Antropologi Wayang Sunda
Judul Buku: Raga Kayu, Jiwa Manusia: Wayang Golek Sunda
Penulis: Sarah Anaïs Andrieu
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan: I, 2017
Tebal: 513 halaman
ISBN: 978 602 424 766 9
Dalam sajak ”Jagat Alit” (mikrokosmos) karya Godi Suwarna, panggung wayang dipertautkan dengan kematian. Manusia ditamsilkan sebagai kalangkang-kalangkang wayang (bayang-bayang wayang). Ia hanya rénghap ranjug saméméh ajal ngolépat (menghela napas sebelum ajal berkelebat). Anggapan umum di Tatar Sunda memang memaknai hidup sebagai darma wawayangan waé (sekadar tugas memainkan lakon).
Puisi, juga pandangan kolektif, mendapatkan perlambang dari panggung wayang. Ada pun ilmu sosial, khususnya antropologi, menghampiri panggung itu sendiri, menggauli ”jagat alit” dalam seni tradisi, lalu menyusun narasi tentang hidup dan mati yang lain lagi. Idiomnya mungkin ”tradisi yang berubah”, ”panggung yang diterpa krisis”, atau ”warisan agung yang terancam punah”.
Buku ini menyajikan uraian etnografis perihal wayang golek sebagai seni pertunjukan dari tatar Sunda. Uraian tentang ”pertunjukan” (performance) dalam buku ini menyeluruh. Dalang beserta rombongan nayaga, wayang-wayang, dan perlengkapan gamelan, bahasa dan musiknya, panggung berikut propertinya, sinden dan bintang tamu, pemangku hajat, khalayak penonton, pasar malam dadakan, dan sebagainya mendapat bagian dalam uraian. Dengan kata lain, buku ini menelaah wayang golek dalam keseluruhan atmosfer pertunjukannya.
Penulisnya, Sarah Anaïs Andrieu, berasal dari Perancis. Ia menetap di selatan Bandung sejak 2006 dan meneliti wayang golek selama 13 bulan. Ia tinggal bersama masyarakat seni pertunjukan di sekitar dalang superstar, mendiang H Asep Sunandar Sunarya. Ia mengamati rincian seni pertunjukan yang satu ini, bahkan jadi bagian darinya, juga turut membantu mewartakannya ke lingkungan masyarakat yang lebih luas.
Tahun 2017, Sarah ikut membantu muhibah wayang golek ke Eropa. Lingkung Seni Putra Giri Harja 3 pimpinan dalang Dadan Sunandar Sunarya, penerus dalang Asep, main dalam sebuah festival di Paris. Sarah mempromosikan wayang golek kepada publik di sana. Disiplin akademis, juga pengalaman pribadi, bersenyawa begitu rupa dalam ”deskripsi mendalam” (thick description) mengenai jagat wayang golek hari ini.
Karya Sarah merupakan disertasi di bidang antropologi. Publikasinya telah memperkaya karya ilmiah mengenai wayang golek setelah, antara lain, buku Andrew N Weintraub, Power Play: Wayang Golek Puppet Theater of West Java (2004) di bidang etnomusikologi.
Keluarga, bangsa, dan dunia
Telaah ini terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama menyajikan anatomi lingkung seni wayang golek, yang berbasis keluarga, dengan dalang sebagai titik pusatnya. Keluarga itu meluas, melebar, dan bercecabang, turut membentuk, memengaruhi, dan mewarnai identitas kolektif di lingkungan budaya daerah. Wayang golek di tatar Sunda sama pentingnya dengan wayang kulit di tanah Jawa. Standardisasi dirumuskan, pakem dan tetekon digariskan, wayang purwa yang menimba ilham dari India dijadikan acuan seraya menghasilkan warna setempat sebagaimana yang terlihat dari kehadiran panakawan.
