”Sentimental Journey Yogya” dalam Novel Nostalgia
Novel ”Yogya Yogya” karya Herry Gendut Janarto ini semacam bacaan nostalgia yang memikat bagi pasar pembaca usia matang. Pengarang sengaja segmentatif dalam menyasar konsumennya.
Judul Buku : Yogya Yogya (Novel)
Penulis : Herry Gendut Janarto
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan: I. November 2020
Tebal: 243 Halaman
ISBN: 978-602-481-504-2
Benar juga ungkapan Nick Frederickson (The Washington Post), ”So, I close my eyes to old ends” (Jadi, saya tutup mataku untuk berakhir lama), ”And open my heart to new beginings” (Dan membuka hatiku untuk awal yang baru). Demikian pula Herry Gendut Janarto ketika menuliskan novel kenangan berjudul Yogya Yogya. Disebut ”novel kenangan” karena berkisah tentang masa sekolah menengah di SMA Kolese de Britto Yogya era 70-an. Pencatatannya sudah berlangsung selama 40 tahun, tetapi dieksekusi di era Covid-19 (sepanjang tahun 2019).
Jika kisahnya terjadi tahun 1977, andai ditarik maju, maka naskah ini baru ditulis sebagai karya fiksi 44 tahun kemudian. Herry Gendut benar-benar ”open my heart to new beginings”. Meski telah menulis banyak buku biografi, seperti Karlinah Umar Wirahadi Kusumah: Bukan Sekadar Istri Prajurit; Mien R Uno Menjadi Wanita Indonesia; Teguh Srimulat: Berpacu dalam Komedi dan Melodi; dan Matiur Panggabean: Bunga Panseur dari Balige, baru inilah novel pertamanya. Meski demikian, ini bukan novel biasa. Sebuah catatan masa lalu dengan jalinan psikologis yang cukup dalam.
Tersebutlah para tokoh yang menguatkan sasmita Jawa dengan memunculkan nama-nama, seperti Gayuh (tokoh utama, bahasa Jawa yang berarti raih), Suryo (kawan Gayuh, suryo dalam bahasa Indonesia berarti matahari), Ni Luh Putu Astini (istri Gayuh, Astini punya arti berbaik hati) dan Irma. Kelak Gayuh dikisahkan akan tersandung romantisisme masa silam dengan kekasih masa lalunya Irma, mengingatkan kita pada tokoh Robert Beckwith dan istrinya, Sheila dalam novel Man, Woman and Child karya Erich Segal (diterbitkan Harper Collins 1980).
Novel tersebut oleh sutradara Sophan Sophiaan (almarhum) diadaptasi ke film Indonesia berjudul Ayu dan Ayu (1988), mengisahkan jalinan cinta sepasang kekasih yang tidak berkelanjutan. Saat Robert berdinas ke luar kota, ia menemui Nicole Guerin, perempuan masa lalunya yang telah meninggal. Keduanya pernah menjalin affair beberapa tahun silam dengan meninggalkan seorang anak.
Pada Yogya Yogya, kemiripan terjadi, di tengah perkawinan Gayuh Widodo dan Ni Luh Astini, terselip kisah masa lalu antara Gayuh dan Irma. Namun, munculnya tokoh Evita sebagai putri Irma, tersirat tersamar. Ia anak Irma hasil hubungannya dengan Gayuh ataukah dengan pria lain.
Malioboro
Semula hanya sebuah acara reuni biasa di Yogya. Para alumni SMA de Britto yang lulus tahun 1977 melabeli reuni tersebut dengan nama MPK (Manuk Pulang Kandang). Filosofinya, mereka ini para alumni yang sudah saling tersebar. Beberapa sukses menjadi orang, yang lain hidup biasa saja di sejumlah kota.
Novel ini dibuka dengan judul bab Ziarah Malioboro (hlm 1-25). Di situlah cerita dibuka. Pertemuan sekelompok sahabat di Malioboro terdeskripsi dengan renyah. Gayuh datang dari Taman Yuwono dengan bertaksi, Suryo Leksono dari arah Jetis sampai di tempat dengan berbecak. Lantas Imron, Nurhimawan, dan beberapa kawan lain nimbrung dengan cara masing-masing. Terjadilah obrolan masa lalu penuh tawa. Tercuat kenangan indah, tetapi ada pula cerita pahit yang dikemas lucu.
”Let bygones be bygones, yang sudah berlalu biarlah berlalu,” desis Suryo sigap berirama plus gestur seperti layaknya aksi panggung seorang ramawan ulung (hlm 5). Namun, novel ini toh tak mampu lepas dari persoalan silam yang seharusnya bukan beban. Reuni SMA de Britto dengan tema ”MPK” perlahan menyodokkan persoalan.
Seorang remaja bernama Evita mendadak menemui Gayuh yang hadir bersama anak dan istrinya. Evita menyerahkan sepucuk surat penting dari Irma, sang mama. Isinya, ”…Gayuh, sudikah kau membantuku untuk membiayai sisanya? Semoga ini untuk terakhir kali aku mengganggu dan merepotkanmu ….” (hlm 64).
Irma, mengaku sahabat Gayuh, dalam surat itu mengatakan membutuhkan bantuan dana pengobatan Rp 15 juta dari keseluruhan biaya yang Rp 27 juta. Mulai dari situ, lembar demi lembar novel ini mengurai konflik halus. Meski Gayuh telah mengaku bahwa Irma hanya seorang sahabat lama, tetapi sudah beberapa kali ia memberi bantuan uang.
Gara-gara itu rencana mampir di angkringan batal dan jadwal perjalanan lanjut ke Bali terhambat. Kita membaca kisah cinta usia kaum manula. Pasti tidak perlu disakwasangkai akan tumbuh loving slowly bahkan sex slavery di sana. Yang tersisa hanyalah impak buruk yang kurang menenteramkan. Sebenarnya keluarga itu sudah saling menahan. Ni Luh Astini tidak bereaksi frontal dan Gayuh terpaksa menipu Astini mengenai Irma.
Cara pengarang melempar burn (membakar) terasa cermat. Hingga akhirnya akan kita dapati ucap hati Gayuh yang lirih sebagaimana dikutip di cover belakang novel, ”Bisakah rasa kangen diurungkan atau setidaknya ditangguhkan?” (hlm 26). Di Yogya ini, bertumpuk pertanyaan tentang Irma kembali berlompatan. ”Irma, how are you today?” gumam Gayuh dalam-dalam. Kadang secara tiba-tiba ia ingin menemui mantan pacarnya itu yang telah pindah dari Kampung Bumijo ke kawasan Kasongan sana…” (hlm 7).
Cinta masa silam menjadi premis penting pada Yogya, Yogya. Yang kemudian diselesaikan dengan ucapan lembut Astini, ”Pa, sudahlah. Mama sekarang sudah lebih mengerti dan bisa memahami soal itu.” Lantas dijawab Gayuh dengan hati lega, ”Di Yogya, bolehlah aku numpang bahagia.” (hlm 230).
Trilogi
Berakhirkah kisah Yogya Yogya? Ternyata baru permulaan karena Herry Gendut Janarto akan melanjutkan novel tersebut sebagai trilogi. Berikutnya akan ada dua judul yang menyertai, Sekeping Cinta Kuning dan Laut Cinta Tak Bertepi (masih bersama Kepustakaan Populer Gramedia). Herry optimistis triloginya akan sesuai jalur. Pada novel pertamanya, sang pengarang mengaku telah melayani pemesan bukunya sebanyak 500-an eksemplar. Para pemesan itu rata-rata sahabat lama dan mereka yang tinggal di Yogya.
Apa yang akan terjadi di sekuel berikut? Tentu sang pengarang masih belum ingin membuka rahasia. Yang pasti, trilogi ini masih setia pada genre romantisisme masa lalu. Herry mengaku ia tidak mungkin menulis novel picisan. ”Saya akan menulis kisah kaum manula secara matang,” ujarnya. Sambil ia menyodorkan beberapa potongan quotes yang dikutip dari novelnya. Sikap Gayuh yang selalu rindu pulang ke Yogya merupakan sentimental journey yang tak mudah dihapuskan. Masa lalunya bersama Irma merupakan glue yang tetap menempel.
Kehadiran cinta antara Gayuh dan Irma seperti membenarkan pepatah bahwa seseorang tidak mungkin tersandung gunung. Bahwa seseorang akan terantuk bebatu kecil merupakan sesuatu yang muskil dihindari. Bisa dibilang Gayuh manusia past tense, yang tiba-tiba dihadapkan pada rasa rindu masa silam.
Penceritaan novel ini mengingatkan saya juga pada karya YB Mangunwijaya (Burung-burung Manyar/ Penerbit Djambatan dan Romo Rahadi/ Penerbit Kanisius Yogya. Kedua novel tersebut dirilis pertama pada tahun 1981. Sebuah prosa fiksi dengan kekuatan psikologis pada para tokohnya. Novel yang tidak berlindung di balik kejadian besar dan setting yang spektakuler, tetapi terbangun dengan konflik yang sangat riskan. Sebuah genre yang dalam lima belas tahun terakhir sudah jarang kita temui di lapak fiksi Indonesia.
Halaman demi halaman ditulis sangat teratur, tanpa mengikuti teknik penulisan retrospektif yang biasanya konflik utama dimunculkan di paling depan. Herry Gendut Janarto terbiasa menyusun biografi sehingga bertutur linier lebih memudahkan pembaca dalam mengikuti ceritanya.
Novel Yogya Yogya semacam bacaan nostalgia yang memikat bagi pasar pembaca usia matang. Pengarang sengaja segmentatif dalam menyasar konsumennya. Semoga sekuel kedua dan ketiga lebih seru dari sekuel pertama.
Handrya Utama. Penulis Novel, kini Ketua Dewan Kesenian Semarang.