Krisis Demokrasi atau Anarki
Demokrasi di pelbagai negara, khususnya Eropa, sedang mengalami krisis. Hal itu disebabkan maraknya populisme dan gelombang imigran dari sejumlah negara yang dilanda perang, serta krisis ekonomi.
Penulis: Sri Indiyastutik
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit: 2019
Tebal Buku: xx + 236 halaman
ISBN: 978-602-412-700-8
Demokrasi di pelbagai negara, khususnya Eropa, sedang mengalami krisis. Hal itu disebabkan maraknya populisme dan gelombang imigran dari sejumlah negara yang dilanda perang serta krisis ekonomi. Situasi ini pernah dibahas oleh Michel Crozier, Samuel Huntington, dan Joji Watanuki (Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang) pada 1975 dalam laporan berjudul ”The Crisis of Democracy”.
Krisis dewasa ini hanyalah kelanjutan dari logika politik yang berubah dengan munculnya unsur-unsur baru dalam negara modern yang dulu tak diperhitungkan. Isu ini membantu kita untuk mengantar pemahaman buku tentang demokrasi dari Jacques Rancière karya Sri Indiyastutik.
Pandangan Rancière menarik karena ada hal baru yang dikemukakannya tentang demokrasi. Setelah kemenangan demokrasi liberal dalam Perang Dingin melawan komunisme, ada semacam kekosongan dalam wacana politik di Eropa. Ide-ide kiri tidak lagi berperan dalam diskusi politik. Perdebatan politik menjadi monoton hanya berputar di sekitar kaum elite, masyarakat umum tak peduli atau tak tertarik dengan persoalan politik mereka.
Konsep pokok
Indiyastutik memaparkan berbagai konsep pokok Rancière yang terkait ide demokrasi, seperti demos (le dêmos), kesetaraan (l’égalité), politik (la politique), dan tatanan sosial (la police) yang oleh Rancière diartikan secara baru. Rancière mengemukakan konsep baru dalam diskusi tentang politik: ”yang salah” (le tort), yakni kelompok yang tidak pernah diperhitungkan perannya dalam tatanan sosial. Dalam demokrasi ini, ”yang salah” tiba-tiba menyeruak.
Alasan yang mendasari demokrasi, menurut Rancière, adalah kesetaraan. Biasanya konsep kesetaraan ini diandaikan atas dasar privilese manusia, misalnya anggapan (agama) sebagai ciptaan Allah. Todd May, seorang komentator Rancière terkemuka, mengatakan bahwa kesetaraan dalam pandangan Rancière dimengerti sebagai sesuatu yang aktif berlawanan dengan kesetaraan pasif, yang dikaitkan dengan hak dan pengakuan yang wajib diberikan negara. Kesetaraan ”aktif” adalah apa yang secara aktual dijalankan orang secara politis. Jadi, kesetaraan bukan cita-cita yang sering dijadikan tujuan politik.
Pemahaman politik pun menurut Rancière mesti diluruskan. Dalam banyak bukunya dan dengan berbagai macam cara Rancière menjelaskan arti politik, dengan membedakannya dari polis (la police) atau tatanan sosial sebagaimana dibahas Sri Indiyastutik dalam Bab 2.
Bagi Rancière, politik (la politique) bukanlah pencarian persetujuan untuk menata sebuah polis, yang bakal melegitimasikan rezim penguasa. Pencarian persetujuan semacam ini kerap disusupi kepentingan ekonomi pasar yang dikuasai para elite, suatu hal yang sudah lama dikritik Karl Marx.
Politik juga bukan kebijakan untuk menegakkan hak asasi manusia dengan hukum-hukum yang disepakati, yang justru bisa menjadi legitimasi dalam pelaksanaan kekuasaan. Penulis memberi contoh kritik Rancière, ketika terjadi Perang Teluk, yakni diputuskan perang sebagai keniscayaan (a necessary war); ”Tujuan mulia untuk menciptakan atau menjaga keadilan dan stabilitas justru dapat menciptakan ketidakadilan yang menimbulkan banyak korban jiwa” (halaman 28-29).
