Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 pemerintah kolonial Belanda mempekerjakan para penduduk pribumi menjadi buruh di bidang pertanian dan perkebunan. Kedua bidang itu menjadi andalan karena menghasilkan berbagai komoditas perdagangan. Meskipun begitu, selain buruh dan petani, pada masa itu juga terdapat berbagai jenis pekerjaan.
Berbagai macam profesi dapat ditemukan di masyarakat. Ada pedagang kecil keliling yang menjual aneka makanan-minuman, seperti penjual tebu dan penjual semanggi. Lalu penjual jasa dan keahlian, seperti tukang pijat, kusir kuda, juga empu pembuat keris, pembuat genting. Di pemerintahan ada peronda, abdi dalem, prajurit, dan sebagainya. Hingga pekerja di pabrik es, rumah jagal, penggilingan kedelai.
Beberapa profesi di masa lalu itu mungkin kini telah punah, seperti penjual tuak keliling. Atau masih ada, tetapi berubah, seperti penjual kopi keliling yang sekarang dilakukan dengan bersepeda.
Kebanyakan dari pekerja keliling di atas merupakan pendatang dari desa yang bekerja di kota-kota di Jawa, yang sedang bertumbuh. Uniknya, mereka memiliki etos kerja yang menganggap bekerja tak sekadar untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, lebih dari itu juga disertai dorongan yang bersifat sosial atau spiritual, yang kadang dianggap lebih utama.
Potret kehidupan masyarakat kolonial dan para pekerja kala itu tersaji dalam buku Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe (Galang Pustaka, 2013) karya Olivier Johannes Raap, seorang kolektor barang antik. Lewat sehimpun kartu-kartu pos kuno bertema para pekerja di Jawa masa kolonial, dia berkisah tentang masa lalu. (AFN/LITBANG KOMPAS)
Zaman Gelap di Tanah Deli
Tanah Deli di bawah Kesultanan Deli pada abad ke-19 pernah menjadi lahan penderitaan bagi para kuli kontrak. H Mohammad Said mengulasnya dalam buku yang berjudul Suatu Zaman Gelap di Deli, Koeli Kontrak Tempoe Doeloe: dengan Derita dan Kemarahannya (Harian Waspada Medan, 1990). Buku ini memaparkan bagaimana kuli kontrak dari Jawa dan Bali dikirim untuk bekerja di perkebunan tembakau milik investor karena penduduk lokal enggan bekerja sebagai buruh.
Demi meningkatkan hasil produksi, tahun 1888 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan mengenai persyaratan hubungan kerja kuli kontrak yang disebut dengan Koeli Ordonnantie. Peraturan ini memberikan jaminan tertentu kepada majikan terhadap kemungkinan pekerja melarikan diri sebelum masa kerja habis. Dimasukkan pula peraturan mengenai hukuman bagi pelanggar yang dinamakan poenale sanctie.
Dalam praktiknya, para pemilik perkebunan kerap melakukan tindakan sewenang-wenang, penyiksaan, dan pelecehan terhadap kuli kontrak. Banyak terjadi aksi perlawanan dan aksi pelarian diri yang dilakukan kuli kontrak. Kendati mengalami beberapa kali revisi, peraturan tersebut tidak mengubah nasib para kuli hingga akhirnya dihapus oleh pemerintah kolonial Belanda sendiri akibat Perang Dunia I.
Disebut kuli kontrak karena sesuai ketentuan ”Koeli Ordonnantie” (1880) para pekerja atau buruh mengikat perjanjian perburuhan, lalu mereka disebut ”koeli contract”. Selama bertahun-tahun Koeli Ordonanntie hanya menjadi sarana untuk pemberian kekuasaan kepada para majikan. Para kuli kontrak bekerja layaknya budak. (AFN/LITBANG KOMPAS)