Bagian kedua menghubungkan panggung wayang golek dengan panggung kebangsaan. Kekuasaan negara adalah salah satu pihak yang berkepentingan memanfaatkannya. Peralihan kekuasaan turut memengaruhi dinamika pedalangan. Rupa-rupa krisis tecermin pula di panggung wayang, termasuk ”krisis sinden” pada 1960-an yang sempat mengganggu wibawa dalang. Teknologi media, juga perubahan cara hidup masyarakat, tak kurang pentingnya. Pragmatisme dalang, juga kesanggupan dan kemampuannya menghasilkan berbagai inovasi, menyiasati semua faktor itu.
Bagian ketiga mempertautkan wacana wayang golek dengan wacana kebudayaan di lingkungan dunia, setidaknya ”dunia” sebagaimana yang dilihat oleh UNESCO. Dalam bagian ini Sarah mengajak pembaca memikirkan segi-segi wayang golek sebagai ”karya agung warisan budaya lisan dan tak benda manusia” (chef d’oeuvre du patrimoine oral et immatériel de l’humanité)—sebuah istilah yang sukar dilafalkan. Apa artinya jika wayang golek dimasukkan ke dalam registrasi ”warisan agung”? Bagaimana akalnya agar pengagungan warisan yang satu ini tidak malah memapankan kembali cara pandang ”orientalis”?
Demikianlah, dengan menekankan dua konsep, performance (pertunjukan) dan patrimoine (warisan), buku ini menyuguhkan bahan permenungan tersendiri perihal wayang golek dari tatar Sunda. Pembaca diajak menyelami dinamika wayang golek dari lingkungan keluarga ke lingkungan yang lebih luas, tak terkecuali lingkungan antarbangsa.
Beberapa kerikil
Seperti kerikil di jalan aspal, ada beberapa rincian dalam uraian yang kiranya perlu ditimbang ulang, meski tidak terlalu mengganggu.
Hal itu terlihat dalam uraian latar historis. Ketika menyinggung-nyinggung perubahan sosial-politik di Indonesia pada 1949 (hlm 69), misalnya, Sarah menulis bahwa ”Bandung tampil sebagai sebuah pusat dan penyebar semangat revolusi, pada saat berkembangnya sebuah pusat aktivitas sastra dan budaya Sunda dengan tokoh utamanya Ajip Rosidi”. Pada 1949, Ajip Rosidi baru berumur 11 tahun, dan ia baru mengumumkan karya sastra pada 1952.
Penulisan istilah setempat juga patut dicatat. Islilah ”gaplék”, sejenis makanan dari singkong, misalnya, seharusnya tidak tertukar dengan istilah gapléh, sejenis permainan kartu (hlm 166). Kata ”alus” yang dalam bahasa Sunda berarti ”bagus”, tidak sama dengan ”lemes” (halus) dalam kaitannya dengan level tuturan bahasa Sunda.
Sarah menyepadankan peribahasa Indonesia ”kacang lupa akan kulitnya” dengan peribahasa Sunda ”cul dogdog tinggal igel” (hlm 112). Ungkapan pertama berarti ”orang tinggi hati, lupa akan asal-usulnya sendiri”. Adapun ungkapan kedua berarti ”meninggalkan hal yang pokok, mengurusi hal yang sampingan”. Dengan kata lain, keduanya tidak sepadan. Kiranya, ada ungkapan Sunda yang lebih tepat, yakni ”unggah adat”.
Terlepas dari kerikil uraian demikian, tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa telaah wayang golek yang disajikan oleh Sarah adalah antropologi yang menyadari ironinya sendiri. Di sudut-sudut dunia, di selatan Bandung atau daerah lainnya, memang ada ”warisan agung” yang patut diselamatkan. Namun, ”penyelamatan” itu tidak bisa hanya berlangsung di dalam teks. Para perawat dan pengelola warisan budaya itu sendiri, masyarakat seni pertunjukan, tetap mengerahkan tenaganya sendiri buat menyiasati pusaran hidup dan mati.