Tatanan sosial atau polis (la police atau l’ordre policier), bentukan sah, hasil persetujuan, yang oleh Rancière dianggap prototipe negara ala Platon, dia sebut ”arkhe-politik” (l’archi-politique). Dalam konstelasi ini, orang-orang diatur menurut peran-peran mereka dalam masyarakat komunal, dengan setiap orang sudah ditentukan tempatnya.
Dihadapkan pada prototipe yang demikian ini, politik dan demokrasi ala Rancière tampak an-archical (tidak mempunyai dasar). Demos yang dimaksudkannya tidak bisa dimasukkan dalam kriteria apa pun di sini sebab merupakan orang kebanyakan, yang tidak mewakili pengelompokan tertentu.
Politik (la politique) menurut Rancière bukanlah persetujuan, melainkan justru ketidaksetujuan (le mésentente) atau disensus, misalnya dalam memahami persoalan dan kepentingan sosial. Disensus ini terjadi bukan sekadar salah paham atau kurang pengertian yang satu terhadap yang lain, melainkan karena masing-masing memiliki cara sendiri dalam mengutarakan sesuatu. Cara ini menurut Rancière merupakan upaya mengatasi reduksi bahasa yang dimonopoli para pakar dalam diskursus (halaman 34).
Jikalau memang hal ini yang menjadi persoalan dalam pencarian persetujuan, menjadi sulit memahami maksud Rancière karena ada kesan perselisihan itu terjadi karena memang komunikasi tidak terjadi. Rancière berkilah, atas dasar ”kesetaraan pada setiap orang dengan semua orang”, keunggulan akal budi pun tidak bisa dipakai dalih untuk penguasaan yang lain karena dengan alasan semacam ini orang bisa membodoh-bodohkan atau mempersalahkan yang lain. Jika demikian halnya, barangkali inilah persoalan filosofis yang paling akut dalam ”politik” dewasa ini.
Inkonvensional
Banyak hal lain yang menarik dari pemikiran Rancière karena pemahaman-pemahamannya yang inkonvensional, yang memberi kebaruan pada penafsiran ilmu politik, yang terlalu lama didominasi oleh kelompok kanan. Rancière semula pengikut Althusser, tetapi dia kecewa dan meninggalkannya. Sebagai seorang Marxis, Althusser tidak ikut turun ke jalan pada demonstrasi mahasiswa dan buruh di Perancis pada 1968, tetapi malah mengecam aksi (halaman 4).
Gagasan Rancière menimbulkan kontroversi dalam penafsiran. Penulis merujuk dua penafsir utama: yang pertama Todd May yang beranggapan pemikiran Rancière mempunyai implikasi pada penafsiran demokrasi sebagai anarki. Rancière mengakui, la politique bukanlah ”arkhe-politik” (l’archi-politique) seperti digagas Platon. Dan orang kerap memahami ”anarki” sebagai kehancuran tatanan sosial (status quo) atau terkait perebutan kekuasaan. Bagi Rancière, tatanan sosial yang teratur menyembunyikan kenyataan le tort yang tidak diberi peran tadi.
Politik yang demokratis bukanlah rezim pemerintahan, melainkan ”tindakan subyektivasi politik” yang menyeruak di tengah-tengah rezim yang sedang berkuasa, yang dengan sendirinya mengganggu. Demokrasi yang berupa ”disensus” jika dilihat dari sudut esensi pertikaiannya, tidak bermaksud menggantikan kekuasaan dengan tatanan baru karena hal ini bertentangan dengan maksud ”demokrasi” itu sendiri. Hal ini dikemukakan A Chambers sebagai kritik terhadap Todd May yang dia anggap tidak memahami Rancière sepenuhnya (halaman 165).
Bagi Chambers, demokrasi Rancière memberi kesegaran karena menghasilkan kemungkinan transformasi terhadap neoliberalisme dan demokrasi ”konsensus” yang mematikan politik (halaman 167).
Lantas, apa yang dimaksudkan Rancière dengan ”kesetaraan pada setiap orang dengan semua orang” karena, menurut dia, ”masih tidak dapat ditentukan isinya dan tidak ada landasannya yang bersifat apriori”, padahal inilah kata kunci yang seharusnya memvalidasi terjadinya demokrasi.
A SUDIARDJA
Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara