Kebuntuan Tak Harus Berbuah Amarah
- Judul: Age of Anger: A History of the Present
- Penulis: Pankaj Mishra
- Penerbit: Picador
- Cetakan: I, 2017
- Tebal: ix +406 halaman
- ISBN: 978-1-250-15930-4
Tak ada yang lebih menyakitkan daripada cita-cita yang patah di tengah jalan. Inilah sumber dari segala penderitaan manusia. Ketika harapan bertentangan dengan kenyataan, beragam emosi merusak pun berdatangan, mulai dari takut, cemas, sampai dengan amarah.
Buku Age of Anger: A History of the Present secara khusus ingin menyentuh tema ini. Peradaban lahir untuk menciptakan perdamaian dan kemakmuran di dunia. Ribuan pemikir dan tokoh sejarah bergerak bersama ke arah tersebut. Namun, sekali lagi, kenyataan menyelinap masuk dan melukai harapan yang ada.
Sejak abad ke-20 saja, kita menyaksikan begitu banyak kejadian yang menyayat hati. Bangkitnya pemerintahan totalitaristik di sejumlah negara menyulut konflik dan perang yang memakan korban jutaan manusia. Pembunuhan massal terhadap kelompok tertentu atas dasar suku, ras, agama, dan ideologi masih terus berulang. Belum lagi ancaman perang nuklir yang akan menghancurkan peradaban manusia.
Di abad ke-21, kita melihat bangkitnya gerakan radikal dan teroris dengan mengatasnamakan agama. Ini lahir dari beragam kebijakan geopolitik pihak-pihak yang ingin memecah belah dunia. Buahnya adalah ketimpangan sosial yang begitu besar antara si kaya dan si miskin di berbagai lapisan masyarakat, mulai dari tingkat global sampai lokal. Alih-alih menemukan kedamaian di dalam perkembangan peradaban, menurut Mishra, dunia justru dipenuhi rasa takut dan amarah (hlm 10).
Empat argumen
Mishra melukiskan ini dengan sangat jeli di dalam bukunya. Sudut pandangnya unik, karena ia adalah manusia lintas peradaban. Ia akrab dengan ajaran klasik Hinduisme dan Buddhisme, sekaligus fasih berbicara soal pemikir-pemikir besar yang berkembang di dalam tradisi pencerahan Eropa. Mishra menari di antara tradisi akal budi Eropa dan tradisi mistik India kuno. Ada empat hal yang kiranya patut diperhatikan.
Pertama, yang merupakan argumen utama buku ini, adalah berbagai permasalahan global yang mencakup bidang ekonomi, sosial, dan politik sekarang lahir dari modernitas dan revolusi industri yang terjadi di Eropa. Virus kerusakan ini menyebar melalui kolonialisme Eropa ke berbagai penjuru dunia. Apa yang terjadi di abad ke-20 dan ke-21 ini merupakan kelanjutan dari krisis tersebut (hlm 10).
Modernitas, yang diikuti dengan revolusi industri, telah menyempitkan manusia ke dalam satu unsur semata, yakni rasionalitasnya. Rasionalitas ini menjadi dasar bagi kebebasan sekaligus lahirnya hak-hak asasi manusia. Bersamaan dengan ini, berbagai peradaban yang memiliki pandangan berbeda dianggap sebagai peradaban yang lebih rendah, maka harus diberadabkan melalui penjajahan. Inilah akar segala bentuk rasisme dan diskriminasi yang begitu mudah disaksikan sekarang ini.
Kedua, segala tindakan pasti menghasilkan akibat. Melebarnya pengaruh modernitas juga mendatangkan berbagai akibat, mulai dari gerakan antimodernitas yang memuja irasionalitas sampai dengan kebencian terhadap modernitas itu sendiri, termasuk kebencian terhadap budaya Eropa dan Barat sebagai keseluruhan yang mengusungnya (hlm 274).
