Kisah Begawan Sejarah Indonesia
Penerbitan buku kumpulan tulisan untuk merayakan 85 Tahun Taufik Abdullah patut diapresiasi karena dapat menimbulkan inspirasi. Taufik Abdullah merupakan sejarawan terkemuka Indonesia.
Judul Buku : 85 Tahun Taufik Abdullah: Perspektif Intelektual dan Pandangan Publik
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.
Penulis : Abdul Syukur, Abuhasan Asy\'ari, dkk
Editor : Susanto Zuhdi, Jajat Burhanudin, dkk
Tahun Cetakan : I,Desember 2020
Tebal Buku : xiv + 552 halaman.
ISBN : 978-623-321-012-6
Buku kumpulan tulisan ini diterbitkan dalam rangka 85 tahun Taufik Abdullah, sejarawan paling terkemuka di Indonesia. Taufik Abdullah yang lahir di Bukittinggi, 3 Januari 1936 dikaruniai usia panjang lebih dari rekannya yang sudah berpulang. Mendekati Sartono Kartodirdjo (86 tahun), namun sudah melewati sejarawan senior lainnya: AB Lapian (82), Onghokham (74), Abdurrachman Surjomihardjo (65), Kuntowijojo (62), Nugroho Notosusanto (55).
Taufik Abdullah memang menduduki tempat terhormat dalam penulisan sejarah Indonesia. Ia menulis skripsi tentang Revolusi Perancis dalam bahasa Inggris di UGM Yogyakarta tahun 1961. Lulus dari Universitas Cornell dengan disertasi School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933) tahun 1970. Mendapat penghargaan dari berbagai lembaga seperti Habibie Award, Fukuoka Prize, dll. Menjadi visiting fellow di Leiden, Kyoto, dst.
Jumlah kontributor penulisan buku ini 86 orang, melebihi target usia Taufik Abdullah. Dalam buku senada yang diterbitkan 15 tahun sebelumnya, yaitu Persembahan 70 tahun Taufik Abdullah ditulis 83 penulis. Dibanding buku terdahulu, kini lebih sedikit sejarawan asing, sebanyak 30 % penulis berasal dari LIPI (atau pensiunan) dan tiga orang putri Bung Hatta.
Tulisan dalam buku disusun berdasar abjad penulisnya. Sebetulnya bisa dipilah per topik, misalnya, Kenang-kenangan (tulisan M.Sobary, Gusti Asnan, St Sularto dan Restu Gunawan), Sejarah dan Politik (Azyumardi Azra, Bondan Kanumoyoso), Etos Kerja (Bondan Widyatmoko), Agama dalam Pergumulan Sejarah (Nyoman Wijaya, Jajat Burhanudin dan beberapa dosen UIN), Pengembangan Studi Wilayah (Fajar Ibnu Tufail, Cahyo Pamungkas dan para peneliti PSDR LIPI).
Taufik Abdullah juga menyunting buku tentang peristiwa 1965 yang berjudul Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional (disinggung sedikit oleh Singgih Tri Sulistyono). Bila dikerjakan secara tematis, jumlah halaman buku ini dapat dikurangi dengan menghindarkan pengulangan.
Karena para mahasiswa yang pernah dibimbing dalam menulis tesis atau disertasi, menceritakan pengalaman serupa, bagaimana tulisan yang mereka ajukan dicorat-coret Taufik Abdullah. Bahkan ada sebuah proposal yang habis dicoreti spidol kecuali judul dan nama penulisnya.
Taufik Abdullah yang garang dalam berdebat dan marah ketika mahasiswa berisik di dalam kelas, sebetulnya punya hati lembut dan penuh perhatian terhadap yunior yang dibimbingnya. Kalau dia sering bercerita tentang prestasi hebat yang pernah dia raih, tentu saja itu benar dan sebetulnya dapat dimaklumi.
Terlihat juga perbandingan dan hubungan di antara sejarawan senior Indonesia. Taufik Abdullah dihubungkan dengan Sartono Kartodirdjo (Suhartono W.Pranoto) dan Kuntowijoyo (oleh Syafi’i Maarif). Susanto Zuhdi menceritakan bahwa skripsinya dibimbing Nugroho Notosusanto yang banyak dikritik oleh Taufik Abdullah. John H.McGlynn mengisahkan perjumpaannya dengan Taufik Abdullah, Onghokham dan Nugroho Notosusanto dan perdebatan keras sesama sejarawan.
Aspek kelembagaan berupa kepemimpinan Taufik Abdullah di LIPI diulas Jan Sopaheluwakan, demikian pula di Akademi Jakarta (Abuhasan Asy’ari) dan Komisi Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (Ida Yara). Yang menarik juga walau tidak dibahas dalam buku ini, Abdurrachman Wahid pernah mengatakan “Kalau saya jadi Presiden, saya angkat Mas Taufik jadi Ketua LIPI”. Ternyata itu jadi kenyataan, Gus Dur menepati janjinya, sungguhpun ketika itu usia TA sudah melewati 60 tahun, batas usia pejabat eselon satu.
Taufik Abdullah juga berjasa dalam mengembangkan Pusat Pelatihan Ilmu-Ilmu Sosial di Jakarta, Makasar dan Banda Aceh. Ia juga memprakarsai pemberian beasiswa API (Asian Public Intelectual), proyek SEASREP dan kerjasama LIPI-NIOD. Semua kegiatan itu mendorong dan menghasilkan master dan doktor dalam bidang sosial dan humaniora.
Bagaimana kedudukan Taufik Abdullah dalam percaturan sejarah Indonesia ? Seorang sarjana sejarah ketika ketika melamar ke LIPI , diwawancarai dalam bahasa Inggris, ditanya siapa saja peneliti LIPI yang sudah pernah dia baca bukunya? Ia sebut antara lain Taufik Abdullah. Siapa itu Taufik Abdullah ? Ia sebetulnya mau menjawab “Begawan Sejarah Indonesia”. Namun karena tidak ingat istilah Inggrisnya, maka yang tercetus “He is God of Indonesian History’’. Ini memancing ketawa.
Sebetulnya siapa sejarawan Indonesia yang paling hebat ? Taufik Abdullah atau Sartono Kartodirdjo ? Belum ada yang membahas dalam buku ini. Namun dalam salah satu kongres sejarah pernah terjadi percakapan mengenai topik tersebut. Taufik Abdullah mengatakan bahwa di Manila ia pernah dua kali bertemu dengan Imelda Marcos, mantan ratu kecantikan Filipina yang kemudian menjadi Ibu Negara. Parfumnya wangi.
Pada masa itu belum ada telepon genggam dan yang memegang kamera biasanya hanya fotografer. Sartono Kartodirdjo menukas, mana buktinya? Taufik Abdullah terdiam, Sartono melanjutkan, ia hanya sekali bersalaman dengan Imelda dan ada fotonya. Jadi Taufik Abdullah menang dalam narasi, sementara Sartono yang punya dokumentasi.
Patut diapresiasi penerbitan buku ini yang dapat menimbulkan inspirasi. Semoga masih ada buku berikutnya lima tahun mendatang.
(Asvi Warman Adam, Profesor Riset bidang Sejarah Sosial Politik LIPI)