Jeihan Sukmantoro adalah salah satu maestro seni lukis Indonesia. Dekade 1960-an sampai 1970-an adalah masa paling dinamis bagi Jeihan, masa-masa Indonesia mengalami berbagai perubahan penting dalam sejarah.
Karya Jeihan tak hanya lukisan, tetapi juga patung, grafis, keramik, bahkan puisi. Sebagian karya seni rupa Jeihan—lebih dari 150 karya—dalam rentang tahun 1950 sampai sekarang ditampilkan dan diulas Mikke Susanto dalam buku Jeihan: Maestro Ambang Nyata dan Maya (Kepustakaan Populer Gramedia, 2017).
Menurut Mikke yang meneropong Jeihan dengan pendekatan oposisi biner, Jeihan hidup dalam suatu suasana yang menyiratkan keseimbangan tanpa harus meninggalkan satu dan lainnya.
Baginya hidup harus selaras lahir dan batin. Jeihan tumbuh dalam dimensi kultural di lingkungan Keraton Surakarta yang menjadikan dia kental dengan mistik dan spiritualisme. Jeihan berhasil memadukan teori Barat dan spiritualitas Timur dengan nilai-nilai kelokalan, yang memperkaya identitas seni rupa Indonesia.
Lukisan-lukisan figur bermata hitam menjadi salah satu ciri karya Jeihan. Mata hitam tidak hanya terkait visualisasi dan menjadi simbol ikonik lukisan Jeihan semata, tetapi juga bentuk ekspresi atas pengalaman kehidupan berada di ambang nyata dan maya. Ia berupaya menggali sisi fisik dan metafisik berbagai kejadian yang dialaminya.
Hakikat keseimbangan itu yang digunakan Jeihan dalam proses kreatifnya. Karyanya begitu dinamis, tetapi tetap kritis, buah ekspresi jiwanya yang liar. Lewat buku karya Mikke Susanto, Jeihan mengungkapkan opini, teori, sekaligus keyakinan spiritual yang berkelindan dalam dirinya. (AFN/Litbang Kompas)
Sejarah Seni Rupa Modern Indonesia
Helena Spanjaard, ahli seni dan arkeologi Asia Selatan dan Tenggara, dalam Artists and Their Inspiration: a Guide Through Indonesian Art History, 1930-2015 (LM Publishers, 2016), memaparkan perkembangan seni rupa modern dan kontemporer di Indonesia, sejak periode kolonial pada 1930-an hingga saat ini.
Menurut Helena, sejarah seni modern di Indonesia dibagi menjadi empat periode. Pertama, era kolonial dan revolusi tahun 1930-1950. Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia) menjadi peletak dasar sejarah seni rupa Indonesia, yang didirikan 23 Oktober 1938 oleh Sudjojono dan Agus Djaja.
Seniman di Persagi tidak memiliki keahlian melukis, semua bermodalkan semangat dan kemauan melukis saja. Karya seniman kebanyakan terpengaruh situasi perang kemerdekaan.
Periode kedua, tahun 1950-1965, terjadi polarisasi antara Akademi Seni di Yogyakarta dan Akademi Seni di Bandung. Akademi Seni di Bandung dianggap beraliran kolonial karena kurikulum dan pengajarnya dari Belanda, sedangkan di Yogyakarta lebih mengangkat isu perjuangan revolusi. Pada periode ini juga banyak seniman yang belajar di luar negeri.
Memasuki era Orde Baru (1965-1995), motif kontemporer banyak dikembangkan seniman dan kritikus lulusan luar negeri. Seni sosial dilarang diganti seni dekoratif ruang dan bangunan. Para seniman Bandung mulai menggabungkan motif-motif lokal.
Pada era Reformasi (1998-2015), tema yang diangkat mengikuti perubahan situasi politik dan sebagai bentuk kritik. Pada periode ini juga, seniman di Bali telah mengembangkan seni kontemporer yang mengangkat unsur lokal yang kental dengan budaya Hindunya. (AFN/LITBANG KOMPAS)