Jalan Baru di Tengah Ketidakpastian
Untuk membangun “Jalan Baru” sungguh butuh perubahan radikal. Buku ini memberi sumbangan berarti, tak hanya pada tataran konseptual atau teoretik (epistemologis) tetapi juga pada tataran teknis-metodologi.
Judul: Jalan Baru Kepemimpinan & Pendidikan: Jawaban atas Tantangan Disrupsi-Inovatif
Penulis: Haryatmoko
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2020
Tebal: xvi + 212 halaman
ISBN: 978-602-06-4739-5
Dunia tengah dirundung ”ketidakpastian”. Ketidakpastian menjadi sumber kegalauan banyak orang dan pemimpin, dan menjadi ancaman setiap bentuk kemapanan, termasuk sistem pendidikan.
Salah satu faktor penyebab kecemasan orang hari-hari ini adalah kabar terjadinya mutasi virus Covid-19 yang ditemukan para ahli epidemiologi di berbagai negara. Mutasi virus terjadi pada saat dunia tengah disibukkan program vaksinasi. Masa depan terasa masih gelap.
Faktor penyebab ketidakpastian yang lebih mendasar dan sebenarnya telah berlangsung jauh sebelum pandemi Covid-19 merebak ke seluruh dunia adalah terjadinya Revolusi Industri 4.0, yang secara radikal telah mengubah seluruh aspek kehidupan, baik bidang ekonomi, sosial, budaya, maupun politik.
Revolusi industri yang sedang berlangsung hingga saat ini melahirkan terjadinya ”disrupsi digital”, yang mengakibatkan masa depan tak lagi mudah diprediksi.
Situasi masyarakat dunia yang dihantui ketidakpastian inilah yang menjadi narasi besar pembahasan dalam buku ini.
Alih-alih meratapi berbagai perubahan yang memorakporandakan segala kemapanan, terutama dunia bisnis dan industri, Haryatmoko menawarkan suatu bahan diskusi mendalam dan komprehensif untuk bersama-sama menyikapi secara positif perubahan radikal yang sedang berlangsung.
Ada dua hal yang menjadi tema utama pembahasan, yakni model kepemimpinan dan sistem pendidikan yang bagaimana yang dapat menjawab tantangan zaman. Mengubah ancaman menjadi kesempatan (hlm xi-xii).
Seperti tertulis pada judul, buku ini ingin mengajak kita bersama-sama membangun ”Jalan Baru” untuk menghadapi tantangan era disrupsi-inovatif. Suatu era yang sama sekali baru dan memaksa kita melakukan perubahan radikal atau paradigmatik dalam banyak aspek kehidupan kita. Era disrupsi-inovatif itu dijelaskan secara mendalam pada Bab I.
Berlanjut pada Bab II, Haryatmoko menawarkan suatu model kepemimpinan baru yang relevan dengan era disrupsi-inovatif. Model kepemimpinan penting dibahas secara khusus karena di tengah ketidakpastian dibutuhkan pemimpin yang bukan hanya cerdas membaca tanda zaman tetapi mampu bergerak dinamis menggerakkan organisasi secara kreatif serta inovatif sekaligus membangun harapan. Bukan menambah kecemasan.
Perubahan radikal model bisnis dan kepemimpinan pada era disrupsi-inovatif tidak mungkin terjadi tanpa diikuti perubahan mendasar model pendidikan yang bisa menjawab tuntutan baru dunia kerja. Gagasan tentang orientasi baru sistem pendidikan panjang lebar dibahas di bagian kedua, yaitu Bab III dan IV.
Lalu buku ini diakhiri dengan materi khusus tentang kaitan antara sistem pendidikan dengan permasalahan yang berkembang pada era post truth. Isu yang sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia yang tengah menghadap radikalisme agama, selain disrupsi digital dan pandemik Covid-19.
Model kepemimpinan
Di tengah situasi ketidakpastian dibutuhkan pemimpin yang mampu menjadi inspirasi membangun harapan organisasi. Bukan sebaliknya, menjadi sumber kecemasan baru yang memadamkan nyala api semangat organisasi, dengan memproduksi situasi masa depan organisasi ”akan lebih buruk”.
Pada Bab II buku ini Haryatmoko menguraikan secara mendalam model kepemimpinan yang dibutuhkan dalam menjawab tantangan disrupsi digital. Gagasan pokok bagian ini adalah adanya kebutuhan pemimpin yang memiliki kemampuan mengubah ancaman, terutama menghadapi ketidakpastian menjadi kesempatan atau peluang.
Bukan tipe pemimpin yang single fighter yang dibutuhkan, tetapi yang bisa membangun tim yang kompak dan terbuka untuk berkolaborasi. Mengapa kapasitas kolaborasi atau kerja sama sangat penting karena perubahan ke arah inovasi, yang umumnya akan melahirkan inovasi-inovasi baru berikutnya dalam suatu kompetisi, mulai dengan menumbuhkan kecerdasan kolektif.
Kecerdasan kolektif terbentuk jika organisasi memiliki tim kerja yang punya kemampuan berpikir kritis, problem solving, kemampuan adaptasi, bertanggung jawab, kemampuan berkomunikasi efektif, terampil dalam manajemen informasi, dan mampu bekerja sama menggerakkan organisasi secara produktif.
Masalahnya kemampuan-kemampuan kualitatif itu menurut Haryatmoko tidak mungkin tumbuh di dalam organisasi yang hierarkis. Maka organisasi/ perusahaan juga harus beradaptasi dengan tantangan zaman yang bersifat disrupsi-inovatif, yang mampu membentuk tim-tim kerja yang ramping serta lincah.
Model pendidikan
Perubahan radikal model bisnis dan kepemimpinan pada era disrupsi-inovatif, menurut Haryatmoko, menuntut perubahan mendasar pula dalam bidang pendidikan. Lembaga pendidikan harus bisa merespons perubahan dengan menyiapkan model pendidikan yang adaptif, yang mampu menyiapkan orang muda untuk menghadapi masa depan.
Visi pendidikan yang akan menjadi orientasi bekerja harus tajam dan relevan. Haryatmoko mengusulkan agar visi pendidikan jelas tegas untuk membentuk orang muda berkepribadian yang berintegritas, kreatif, dan inovatif. Visi ini dimaksudkan untuk menjawab tantangan profesionalisme pekerjaan dan ketidakpastian era disrupsi-inovatif (hlm 74-75).
Ada tujuh rumpun keterampilan yang dibutuhkan pada era disrupsi-inovatif yang harus menjadi bekal orang muda, dan dibahas secara mendalam di Bab III. Keterampilan pertama, kemampuan menyampaikan gagasan baik tulisan, lisan, maupun visual; menyederhanakan gagasan, dan coding literacy.
Kedua, keterampilan dalam penalaran analitis dan kritis. Ketiga, keterampilan komunikasi dan akses ke informasi. Keempat, keterampilan di bidang teknologi informasi. Kelima, keterampilan manajemen organisasi yang mudah berubah bentuk. Keenam, keterampilan perencanaan dan pengorganisasian dalam kerangka inovasi. Ketujuh, keterampilan operasional yang menuntut coding proficiency.
Keterampilan coding literacy dan coding proficiency tentu tidak lepas dari kenyataan era disrupsi-inovatif sangat dipengaruhi oleh perkembangan cepat teknologi digital dalam sendi-sendi kehidupan masa kini dan masa depan. Keterampilan memprogram komputer menjadi keterampilan dasar atau komunikasi yang menentukan dalam hidup sehari-hari.
Mentalitas komputasi menjadi kunci masuk ke dunia kerja, sekaligus syarat inovasi. Coding menjadi kompetensi inti dunia inovasi-disruptif lantaran interaksi dimediasi oleh komputer, baik di pasar kerja maupun dalam pemecahan masalah teknis terhadap logika instrumental teknologi jejaring.
Hal ini tentu sangat nyata dialami dalam masa pandemik, ketika interaksi langsung satu sama lain dibatasi dan hanya dimungkinkan melalui sarana komunikasi berbasis teknologi digital (hlm 79).
Tidak berhenti pada keterampilan penggunaan teknologi digital, lembaga pendidikan juga menyiapkan pembelajar terampil dalam manajemen organisasi ”simpul-jejaring-jala ikan” (mudah berubah bentuk). Manajemen di era disrupsi-inovatif memiliki tiga ciri menonjol.
Ciri pertama, tidak hierarkis, sentralistis, atau desentralistis, tetapi mengandalkan jaringan komputer yang tersebar. Tidak ada pusat karena perkembangan bermula dari pinggiran dan tidak hierarkis.
Ciri kedua, struktur organisasi seperti jala ikan di atas perahu, setiap simpul merepresentasikan pemimpin potensial. Jadi, tidak ada pemimpin tunggal dalam sistem komando yang kaku. Hierarki bisa datang dan pergi kapan pun sejauh dibutuhkan. Otoritas bergerak melampaui sistem hierarki. Jaringan digital mirip dengan tali-temali dan simpul di jala ikan.
Ciri ketiga, menekankan konektivitas, aliran gagasan, dan trust. Konektivitas antara bagian-bagian organisasi atau lembaga yang terpisah dimaksudkan untuk menumbuhkan trust. Aliran gagasan akan berjalan jika semua tim kerja terlibat aktif berinteraksi secara intens satu sama lain. Konektivitas juga membuka ruang tumbuhnya kecerdasan kolektif dalam organisasi, mendorong kreativitas dan inovasi.
Liberal arts
Kemampuan manajemen di tengah gerak perubahan serba cepat hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mendapat pendidikan kuat dalam liberal arts. Mereka adalah para pembelajar yang selalu siap untuk terus belajar atau terbuka terhadap hal-hal baru, tetapi berbekal kemampuan bernalar kritis terhadap diri sendiri serta lingkungannya (hlm 89-92).
Pembekalan dalam liberal arts yang dimaksud Haryatmoko adalah proses belajar yang menekankan perkembangan daya mental/karakter peserta didik, serta semua sumber daya pemikirannya.
Pada zaman Yunani Kuno liberal arts meliputi gramatika, logika, retorika, aritmetika, geometri, teori musik, dan astronomi. Sekarang, liberal arts terdiri atas sastra, filsafat (termasuk logika), matematika, ilmu sosial, dan ilmu alam. Di Yale University liberal arts meliputi studi politik atau kewarganegaraan, ilmu budaya, logika, etika dan estetika, yang umumnya bukan kelompok materi kompetensi keahlian teknis tetapi karakter.
Di sini menariknya, Haryatmoko menunjukkan pentingnya peserta didik memiliki kemampuan nalar kritis, analitis, dan kreatif. Ketiga hal itu sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan big data. Banjir data atau informasi membutuhkan kecerdasan mengolah dan menganalisis secara kreatif untuk meningkatkan kinerja lembaga/perusahaan (hlm 82).
Menjadi masuk akal bila di dalam tim kerja atau organisasi membutuhkan kelancaran komunikasi dan kekuatan kolaborasi di antara simpul-simpul jejaring kerja. Butuh keluwesan dan terbuka pada perubahan yang setiap saat dapat terjadi.
Karena itu, tak ada pilihan ketika teknologi digital mengubah semua segi kehidupan, terutama terjadinya percepatan digitalisasi ekonomi, lembaga pendidikan perlu bergerak cepat mengubah model pembelajaran yang relevan dengan tantangan baru. Bahkan, kalau perlu dimulai dengan melakukan perubahan pola pikir pendidik.
Di era disrupsi-inovatif guru bukan sumber pengetahuan atau ilmu satu-satunya, Sistem pendidikan harus berubah. Untuk membangun ”Jalan Baru” sungguh butuh perubahan radikal. Buku ini memberi sumbangan berarti, tak hanya pada tataran konseptual atau teoretik, tetapi juga pada tataran teknis-metodologi.
Tantangan nyata lain yang juga mendesak mendapat perhatian, bagaimana menciptakan ekosistem pendidikan yang subur bagi tumbuh kembangnya model kepemimpinan dan pendidikan inovasi-disruptif di tengah banyaknya masalah pendidikan di negara kita. Selain adanya kesenjangan sarana fisik dan akses teknologi penunjang pendidikan, juga kesenjangan dalam ketersedian tenaga pendidik di tanah air, baik kuantitatif maupun kualitatif. (YKR)