Dalam Bayang-bayang Kuasa Teknologi Digital
Teknologi baru, seperti media sosial, melahirkan jenis kekuasaan baru yang mesti dihadapi dengan sikap kritis dan berbagi tanggung jawab antara pengembang dan pengguna aplikasi. Big power, big money, big responsibility.
Judul buku: Jagat Digital: Pembebasan dan Penguasaan
Pengarang: Agus Sudibyo
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetakan: Pertama, September 2019
Tebal buku: xxii + 466 halaman.
ISBN: 978-602-481-212-6
Sebagai negara dengan angka pertumbuhan ekonomi digital tertinggi se-Asia Tenggara, dengan nilai 40 miliar dollar AS atau Rp 556,6 triliun pada 2019, Indonesia merupakan ”lahan basah” pasar ekonomi digital global. Fakta ini membanggakan sekaligus memicu refleksi yang lebih mendalam. Apakah kita sudah berdaulat sebagai tuan pasar ekonomi digital atau justru masih terhegemoni penguasaan pasar internet oleh perusahaan-perusahaan internet dari negara maju?
Pertanyaan ini dilontarkan Menteri Komunikasi dan Informatika 2014-2019 Rudiantara dalam Sambutan untuk buku Jagat Digital: Pembebasan dan Penguasaan karya Agus Sudibyo.
Kehadiran buku ini merupakan undangan bagi pegiat dan pemerhati digitalisasi untuk secara jernih dan kritis merefleksikan posisi Indonesia dalam konteks besar digitalisasi global. Apakah Indonesia hanya akan menjadi sasaran pemasaran produk-produk digital ataukah Indonesia akan menentukan nasibnya sendiri dalam gelombang digitalisasi global?
Seperti disampaikan Sony Subrata dalam Kata Pengantar, buku ini berusaha menjaga keseimbangan antara perspektif positivistik dan perspektif kritis dalam memandang fenomena digitalisasi. Dengan demikian, diharapkan pembaca mampu menangkap kebaikan ataupun keburukannya, menyerap manfaat yang dihadirkannya sekaligus mengantisipasi bahaya laten yang dihadirkannya (hlm xv-xx).
Digitalisasi membebaskan sekaligus menjerumuskan, mendemokratiskan sekaligus menyajikan belenggu. Inilah tesis utama dari buku ini. Ambivalensi itu, misalnya, terlihat pada dunia politik. Arab Spring merupakan cerita besar tentang bagaimana media sosial sangat operasional sebagai sarana politik untuk menumbang rezim otoriter. Namun, buku ini pada sisi lain juga menunjukkan, media sosial juga menjadi sarana memecah belah masyarakat dan menerabas kedaulatan suatu negara.
Operasi propaganda komputasional Rusia dalam pilpres Amerika Serikat tahun 2016, skandal Cambridge Analytica dalam pilpres Amerika Serikat dan referendum Brexit, dan epidemi hoaks dalam pemilu Brasil 2018 memberikan bukti dampak buruk digitalisasi terhadap kehidupan politik.
Buku yang tersusun atas 13 bab setebal 466 halaman ini menguraikan persoalan-persoalan terkait digitalisasi dari perspektif kritis ”ekonomi politik media”. Perspektif kritis bukanlah arus utama dalam tren telaah digitalisasi di Indonesia dewasa ini. Publik umumnya melihat digitalisasi secara positivistik dalam kerangka menumbuhkan ekonomi digital dan akselerasi demokratisasi.
Salah satu tesis yang hendak penulis sampaikan adalah bahwa geoekonomi dan geopolitik digitalisasi tidaklah netral. Digitalisasi global sangat Amerika-sentris. Dominasi Google, Amazon, Facebook, Apple, dan Microsoft tak tertandingi. Patut digarisbawahi, lima perusahaan raksasa digital global itu ibaratnya adalah flag carrier Amerika Serikat.
Ketika mereka mendapatkan hambatan bisnis di Uni Eropa, misalnya, Presiden Amerika Serikat membela mereka layaknya perusahaan BUMN. Perang dagang antara Amerika Serikat dan China belakangan juga tak lepas dari upaya AS untuk menjaga dominasi perusahaan-perusahaan digital globalnya.
Kekuatan buku ini terutama terletak pada tiga bab yang disarikan dari hasil penelitian Agus langsung ke sejumlah negara Eropa, seperti Inggris, Jerman, Swiss, dan Belgia, pada akhir 2018. Ketiganya adalah Bab Tiga ”Monopoli Rantai Periklanan Digital: Belajar dari Pengalaman Inggris,” Bab Empat ”Hubungan Timpang Penerbit dan Perusahaan Platform: Belajar dari Pengalaman Inggris”, serta Bab Sembilan ”Perlindungan Data Pengguna Internet: Menelaah GDPR Uni Eropa”.
