Mustafa Abubakar, Sang Pengurai Simpul Masalah
”Pengurai Simpul Masalah”, saya rasa frasa ini tepat ditujukan pada sosok dan tanggung jawab yang diembannya selama berkarier karena di dalam buku ini dijelaskan bagaimana ia mengatasi konflik-konflik yang dijumpainya.
Judul buku: Meniti Krisis Naluri Kepemimpinan Mustafa Abubakar
Penulis: A Bobby Pr
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: 2019
Tebal: XXVII +338 halaman
Harga: Rp 79.000.
Mustafa Abubakar memiliki aneka pengalaman di berbagai bidang dan pernah menduduki jabatan di badan/kantor yang berbeda-beda pula. Pernah memegang jabatan Pejabat Gubernur Aceh (30 Desember 2005-8 Februari 2007), tak lama setelah perjanjian perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka ditandatangani (Helsinki, 15 Agustus 2005). Pernah menjadi Dirut Bulog (2007-2009) dan pernah juga menduduki kursi Menteri BUMN (2009–2011).
Tak mengherankan buku ini bukan buku (biografi) pertama Mustafa. Sebelumnya telah ada ”Berani Tidak Populer” (2009) dan ”Jurus Jitu Atasi Krisis; Pengalaman Mustafa Abubakar Memimpin Bulog”.
Penulis membuka buku Meniti Krisis ini dengan silsilah lengkap asal usul Mustafa Abubakar (Bab 1 dan 2) yang mungkin bagi pembaca awam tidak dibaca detail atau kalimat per kalimat secara utuh karena begitu banyak nama yang ditulis. Namun, bagi orang Aceh, penyebutan nama-nama itu mungkin penting untuk menunjukkan dari mana dan dari siapa lahir seorang Mustafa.
Pada Bab 3, penulis mulai ”membuka” siapa Mustafa dengan tuturan yang apik tentang hobinya mencari udang sejak kanak-kanak. Dari kisah itu, kesabaran dan ketekunan Mus kecil tergambar dengan jelas.
Mustafa dengan gerakan perlahan-lahan mengambil taren yang telah disiapkan. Ujung benda yang ada bulatan ”benang” itu dimasukkan ke dalam air mendekati udang. Masih dengan gerakan lambat. Nyaris tanpa suara. Begitu mata udang sudah masuk dalam perangkap lingkaran ”benang”, Mustafa langsung menarik taren dengan cepat. Udang itu menggelepar-gelepar. Gerakan binatang itu malah membuat dia terjerat semakin kuat dalam lilitan (hlm 27).
Tidak hanya udang, Mustafa juga suka memancing ikan sidat dengan kail. Dia menambatkan tali pancing di dasar sungai pada malam hari dengan umpan ikan-ikan kecil atau potongan isi perut ayam. Keesokan harinya akan tampak ikan sidat (seperti belut, tetapi lebih besar) menggelepar di ujung pancing.
Hasil pancingannya (udang atau ikan) akan diberikannya kepada ibunya yang pandai memasak. Kesenangannya pun berlipat dua: bangga bisa memancing dan bisa makan masakan ibunya yang enak. Di Sungai Meureudu inilah selain memancing, Mustafa dan kawan-kawannya biasa berenang. Kedalaman sungai itu kira-kira dua meter.
Baca Buku: Meniti Krisis, Naluri Kepemimpinan Mustafa Abubakar
Permainan lain yang dia gemari adalah perang-perangan, sepak bola (dengan menggunakan jeruk bali yang sudah terlebih dahulu dipanaskan agar kaki tidak sakit waktu menendang), main galah dan meriam bambu yang biasa digelar di masa puasa atau bulan Ramadhan, dan dimainkan setelah shalat Tarawih. Kadang mereka ”beradu” dengan kampung sebelah, mana yang lebih keras bunyi meriamnya.
Dalam permainan apa pun, teman-temannya sering mengangkat Mustafa sebagai pemimpin karena dinilai tidak emosional dan dapat menyelesaikan masalah. Salah satu teman masa kecilnya (Mochtar Yahya) mengenang dia sebagai: ”Sepintas lalu dia biasa-biasa saja, tidak ada bedanya dengan anak-anak lain, tetapi ia memiliki kemampuan komunikasi yang luar biasa. Teman-teman selalu mengiyakan kalau diajak mengerjakan atau bermain sesuatu. Dia juga punya bakat memimpin.”
Di mata teman-temannya, ia adalah anak yang rajin, yang selalu membantu ibunya (ayahnya meninggal saat ia masih berada dalam kandungan ibu) dan sudah membantu sang ibu mengolah kebun dan sawah ketika beranjak remaja. Selain mengurus padi di sawah (bersama ibu dan neneknya), ia juga menanam kangkung, terung, jagung dan tebu. Mereka juga memiliki kebun durian yang bahkan sudah ada sebelum Mustafa lahir.
Pengalamannya berhubungan dengan muge (pengumpul buah) dalam bertransaksi buah durian ini rupanya merupakan persinggungan pertamanya dengan dunia ekonomi. Ditambah dengan tugasnya menjual hasil panen ke pasar, dengan mengendarai sepeda, sebelum menuju ke sekolah.
Menuju Jawa dengan kapal laut
Sekolah Perikanan Darat Menengah Atas (SPDMA) di Bogor, Jawa Barat, adalah pilihan Mustafa untuk melanjutkan pendidikan setelah lulus SMP. Pertimbangannya (atas ”bujukan” kakak iparnya, Syahbudin yang juga Kepala SMP Meureudu): sekolah ini tidak membutuhkan biaya, malah mendapat uang saku. Karena itu, berangkatlah ia dengan kapal laut, ke suatu tempat yang tak terbayangkan jauhnya. Sebelum itu, paling jauh ia pergi ke Kutaraja, untuk membeli bola.
Awal Januari 1967, ia sampai di Tanjung Priok. Setelah menginap semalam di asrama Fonds Oentoek Bantoen Aceh (FOBA) di Jalan Setia Budi, di mana ia untuk pertama kalinya menonton TV hitam putih, keesokan harinya ia ke Bogor.
Siswa yang bersekolah di situ adalah ”duta” dari 26 provinsi yang memiliki ikatan dinas dengan provinsi masing-masing selama 4 tahun. Di sinilah Mustafa baru menyadari keragaman bangsa Indonesia.
”Saya merasakan indahnya warna-warni Indonesia. Terkesan sekali. Coba bayangkan, dari ujung Barat sampai ujung Timur dipersatukan di Bogor. Jadi, Indonesia Mini. Sebelum makan, kami berdoa dengan agama masing-masing. Dari situ kami mengenal dan memahami setiap agama. Sejak itulah saya jadi Pancasilais. Indah sekali” (hlm 55).
Di luar sekolah formal, rupanya di Bogor inilah Mustafa mulai menggali ilmu lebih dalam dengan membaca buku-buku di perpustakaan (buku favoritnya: Dale Carnegie), memutar film-film dokumenter pinjaman dari Kedubes Amerika di Jakarta dan mengembangkan kemampuan berorganisasi (sebagai sekretaris umum PII/Pelajar Islam Indonesia).
Tahun 1970, ia tamat SPDMA sebagai lulusan terbaik. Dari sinilah awal kariernya dimulai. Ia diangkat sebagai calon pegawai negeri di lingkungan Dinas Perikanan Provinsi Aceh, mulai 1 November 1970. Waktu itu, Pemerintah sedang menggalakkan sektor Perikanan. Ia langsung terjun ke masyarakat untuk mempraktikkan ilmu yang diperolehnya.
Pada tahun ketiga, Mustafa melanjutkan studi di Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor, setelah lolos tes masuk yang dirasanya cukup sulit. Pada awal studi, ia mendapat kesukaran, terutama dalam pelajaran Fisika, Kimia, dan Matematika, yang semasa ia bersekolah di SPDMA tidak diajarkan secara mendalam. Namun, pada 1975, ia terpilih sebagai mahasiswa teladan IPB.
Setelah menuntaskan pendidikannya, ia ingin segera kembali ke Aceh, tetapi ia diberi kesempatan oleh Prof Andi Hakim Nasution untuk melanjutkan studi S-2 dengan bebas biaya pendidikan karena nilainya bagus. Maka pada 1977, ia kembali kuliah sebagai mahasiswa tugas belajar S-2. Selama itu pula ia terus mengembangkan kegiatannya berorganisasi di KMA, Keluarga Masyarakat Aceh.
Awal karier
Pada 1979, Mustafa melamar sebagai konsultan di World Bank yang saat itu sedang mengerjakan proyek perikanan darat dan ia diterima. Proyek ini awalnya direncanakan dalam kurun waktu dua tahun, tetapi kemudian ditambah dua tahun lagi dengan semua anggota tim yang sama. Khusus Mustafa, pimpinan proyek menyurati Gubernur Aceh agar ia boleh tetap terlibat dalam proyek tersebut karena ”He is a very productive member of our time”.
Sebagai bujangan, gaji yang diterimanya cukup besar yaitu $2.700. Karena itu, ia merasa sudah saatnya untuk menikah. Pada 1981, ia menikah dengan Lisa dengan resepsi yang meriah di Hotel Presiden di mana Mustafa sendiri yang membiayainya.
Baca juga: Mustafa Abubakar: Sinergitas Kunci Tangani Krisis BUMN
Tahun 1984, bersama dua temannya (Samel C Lenggu dan Abu Chair Thaib), ia mendirikan perusahaan konsutan, PT Aquatic Consutant. Awalnya perusahaan konsutan miliknya ini kecil, tetapi kemudian Mustafa bisa menjadi Ketua Inkindo (Ikatan Nasional Konsultan Indonesia) DKI Jakarta.
Selain itu, Mustafa juga terpilih sebagai Ketua Umum Taman Iskandar Muda (TIM) periode 1993-1996 pada usianya yang ke-41, yang bisa dianggap sebagai ”anak kemarin sore” oleh tokoh-tokoh Aceh senior. Bahkan, kemudian ia pun terpilih pada periode kedua karena dianggap dapat mengangkat pamor Aceh di tanah rantau. TIM yang semula bergerak di bidang agama dan kebudayaan, mau tak mau mulai bersinggungan dengan politik dan Mustafa sadar bahwa setiap kebijakan dapat diartikan berbeda oleh kelompok yang memiliki kepentingan.
Di bidang perikanan, Mustafa berhasil menyatukan 3 kelompok wadah yang ada (profesi, dunia usaha dan mahasiswa) dan bersama tim Ispikani (Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia) membidani lahirnya MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) di mana ia menjadi Sekretaris Jenderal pada 1996-1999.
Kiprah di dunia perikanan terus berlanjut sampai ia diangkat menjadi Inspektur Jendral (IrJen) pada Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan dilantik pada 17 Desember 1999. Di sini ia mulai menyusun struktur, komposisi, wewenang staf organisasi sebagai badan pengawas internal. Enam tahun lamanya ia ”parkir” di jabatan ini, hingga suatu pagi di bulan Desember 2005 ia ditugasi menjadi Pejabat Gubernur Aceh karena Gubernur terpilih (Abdulah Puteh) tersandung kasus korupsi.
Lisa, sang istri, bukannya menyambut tugas suaminya dengan gembira, tetapi waswas karena Lisa tahu bagaimaa situasi Aceh saat itu, yang selama kurun waktu 30 tahun telah banyak meninggalkan konflik dan tragedi. Tapi, akhirnya Mustafa dilantik oleh Mohammad Ma’ruf (Mendagri) dan ternyata ia berhasil mengemban jabatan sulit itu dengan sangat baik. Walaupun ia sukses menetapkan 19 pejabat bupati/wali kota sebelum diadakan pemilihan dan memilih pejabat definitif, ia beberapa kali mendapat ancaman.
Baca juga: Mustafa Abubakar dan Tiga Krisis Saat Memimpin Bulog
Seusai bertugas di Aceh, Mustafa diangkat menjadi Direktur Utama Bulog (21 Maret 2007) dan kemudian Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 2009-2011. Juga menjabat Komisaris di BRI dan Bukopin.
Secara umum bisa dikatakan Mustafa adalah potret sosok kelahiran Pidie yang berhasil mengharumkan nama Aceh berkat pengabdiannya di berbagai bidang. Potret seorang laki-laki Indonesia yang gigih, yang tahu menggabungkan kepandaian berkomunikasi dengan sikap sabar, tetapi teguh.
”Pengurai Simpul Masalah”, saya rasa frasa ini tepat ditujukan pada sosok dan tanggung jawab yang diembannya selama berkarier karena di dalam buku ini dijelaskan, bagaimana ia mengatasi konflik-konflik yang dijumpainya.
Sebut saja, salah satunya, ketika sebagai penjabat Gubernur Aceh, ia berkunjung ke Kutacane, ibu kota Kabupaten Aceh Tenggara, kawasan pegunungan yang merupakan bagian dari Bukit Barisan. Taman Nasional Gunung Leuser sebagian besar di wilayah ini. Saat itu berkembang keinginan pemekaran daerah dan salah satu yang lantang menyuarakannya adalah Aceh Lauser Antara (ALA) bahkan mereka sudah menyampaikan keinginan ini ke Jakarta.
”Pengurai Simpul Masalah”, saya rasa frasa ini tepat ditujukan pada sosok Mustafa.
Sambutan yang diterima Mustafa selaku Gubernur di wilayah itu adalah sapaan, ”Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, selamat datang Bapak Penjabat Gubernur Nangroe Aceh Darussalam di Propinsi ALA.”
Mustafa tersentak mendengar kalimat itu, begitu pula stafnya. Namun, dengan piawai Mustafa membalas sambutan itu, antara lain, dengan mengatakan, ”… kita sama-sama berada di Kabupaten yang istimewa ini. Kabupaten Aceh Tenggara. Di tempat ini terdapat paru-paru dunia, yaitu Gunung Leuser yang merupakan kebanggaan dunia, bukan hanya Indonesia. Aset Aceh yang luar biasa.” Masih ditambah pada malam harinya, saat ada perjamuan dan kepadanya ditanya bagaimana pendapatnya tentang pemekaran daerah Aceh Tenggara, dengan sigap Mustafa menjawab bahwa saat itu yang menjadi prioritas adalah merampungkan RUU Pemerintahan Aceh.
Catatan bagi Editor
Membaca buku ini sangat terasa banyaknya informasi yang diperoleh penulis dan ingin dituangkannya. Gaya bertutur yang dipilih penulis, enak untuk diikuti. Juga pembagian bab per bab. Sayang editor terlihat kurang cermat sehingga kisah yang sama dapat berulang di bab yang berbeda.
Ambil contoh, keterangan bahwa Mustafa sekolah perikanan di Bogor, yang lebih dari dua kali disebut. Juga kegiatan Lisa, istrinya di Dekranas (ada di hlm 296 dan 313). Kemudian, tawaran menjadi duta besar di Swiss, juga disebut dua kali.
Saya agak terganggu dengan judul ”Meniti Krisis” karena pada pemahaman saya krisis adalah bukan karier atau buih.
Selain itu tata letak cukup menarik dengan adanya satu halaman yang diisi semacam ”catcher” yang berguna untuk mengantar ke bab berikutnya maupun untuk jeda bagi mata.
Catatan terakhir adalah huruf pada teks foto terlalu kecil. Sebaiknya, ukurannya tidak disamakan dengan huruf pada catatan kaki.