Pelaku Usaha Toko Buku Bersiasat Menjaga Pemasukan
Sepinya aktivitas warga saat pandemi Covid-19 berimbas ke toko buku. Sebagian pelaku usaha merambah ke penjualan daring untuk bertahan. Sisanya mengandalkan pelanggan setia.
JAKARTA, KOMPAS — Sepinya aktivitas warga saat pandemi Covid-19 berimbas pada penjualan buku di toko buku. Situasi ini memaksa pelaku usaha mencari celah baru untuk memasarkan buku mereka.
General Manager Corporate Secretary PT Gramedia Asri Media Yosef Adityo, Senin (1/2/2021), menyatakan, pandemi Covid-19 membuat omzet penjualan buku turun sekitar 50 persen. Ini karena ruang gerak masyarakat dibatasi untuk menekan laju penularan virus korona.
Untuk mengatasi hal itu, Gramedia menyediakan layanan PBA (pesan, bayar, antar). Dengan layanan ini, konsumen dapat menghubungi nomor Whatsapp 119 toko yang tersebar di 53 kota dan 33 provinsi. ”Konsumen bisa memesan produk yang diinginkan, lalu melakukan pembayaran dan produk akan dikirimkan langsung ke konsumen,” ujarnya.
Dia melanjutkan, toko buku Gramedia, yang hari Selasa (2/2/2021) berusia 51 tahun, juga memperbaiki layanan penjualan daring melalui www.gramedia.com. Penjualan digenjot dengan berbagai promo, seperti harga khusus dan perbaikan pola pengiriman buku.
Baca juga : Merawat Minat Baca melalui Buku
Selama pandemi, tren buku bacaan masih sama, yakni novel, buku agama, pengembangan diri, dan buku untuk anak-anak. Namun, muncul pula tren baru, yakni penjualan buku investasi saham. ”Sepertinya konsumen saat ini banyak yang tertarik belajar saham,” ujarnya.
Di sisi lain, pandemi ini mengerek penjualan e-book. Gramedia mencatatkan kenaikan penjualan e-book lebih dari 20 persen. Saat ini, Gramedia memiliki koleksi 50.000 judul buku, majalah, serta koran dari ratusan penerbit dalam negeri dan mancanegara.
Sepinya toko buku juga terlihat di deretan kios dan lapak buku di sisi Terminal Pasar Senen, Senin.
”Belakangan ini, penjualan jauh turun. Tidak ada pelanggan, anak sekolah yang ke sini. Ya, saya mengharapkan penjualan online saja. Ini foto-foto buku untuk posting. Kalau tidak begitu, susah, tidak ada yang terjual,” kata Berkat Sijabat (50), pemilik kios Rade Book.
Sijabat memang memasarkan juga buku-buku secara daring. Senin siang, ia tengah memeriksa kondisi buku sembari memotret beberapa buku dari salah satu tumpukan buku. Buku-buku itu akan melapak di kios daringnya di Tokopedia dan Bukalapak.
Baca juga : Penjual Buku di Terminal Pasar Senen yang Kian Kesepian
Jika biasanya ia bisa mengantongi Rp 500.000 sehari, kini pemasukannya paling banter Rp 300.000. Itu pun sebagian besar dari penjualan daring. Sijabat menjual beragam buku di kiosnya yang buka pukul 08.00 hingga pukul 18.00. Buku yang dijual mulai dari buku ilmu pengetahuan hingga kesusastraan.
Warga Sumur Batu, Kemayoran, ini menyebutkan, sebelum pandemi ada saja pelanggan yang datang ke kiosnya. Mereka umumnya pelajar dan mahasiswa yang membeli buku untuk tahun ajaran baru atau referensi tugas akhir. ”Sekarang, sering tidak ada pelaris (pelanggan pertama). Orang-orang sudah jarang ke sini walaupun sekadar lewat,” ujarnya.
Pemilik Kios Buku Refans, Putra (50), mengandalkan lapak daring di Shopee karena kios sepi pengunjung. Pemasukannya dalam sehari turun dari Rp 500.000 menjadi Rp 100.000. ”Kadang tidak ada pelaris. Kalau lapak online ada saja, bisa terjual tiga buku,” katanya.
Pelanggan di kios buku milik warga Salemba, Jakarta Pusat, ini umumnya mencari buku ilmu pengetahuan, pelajaran sekolah, dan buku keluaran lama dengan harga mencapai ratusan ribu.
Baca juga : Tidak Ada Kata Terlambat untuk Membaca Buku
Hal serupa terjadi di lapak Amel milik Utahuruk (57) yang terletak di bagian dalam lokasi binaan. Buku-buku menumpuk di atas etalase kaca dan tertutup plastik bening.
Ia hanya duduk di kursi plastik sembari membersihkan buku-buku yang terletak di rak. Dua tahun terakhir, warga Pondok Kopi, Jakarta Timur, ini mengandalkan lapak daring di Shopee, Bukalapak, dan Tokopedia.
”Sejak pandemi, anak sekolah jarang cari buku ke sini. Biasanya Sabtu dan Minggu paling ramai. Bisa jual 5-10 buku sehari. Sekarang boro-boro, nyaris tidak ada yang laku,” ucap Utahuruk.
Baca juga : Rindukan Gerakan Membaca
Di tengah situasi serba sulit, mereka mendapat keringanan pajak. Pemerintah daerah memotong biaya pajak 50 persen sehingga setiap bulan mereka hanya diwajibkan membayar Rp 48.000 lewat bank.
Sepinya toko buku juga tampak di Pasar Buku Kwitang yang terletak di sisi Jalan Kwitang Raya. Ramainya lalu-lalang kendaraan tak menular ke dalam pasar yang mana sebagian lapak tertutup terpal.
Fikar (56), warga Johar Baru yang juga pemilik salah satu lapak di sini, sudah lama merasakan sepi pembeli sehingga pemasukan tidak sebanding operasional lapak. Ia menduga, pelanggan membatasi aktivitas di luar rumah sehingga tidak bisa datang ke pasar buku.
”Semua anjlok. Pahit, tapi saya harus bertahan. Saya tidak terlalu paham teknologi jadi tidak ada toko online,” kata Fikar.
Demi menambah pemasukan, terkadang ia mengambil pekerjaan sampingan sebagai pembawa acara atau pengisi acara di kondangan sekitar permukiman tempat tinggalnya.
Budi (26) duduk termenung di sisi lapaknya. Belum ada pelanggan sejak pagi di lapak yang terletak di sisi depan bangunan pasar. ”Setiap hari ada saja yang datang walaupun cuma satu atau dua,” ujar Budi. Ia juga tidak punya lapak daring karena tidak begitu paham teknologi.
Semua pemilik kios atau lapak, kecuali Fikar, mengaku belum mendapat bantuan dari pemerintah selama pandemi Covid-19. Mereka bingung mencari informasi bantuan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Sementara Fikar mendapat bantuan sosial tunai Rp 300.000.
Baca juga : Aplikasi Perpustakaan Digital Tarik Minat Baca Generasi Milenial
Pelanggan setia
Sebagian pemilik kios atau lapak buku mengandalkan pelanggan setia. Mereka ini masih datang secara langsung untuk membeli buku.
Kios buku Tumorang milik Yonathan (36), yang berada di lokasi binaan Terminal Pasar Senen, salah satu yang mengandalkan pelanggan setia. Pelanggan umumnya langsung datang membeli sepaket buku atau dalam jumlah banyak sekaligus.
”Mereka cari buku hukum, kedokteran, dan teknik. Datang sendiri ke sini, melihat kondisi buku,” kata Yonathan.
Sementara itu, buku yang lapuk atau sudah tidak layak karena termakan usia akan dijual per kilogram. Pengepul membelinya tergantung jenis kertas. Kertas koran Rp 800 per kilogram, kertas majalah Rp 2.500 per kilogram, dan kertas buku Rp 1.700 per kilogram.
Senin siang, Andrie (22), karyawan swasta, menjadi pelaris di Kios Buku Situmorang. Ia membeli sepaket komik dan sepaket novel seharga Rp 150.000.
Ia masih rutin membaca, terutama ketika jenuh karena pekerjaan. Dalam sehari, ia bisa merampungkan 50 komik atau 1 novel.
Menurut dia, ada kesenangan tersendiri datang ke toko buku fisik. Ada pengalaman tak tergantikan ketika berkeliling mencari buku.
”Senang saja meskipun bisa beli di toko daring,” ujarnya. Selain itu, kelebihan toko buku fisik adalah menyediakan buku lama dan jumlah seri lebih lengkap ketimbang toko daring.
Valentina Sitorus (25), karyawan swasta, juga masih membeli buku dari toko buku fisik karena di situ ada contoh buku yang bisa dibaca untuk tahu sekilas isi buku. ”Baca lima halaman awal sebelum memutiskan beli buku. Kurang puas kalau baca ulasan di toko daring,” ujarnya.
Dua pekan lalu, ia bertandang ke toko buku Gramedia di Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Ia membeli novel dan buku ilmu pengetahuan. Buku-buku ini dibacanya ketika dari pekerjaan.