Keberadaan etnis Tionghoa yang tinggal di Desa Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali, menarik untuk dikaji dalam memahami relasi etnis minoritas dengan etnis mayoritas, yaitu etnis Bali. Sejak pertama kali datang (tamiu) di Bali pada tahun 1800-an, kendati berbeda secara kultural, mereka mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan penduduk asli (mewed) hingga sekarang.
Dalam buku Kuasa di Balik Harmoni: Relasi Tionghoa dan Etnis Bali di Bali (Pustaka Larasan, 2018), I Gusti Made Aryana menjelaskan bahwa terdapat permainan kuasa di antara etnis Tionghoa dan etnis Bali yang pada akhirnya menciptakan suatu posisi tertentu dari keduanya dalam berinteraksi sehingga melahirkan kehidupan yang harmonis.
Etnis Bali memainkan modal kuasa dan simboliknya dengan menggunakan ajaran kearifan lokal hidup harmonis disebut Tri Hita Karana yang dituangkan dalam peraturan (awig-awig) desa yang berlaku untuk seluruh warga termasuk etnis Tionghoa. Di sisi lain, untuk mengimbangi dominasi etnis Bali, etnis Tionghoa juga memainkan kuasanya, yaitu kekuatan modal ekonomi yang berguna bagi pembangunan fisik desa.
Dari kuasa dua arah tersebut muncul sikap saling ketergantungan dan saling melengkapi antara kelompok Tionghoa dan Bali. Hal inilah yang menjadi alasan masyarakat etnis Bali perlu memberikan pengayoman terhadap keberadaan etnis Tionghoa.
Nilai-nilai hidup berdampingan ini terus dijaga dan diturunkan kepada generasi penerusnya melalui pendidikan informal dalam keluarga maupun melalui organisasi sosial kemasyarakatan. Dengan begitu, gesekan yang muncul tidak menjadi bibit perpecahan, tapi menjadi hal yang wajar dalam dinamika kehidupan sosial. (AFN/LITBANG KOMPAS)
Reduksi Konflik Melalui Komunikasi Antarbudaya
Kota Solo pernah beberapa kali dilanda konflik rasial yang melibatkan etnis China dan etnis Jawa. Penyebabnya mungkin adanya ketimpangan ekonomi, sosial, dan politik. Tetapi, jika digali lebih dalam, akar terjadinya konflik adalah ketidakmampuan masyarakat dalam memahami keragaman kultural.
Satu kelompok etnis cenderung menginterpretasikan perilaku kelompok etnis lain berdasarkan perspektif dari kelompoknya. Akibatnya, tidak terjalin komunikasi budaya di antara keduanya. Dalam studi komunikasi, konsep ini dikenal sebagai mindlessness, yaitu komunikasi yang dijalankan tanpa kesadaran bahwa ada perbedaan dan kesamaan dalam diri tiap anggota kelompok budaya.
Kesalahpahaman budaya bisa dihindari dengan konsep lawannya, yaitu mindfulness, yaitu pemahaman adanya perbedaan karakteristik kultural antaretnis.
Hal tersebut seperti dibuktikan oleh Turnomo Rahardjo dalam bukunya, Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness dalam Komunikasi Antaretnis (Pustaka Pelajar, 2005), yang merupakan hasil penelitian di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Kota Solo. Masyarakat di Sudiroprajan ini terdiri dari etnis Jawa dan etnis China, tetapi mereka hidup harmonis berdampingan.
Menggunakan metode triangulasi, yaitu penggabungan metodologi survei dan studi fenomenologi, didapati bahwa segala perilaku etnosentris, prasangka, dan stereotip mampu direduksi karena kedua kelompok etnis di Sudiroprajan telah menciptakan situasi komunikasi yang mindful, seperti mengompromikan perbedaan yang ada dalam komunikasi sehari-hari.(AFN/LITBANG KOMPAS)