Pergulatan di Balik Layar

Sofjan Wanandi dan Tujuh Presiden
RESENSI BUKU
Judul: Sofjan Wanandi dan Tujuh Presiden
Penulis: Robert Adhi Ksp
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: I, 2018
Tebal Buku: xiv + 306 halaman
ISBN: 978-602-412-394-9
Penggalan sejarah pergerakan mahasiswa ’66 menandai berbagai sudut pandang pengalaman Sofjan sebagai aktivis mahasiswa. Buku tentang Sofjan yang ditulis dalam deskripsi wawancara dan penggalian berbagai sumber koran, majalah, buku, dan sumber dari lembaga studi tepercaya melengkapi alur cerita seorang Sofjan Wanandi sebagai seorang aktivis.
Awal pergerakannya dimulai ketika ia sebagai pemimpin Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Jakarta dan Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Jakarta, ikut memimpin demonstrasi menumbangkan rezim Orde Lama Presiden Soekarno. Sofjan Wanandi, yang waktu itu bernama Lim Bian Khoen, bersama Firdaus Wadjdi, didampingi Presidium KAMI, Cosmas Batubara, David Napitupulu, dan Zamroni, hadir dalam dialog terbuka dengan Presiden Soekarno pada 18 Januari 1966.
Tak disangka, Bung Karno marah-marah kepada delegasi KAMI dan menuduh anak buah Sofjan menulis kata-kata tidak sopan di tembok tentang Hartini, istri Bung Karno. Sofjan membantah dan meminta Bung Karno memberikan bukti atas tuduhannya. Setelah Bung Karno tidak dapat memberikan bukti tuduhannya, pembicaraan dialihkan pada soal lain, dan Bung Karno ganti membentak-bentak David Napitupulu dan Cosmas Batubara.
Bagi Sofjan, pertemuan dengan Bung Karno memberikan nilai dan momentum untuk berdebat langsung dengan Pemimpin Besar Revolusi. Diskusi dengan Bung Karno menjadi istimewa, apalagi sesudah 11 Maret 1966, beberapa tokoh mahasiswa, termasuk Sofjan, diundang lagi ke Istana. Berbeda dengan pertemuan pertama, pertemuan kedua ini berlangsung baik. Bahkan, Bung Karno memperlakukan para mahasiswa sangat baik, sampai diberi nasi goreng.
Tritura dan Supersemar
Meski memiliki hubungan baik dengan Sarwo Edhie Wibowo (Komandan RPKAD), yang mendukung gerakan mahasiswa, serta mendapat pengawalan, namun setelah KAMI dibubarkan Bung Karno pada 24 Februari 1966, bukan berarti Sofjan aman dari incaran PKI. Sofjan sempat berpindah-pindah rumah karena dikejar-kejar BPI (badan intel yang dipimpin Soebandrio) karena dianggap mengancam Jakarta dan menghasut para mahasiswa. Sofjan dan temannya ditahan setelah dilitsus Staf Komando Garnisun (Skogar). Hanya saja, karena dianggap tahanan ”istimewa” Sofjan tidak pernah di-gebukin.
Pembubaran KAMI tidak mematahkan semangat gerakan para mahasiswa. Mereka membentuk laskar-laskar AMPERA, yang bersifat rayon-rayon dan berjalan dalam kelompok-kelompok kecil. Tatkala Tritura disuarakan pada 10 Januari 1966, Sofjan menjadi dirigen dalam lagu ”Indonesia Raya”. Spirit apel siaga ini menjadi Sofjan ”tidak takut” ditembak lawan politiknya kendati sasaran demonstrasi pengganyangan PKI dan antek-anteknya.
Sementara menjelang sidang pelantikan Kabinet Dwikora, 11 Maret 1966, keadaan semakin genting. Sofjan, Fahmi Idris, dan kawan-kawannya mempersiapkan demonstrasi mahasiswa, pelajar, dan rakyat sampai memacetkan lalu lintas di depan Istana. Beberapa menteri yang akan dilantik terpaksa dijemput dengan helikopter.
Rehabilitasi sendi-sendi ekonomi dari era Demokrasi Terpimpin ke periode Orde Baru dilampaui Sofjan. Risiko bermain politik pada high level bersama teman diambil dalam pemerintahan. Tujuannya, melakukan koreksi dari dalam dan tidak perlu lagi di jalanan melakukan demonstrasi. Risiko ini dia tanggung karena menjadi ajang perbedaan pendapat dengan teman seperjuangan, termasuk Fahmi Idris dan Sjahrir, yang melakukan koreksi dari luar.
Titik kulminasi perbedaan pendapat terjadi pada peristiwa Malari 1974. Di situlah puncak perpecahan angkatan ’66. Ali Murtopo dan Sudjono Humardani sebagai Aspri Presiden Soeharto menjadi sasaran kritik demonstran. Sofjan yang saat itu menjadi pembantu mereka dan memiliki hubungan dekat tak luput dari kecaman.
Tujuh Presiden
Dalam buku ini, pengalaman Sofjan dengan tujuh presiden dituturkan secara runut. Dimulai dengan perjalanan ke Eropa dan ikut membidani pendirian sebuah lembaga studi strategis Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta. Kini sebagai pebisnis, tentu perjuangannya tidak lepas dari dunia ”saling pengaruh”.
Sebagai tokoh pergerakan atau aktivis 1966, Sofjan yang kemudian menjadi pengusaha besar, hidupnya ”tak lekang di makan usia”. Satu demi satu pengalaman dengan Presiden Indonesia dilampaui, sejak Soekarno sampai Joko Widodo. Hanya pada era BJ Habibie, Sofjan dicari-cari dan ”dikerjai”. Buku memoar, yang ditulis rinci ini menggambarkan spirit pengorbanan dan pengabdian Sofjan kepada bangsa dan negara, my love for my country.
Dimensi ketokohan juga tampak pada kedekatannya dengan Jusuf Kalla. Dimulai sejak bertemu 1966, di Kadin pada 1970-an, kemudian saat Sofjan menjabat Ketua Dewan Pengembangan Usaha Nasional, yang dibentuk Presiden Abdurrahman Wahid. Pada waktu itu Kalla menjabat menteri perindustrian, kemudian menko kesra pada era Presiden Megawati.
Mereka sering bertemu dan berdiskusi soal perkembangan masalah ekonomi dan politik, termasuk membahas perdamaian di Aceh dan Poso. Keduanya memiliki banyak kesamaan dalam ide dan gagasan. Sebagai ”pelobi ulung”, Sofjan juga mempromosikan Kalla sebagai cawapres mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono sebagai capres pada tahun 2004.
Peran Sofjan di balik layar dan kontribusi di Apindo patut diacungi jempol. Sofjan diganjar penghargaan dari Raja Swedia Carl XVI Gustaf karena memperkuat hubungan Swedia-Indonesia, membantu usaha kecil dan menengah di Indonesia. Penghargaan internasional lain The Order of the Rising Sun, Gold and Silver Star Award dari Kaisar Jepang (2015) serta Commander of the Order of the Crown dari Putri Astrid, Belgia (2016).
Sebagai seorang idealis, Sofjan pernah menolak tawaran Kalla untuk menjabat menteri setelah pasangan Yudhoyono-Kalla memenangi Pilpres 2004-2009. Dalam Pilpres 2014, yang dimenangi pasangan Jokowi-Kalla, Sofjan juga menolak tawaran Kalla menjadi pejabat. Hanya saja tawaran sebagai ketua tim ahli wapres ia terima, itu pun dengan syarat tidak mau menjadi staf khusus agar bisa bebas, tidak terikat jam kerja, tidak mau digaji, dan menolak fasilitas negara.
Meskipun buku ini menarasikan dengan baik peran seorang Sofjan Wanandi sejak masa Presiden Soekarno hingga Presiden Jokowi, yang selama ini luput dari perhatian masyarakat, ada catatan kelemahan. Buku ini kurang menyajikan deskripsi fakta yang bersumber dari koran atau buku-buku lain terkait sejarah Orba. Kalau mau lebih objektif, buku ini patut menyajikan pemikiran-pemikiran pelaku sejarah pergerakan ’66 lainnya, seperti Fahmi Idris, Sjahrir, Marsilam Simandjuntak, dan Soe Hok Gie.