Konflik peradaban tidak lagi dilihat sebagai bentrokan di antara budaya Barat dengan non-Barat, terutama Islam, tetapi antara modernitas dengan antimodernitas. Konflik ini tidak dipahami dengan tepat sehingga menurut Mishra, terciptalah kebuntuan dan kebencian yang mendalam di tingkat global (hlm 14). Kebencian ini mewujud di dalam terpikatnya banyak orang terhadap pesona totalitarisme, rasisme, radikalisme agama, dan kekerasan di abad ke-21 ini. Peradaban manusia pun seolah menjadi semakin tak beradab.
Ketiga, apa yang bisa dilakukan? Mishra menawarkan jalan keluar yang bersentuhan langsung dengan akar budaya India yang ia punya, yakni kembali ke kenyataan itu sendiri (hlm 321). Kenyataan yang sejati itu berada sebelum segala bentuk konsep, teori, analisis, dan identitas sosial yang mengepung hidup manusia, seperti suku, ras, agama, bangsa, dan ideologi. Seni hidup alami, sebagaimana dikembangkan oleh Thoreau, seorang pemikir Amerika, juga memberikan inspirasi pada Mishra.
Mishra sendiri memang tidak memberikan jalan keluar. Bukan itu tujuan dari bukunya. Ia hanya mengajak kita memahami apa yang terjadi sekarang ini, dan apa yang menjadi akar penyebabnya. Satu hal yang terus datang menyelinap di balik uraiannya, yakni pemahaman manusia tentang dirinya sendiri. Ketika manusia menyamakan dirinya dengan identitas sosialnya, seperti suku, ras, agama, bangsa, dan ideologi, maka ia akan jatuh ke dalam kebingungan yang merupakan akar dari amarah dan kebencian (hlm 158-159).
Keempat, yang diperlukan, menurut Mishra, adalah sebentuk pemikiran transformatif tentang identitas sejati manusia dan hubungannya dengan dunia (hlm 346). Kesalahpahaman paling dasar adalah ketika diri disamakan dengan identitas sosial. Inilah yang melahirkan beragam tindakan intoleran, diskriminasi, dan kekerasan di dalam segala bentuknya. Jejak-jejak pemikiran India kuno bisa tercium di dalam argumen ini.
Menunda semua identitas sosial berarti menyentuh unsur universal yang sama di dalam semua makhluk, yakni kehidupan itu sendiri. Di dalam pola pikir ini, menurut Mishra, solidaritas, kepedulian, dan welas asih akan muncul secara alami. Nilai-nilai ini sejalan dengan cita-cita sosialisme yang justru dianggap sebagai ideologi setan di banyak negara. Ketika solidaritas, kepedulian dan welas asih dianggap sebagai ideologi setan, kebuntuan pun terjadi, dan akhirnya memuncak menjadi amarah.
Bagaimana Indonesia?
Gelombang amarah yang menjadi akar berbagai konflik global juga menyentuh Indonesia. Bangsa ini terbelah antara keinginan untuk menjadi modern di satu sisi, terutama dengan mengikuti jejak negara-negara Barat, dan kerinduan akan kemurnian identitas asal di sisi lain, yang ironisnya justru tetap meniru budaya lain. Kebingungan identitas ini kerap kali berakhir pada kebuntuan yang berbuah amarah. Meletusnya bom di Surabaya dan di sejumlah tempat lainnya, menunjukkan satu hal bahwa Indonesia tak kebal dari kerinduan terhadap totalitarisme, radikalisme agama, terorisme, dan beragam bentuk kekerasan lainnya.
Pemikiran transformatif yang disinggung Mishra kiranya juga amat diperlukan di Indonesia. Jebakan identitas dan politik identitas menuntut pemikiran ulang tentang apa artinya menjadi manusia di tengah semesta yang tak terbatas ini. Dengan pemikiran transformatif ini, kiranya kebuntuan yang dirasakan tidak harus berbuah amarah. Ia bisa menjadi awal dari sebuah pencarian yang mendebarkan, sekaligus mencerahkan.
Reza AA Wattimena Peneliti, tinggal di Jakarta