Media merupakan bagian terpenting dari sistem politik dan sosial. Selain sebagai sumber informasi, menghibur, dan mendidik, media sekaligus menanamkan nilai-nilai masyarakat serta mengintegrasikannya ke dalam sistem sosial.
Media menyediakan ruang atau saluran bagi para politikus, kelompok kepentingan, dan publik untuk melangsungkan komunikasi. Memediasi berlangsungnya diskusi atau beradu argumentasi dan seperangkat saluran disediakan media untuk para politikus, partai politik, kelompok kepentingan, dan publik. Media menjadi sarana efektif dalam publisitas dan beradu pengaruh para aktor politik.
Hubungan pemerintah dan media sebagai institusi politik merupakan hal yang lazim dalam suatu sistem politk. Meski demikian, sifat hubungan itu bervariasi secara signifikan dalam sistem politik dan sistem komunikasi sosial yang berbeda. Buku Kamera Indonesia: Komunikasi Media & Penyiaran (Penerbit Buku Kompas, 2020) memuat narasi hubungan interaktif antara media dan pemerintah yang saling memengaruhi layaknya perebutan kekuasaan, khususnya memengaruhi agenda publik.
Pemerintah membutuhkan media untuk membentuk citra positif sebagai legitimasi atau pembenaran atas kebijakan mereka secara terbuka. Di sisi lain, media memanfaatkan sebagian besar informasi dari sumber resmi pemerintah sebagai bahan pemberitaannya.
Relasi kedua institusi itu menjadi narasi besar dari 47 karya ilmiah yang dipresentasikan dalam Seminar Nasional ”Kamera” (Komunikasi dan Media Penyiaran) pada 2019 di Padang, Sumatera Barat, dan dihimpun dalam buku ini.
Dalam kajian ”Dinamika Relasi Kuasa Negara dalam Membangun Bingkai Ekonomi di Media Siber Menjelang Pemilihan Umum Presiden 2019” diulas bagaimana pemerintah membentuk opini publik dengan cara mengelola media sibernya sendiri. Pengelolaan mandiri ini merupakan upaya strategis pemerintah mengomunikasikan pesannya, tidak hanya mengandalkan media konvensional yang terbatas cakupannya.
Seiring dinamika politik Indonesia, media penyiaran televisi juga mengalami perubahan. Televisi tidak lagi sekadar menyiarkan acara-acara informasi seputar kriminalitas, perselingkuhan, dan horor atau mistis. Semua diramu menjadi siaran propaganda politik. Politainment lantas menjadi gaya baru yang digunakan stasiun televisi untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam partisipasi politik.
Kajian ”Era Politainment Televisi Indonesia” menyoroti mayoritas lembaga penyiaran yang seolah-olah berafiliasi dengan salah satu partai politik karena pemiliknya terlibat dalam politik praktis. Fenomena ini juga tampak pada Pemilihan Presiden 2014, di mana media massa terbelah menjadi dua kubu.
Keterbelahan media massa ini dibahas secara mendalam dalam bab ”Televisi Prabowo dan Televisi Jokowi: Keberpihakan Media Penyiaran pada Pemilu 2014”.
Tak hanya membahas media massa mainstream, bunga rampai setebal 646 halaman yang disusun Komisi Penyiaran Indonesia bekerja sama dengan FISIP Universitas Andalas ini juga memaparkan bagaimana realitas dibangun melalui media sosial. (RENDRA SANJAYA/LITBANG KOMPAS)