Kisah Hidup Marianna Sutadi Nasution, Perempuan Pertama Wakil Ketua MA
Buku ini memberi inspirasi tentang keteguhan dan dedikasi seorang hakim perempuan dalam menjalankan setiap tugasnya di dunia peradilan sebagai seorang hakim. Kisah Mariana Sutadi Nasution sungguh memberi inspirasi.
Oleh
DESI PERMATASARI
·2 menit baca
Hanya sedikit hakim yang bisa sampai pada puncak karier sebagai seorang Hakim Agung, bahkan duduk di kursi Wakil Ketua Mahkamah Agung. Untuk bisa menjadi Hakim Agung tentu dibutuhkan kompetensi, profesionalitas, dedikasi, dan loyalitas pada tugas di mana saja ditempatkan. Patuh pada penugasan, juga apabila harus berpisah dengan keluarga.
Proses panjang menapaki perjalanan karier juga peran sebagai seorang istri, ibu dalam keluarga yang penuh tantangan, menghiasi kisah hidup Marianna Sutadi Nasution dalam buku berjudul Senika Apa Berkutika: Jejak Langkah Wanita Pertama di Jajaran Pimpinan Mahkamah Agung (PT Gramedia Pustaka Utama, 2020).
”Senika apa berkutika, segala sesuatu ada waktunya”, kata-kata yang sering diucapkan neneknya itu menjadi prinsip dalam pengabdiannya di dunia peradilan. Promosi pertamanya sebagai seorang hakim adalah menjadi Ketua Pengadilan Negeri Malang tahun 1984. Lima belas tahun kemudian, tepatnya pada 27 September 1995, ia diangkat menjadi hakim agung. Kariernya makin menanjak dengan pengangkatannya menjadi Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial pada 19 Juli 2004.
Wanita pertama yang menduduki jabatan wakil ketua itu mengenang perang batin yang dialaminya mengiringi promosi pertamanya. Kegembiraan dan kesedihan bercampur karena harus meninggalkan keluarga. Izin tertulis dari suami, sebagai syarat, telah dikantonginya. Hal terberat adalah ketika harus meninggalkan anak-anaknya. Tetesan air mata kedua anaknya tidak terbendung saat mengetahui ibunya harus bertugas ke luar kota untuk waktu yang cukup lama.
Lambat laun berpindah tugas menjadi bagian perjalanan karier wanita kelahiran 12 Oktober 1941 itu. Tersimpan peristiwa berkesan saat Marianna bertugas di Pengadilan Tinggi Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Di sana tidak tersedia rumah dinas sehingga harus mencari tempat tinggal sendiri. Gaji nya pun terkuras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Wanita yang sudah 44 tahun berkecimpung di dunia peradilan ini pernah dilaporkan ke KomisI Yudisial karena diduga menerima suap saat menangani perkara sengketa tanah di Kelapa Gading, Jakarta. Namun, laporan tersebut tidak terbukti dan perkara dihentikan pada 1 Februari 2006.
Setelah memasuki masa pensiun 1 November 2008, penerima Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera ini mendapatkan mandat sebagai Duta Besar Romania dan Republik Moldova. Dalam masa tugas yang diembannya sampai 30 Desember 2013, ia sempat menyelesaikan perjanjian diplomatik terkait dengan bebas visa bagi pemegang paspor diplomatik dan paspor dinas. (DESI PERMATASARI/LITBANG KOMPAS)