasi manusia para korban dan penyintas peristiwa 1965 serta rekonsiliasi adalah masalah yang paling penting. Asumsi ini mungkin benar jika berkenaan dengan peristiwanya, tetapi tidak benar jika itu berkenaan dengan karya sastra (atau seni lainnya) yang menyajikan peristiwa tersebut.
Meskipun semua cerpen di sini terkait dengan peristiwa 1965, hal itu tidak berarti bahwa pembacaannya, pemaknaannya harus selalu dihubungkan dengan peristiwa tersebut, atau pelanggaran hak-hak asasi manusia di dalamnya.
Ajakan editor di awal buku telah menyempitkan cakrawala harapan yang dapat muncul dari pembacaan kumpulan cerpen ini, yang sebenarnya jauh lebih luas daripada yang dapat kita bayangkan karena setiap pembaca memiliki cakrawalanya sendiri-sendiri.
Fungsi sosial yang dibayangkan oleh Jauss sangat beragam telah dipangkas oleh editor menjadi fungsi politis, yang dipangkas lagi menjadi fungsi pemenuhan hak-hak asasi dan rekonsiliasi. Sayang memang. Tetapi, itulah pilihan editor.
Heddy Shri Ahimsa Putra, Guru Besar Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta