Kisah Tenaga Medis, Bergerak Lintas Batas
Kisah perjuangan para tenaga medis dalam buku ini adalah kisah perjuangan menghidupi semangat humanisme transendental. Virus korona jelas membuat kecil hati siapa pun juga tenaga medis yang berkorban bagi kemanusiaan.
Judul Buku: Humanity Without Border; Untaian Mutiara di Tengah Pandemi Covid-19
Penulis: Kennedy Jennifer Dhillon
Editor: Brigjen TNI dr Albertus Budi Sulistya, Sp THT-KL, MARS, Kolonel CKM dr Abraham Arimuko, Sp KK, MARS, MH
Penerbit: Wonderland Publisher
Cetakan: I, Juli 2020
ISBN: 978-623-7841-51-7
Ketika pertama kali virus korona merebak, dunia tergagap-gagap. Bahkan ada dugaan, banyak korban meninggal karena ketakutan. Tidak hanya pasien yang ketakutan, para petugas medis pun disergap perasaan takut. Baru belakangan, ketegangan yang disebabkan oleh virus yang disebut-sebut berasal dari Wuhan itu berangsur-angsur turun. Pemerintah mengajak masyarakat untuk bersama-sama menghadapi ancaman virus korona dengan segala upaya juga disiplin melakukan protokol kesehatan.
Dari pusaran ketegangan
Upaya perjuangan ”berperang melawan virus korona” terungkap dari sejumlah tulisan dalam buku ini yang didasarkan pengalaman langsung para penulis saat berjibaku mengatasi situasi yang terbilang diliputi ketegangan, yakni pada awal-awal virus ini merebak.
Kala itu, selain upaya sejumlah ahli virus yang berusaha menjelaskan bagaimana hal ihwal virus Covid-19 dan bagaimana menghadapi virus ini, beredar juga berbagai informasi yang sangat menakutkan. Misalnya, ada video yang menggambarkan bagaimana virus menulari secara sambung-menyambung tanpa ampun.
Adegan di salah satu video yang beredar menunjukkan, virus ini langsung menulari seseorang yang sekadar menyentuh tombol lift yang sebelumnya disentuh seseorang yang telah terjangkit virus korona. Digambarkan, bagaimana penularannya yang seperti arus listrik yang menjalar begitu cepat. Menakutkan! Menegangkan!
Dalam suasana tegang itulah, para penulis untaian kisah dalam buku ini menjalani tugas di garis depan. Dan pengalaman itu yang mereka tuangkan secara indah dan rapi dalam buku ini.
Brigjen TNI dr Albertus Budi Sulistya, salah satu penulis kisah sekaligus editor, mendeskripsikan kegalauan dirinya bersama rekan-rekan ketika harus bertaruh perasaan dan nyawa dalam upaya menyelamatkan nyawa sesama.
”Meski stok APD minim, kami harus tetap menjalankan tugas dengan baik. Tak dapat dimungkiri, di awal-awal pandemi ini, kami diliputi kekhawatiran akan terpapar virus ini. Namun, semangat kemanusiaan membuat kami bertahan dan tetap solid. Beberapa anggota tim bahkan berkreasi dengan membuat APD versi mereka sendiri. Saya bersyukur mereka tidak pernah mengeluh, apalagi mengomel. Sebaliknya, mereka selalu tulus dan memberikan bagian terbaik dalam pekerjaannya menolong dan merawat para pasien Covid-19,” tulis dr Budi di halaman 6.
Pada awal virus korona merebak, sekali lagi, semua tergagap-gagap. RSPAD sebagai rumah sakit besar pun masih kewalahan dengan APD. Bagaimana dengan rumah sakit kecil atau yang di daerah? Dalam keterbatasan atau bahkan ketiadaan APD, mereka tentu saja khawatir. Namun, sangat banyak petugas medis yang mengalahkan rasa takut mereka dan tetap menjalankan tugas melayani dan merawat para pasien Covid-19.
Di sini wujud humanisme transendental atau kemanusiaan yang beriman itu semakin konkret. Karena itu, apresiasi yang tinggi harus dialamatkan kepada para petugas medis yang berusaha ”melupakan” keselamatan diri demi nyawa sesamanya itu.
Namun, sekuat-kuatnya para petugas medis, karena menyadari tugas panggilan, bahkan sumpah, mereka juga tetaplah manusia. Mereka juga punya perasaan rindu pada keluarga. Namun seperti dikisahkan dalam buku ini, ada juga keluarga yang serta-merta menolak mereka ketika hendak pulang ke rumah. Hal ini pasti karena rasa takut, ”jangan-jangan” petugas medis yang setiap hari menangani pasien Covid-19 akan membawa virus itu ke rumah.
Pada salah satu bagian buku ada cerita seorang suami melarang istrinya pulang rumah. Padahal, sebelum pulang ke rumah, mereka tentu sudah menjalani pemeriksaan untuk mengetahui ada tidak virus mematikan itu dalam tubuh mereka. Tapi, ya itulah kenyataan yang harus diterima dalam suasana gagap tersebut. (hlm 16)
Ratna mutu manikam
Buku ini menyajikan kisah-kisah menarik dan kontekstual dan bahan dokumentasi sejarah yang bagai rangkaian ratna mutu manikam yang keluar dari endapan pengalaman batin pada pemilik kesaksian. Mereka berusaha menggali mutiara-mutiara indah yang mereka erami pada masa-masa menegangkan itu, dan bayang-bayang maut.
Sebagai petugas medis, tugas mereka tentu sudah sangat banyak. Mereka juga tidak akrab dengan dunia tulis-menulis, apalagi untuk dikonsumsi publik. Namun karena ingin berbagi, mereka berusaha menggali kekayaan batin mereka secara hati-hati hingga akhirnya kisah-kisah yang menggugah rasa kemanusiaan dan memberikan pembelajaran itu terkompilasi dalam buku ini.
Ada pesan kuat yang dibawa dalam penerbitan buku ini bahwa virus korona bisa dihadapi dan dikalahkan dengan energi dan semangat membara serta mematuhi protokol kesehatan serta perlindungan Tuhan. Hal lainnya, rangkaian tulisan ini juga sebentuk ajakan dan harapan kepada masyarakat luas untuk menghargai pengorbanan para petugas medis yang sadar berada di bawah bayang-bayang maut, tetapi tetap mau melayani.
Ada ketakutan dan kekhawatiran, hal yang manusiawi dan dihadapi semua orang. Tak sedikit para petugas medis yang terpapar dan gugur di medan pertempuran. Demi tugas dan panggilan kemanusiaan, mereka menyabung nyawa. Suatu perjuangan menghidupi semangat humanisme transendental, kemanusiaan yang didasarkan kesadaran bahwa di balik pergulatan hidup manusia ada Tuhan Sang Pencipta. Setiap orang bermartabat dan perjuangan bagi kemanusiaan tanpa batas adalah perjuangan menapaki jalan cinta-Nya yang tanpa batas.
EMANUEL DAPA LOKA
Pemimpin Redaksi Tempusdei.id dan Penulis Biografi