Ketiga bab ini merupakan kontekstualisasi dari jejaring permasalahan global dalam konteks digitalisasi. Bab-bab yang lain merupakan refleksi Agus atas kajian pustaka terkini berkenaan dengan isu turunan digitalisasi, seperti lanskap geoekonomi dan geopolitik digitalisasi, pasar monopolistik paripurna, rezim pengawasan, eksistensi manusia sebagai pribadi yang hidup dalam budaya daring, pemilu, media sosial dan kejahatan elektoral, dan etika demokrasi digital.
Agus berhasil merajut temuan jurnalistik investigatif dengan rigoritas akademis.
Surveillance capitalism menjadi logika penjelas di belakang kinerja perusahaan raksasa digital, seperti Google, Facebook, Apple, Amazon, dan Microsoft (The Big Five). Tujuannya untuk mengawasi gerak-gerik, preferensi, dan pola perilaku hubungan sosial para pengguna internet. Hal ini dilakukan terutama sekali bukan karena alasan politis atau ideologis, melainkan alasan bisnis demi keuntungan semaksimal mungkin perusahaan digital tersebut.
Masalahnya adalah data pribadi pengguna yang mereka kumpulkan tidak dijamin kerahasiaan ataupun keamanannya. ”Bocornya data pengguna” merupakan fenomena yang sering terjadi belakangan. Privasi kita dengan mudahnya dijual kepada pihak ketiga, seperti para pengiklan digital, juga telemarketer perusahaan pinjaman daring sehingga tiba-tiba iklan-iklan memasuki surel pribadi atau aplikasi Whatsapp pribadi tanpa kenal batas waktu ataupun kepantasan.
Lepas dari jagat pengawasan
Buku ini menjadi semacam wake up call untuk menyadarkan kita bahwa ada yang tidak beres dengan tatanan dunia digital yang ada sekarang, dan itu akan terus berlangsung selama relasi ketimpangan penggunaan big data masih dipertahankan korporasi digital raksasa.
Agus menyimpulkan bahwa digitalisasi melahirkan jenis kapitalisme baru yang lebih paripurna kemampuannya dalam mengontrol dan mengarahkan perilaku masyarakat, menghipnotis masyarakat untuk terus-menerus menambah jam penggunaan internet, mengunduh makin banyak aplikasi, mengunjungi makin banyak web, serta menggunakan internet untuk beragam kebutuhan hidup (hlm 385).
Teknologi baru, seperti media sosial, melahirkan jenis kekuasaan baru yang mesti dihadapi dengan sikap kritis dan berbagi tanggung jawab antara pengembang dan pengguna aplikasi. Big power, big money, big responsibility (hlm 394)
Kekurangan buku ini terletak pada kelebihannya, yaitu jumlah halaman yang mencapai lebih dari 400 halaman berpotensi menangguhkan pembaca untuk mulai membaca, apalagi menyelesaikannya. Kedua, meskipun Agus sudah berupaya menyederhanakan gagasan dan memopulerkan pilihan kata-katanya, secara keseluruhan, penjelasan yang disampaikan Agus dalam karyanya ini mungkin terasa berat dicerna bagi pembaca awam.
Ketiga, sembilan poin solusi yang ditawarkan Agus pada bagian akhir buku ini (hlm 413-443) tampak kurang integratif. Jika dirumuskan secara lebih sederhana, dampak-dampak buruk digitalisasi dapat dikurangi secara formal lewat pengetatan tatanan regulasi, baik pada lingkup nasional, regional, maupun global. Sementara secara informal hal ini dapat dicapai dengan penguatan industri pers nasional sekaligus edukasi publik secara kontinu menggunakan beragam kanal digital yang ada.
Para pakar etika (komunikasi) digital, seperti Luciano Floridi, Charles Ess, Rafael Capurro, Herman T Tavani, dan Jaron Lanier, menyarankan agar selain mengembangkan sikap kritis-evaluatif terhadap klaim-klaim seputar ”kemajuan teknologi digital”, kita juga didorong untuk mengurangi ketergantungan pada penggunaan internet dan media sosial dikarenakan sifat candu ataupun kedangkalan makna simbolis komunikasi manusiawi yang dapat disampaikan (dimediasi) lewat peranti teknologi.
Selain itu, online code of conduct perlu benar-benar diperhatikan dan dipraktikkan, bukan hanya oleh para pengguna aplikasi, melainkan juga perancang (insinyur), pendana (pebisnis) aplikasi, dan perumus regulasi.
(Hendar Putranto, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia; Dosen Tetap di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara)