Ragam Pustaka
Namun di sisi lain, teknologi juga mengandung risiko atau berpotensi memunculkan masalah baru, sebagaimana diungkapkan Francis Fukuyama dalam bukunya The Great Disruption (Qalam, 2002). Fukuyama menyoroti berbagai perubahan yang terjadi justru memunculkan ”kekacauan besar” dalam tatanan nilai-nilai sosial.
Rusaknya tatanan sosial akibat kemajuan teknologi telah berlangsung sejak permulaan Revolusi Industri. Masyarakat tunduk pada proses modernisasi yang membawa sistem produksi baru menggantikan sistem produksi lama. Akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 di Amerika dan Inggris dampak perubahan itu terlihat ketika kekuatan mesin dan mekanisasi menciptakan industri baru di bidang manufaktur, transportasi, dan sebagainya. Masyarakat agraris berubah menjadi masyarakat industri perkotaan. Bersamaan dengan itu, proses perubahan sosial budaya berlangsung, sebagian besar norma sosial, kebiasaan, adat istiadat mulai dipengaruhi irama kerja dunia industri dan kehidupan kota.
Berbagai kemerosotan muncul seperti melemahnya ikatan sosial, baik lingkup keluarga, komunitas, maupun negara. Kriminalitas merajalela, kepercayaan sosial menipis, kekeluargaan melemah, dan individualisme mendominasi. Menghadapi hal itu, perlu komitmen menata kembali kehidupan modern yang tetap berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan. (PTU/LITBANG)
Panduan Pemasaran di Era Digital
Inovasi digital membawa perubahan besar dalam ranah bisnis, seperti bidang pemasaran. Sebelumnya, pendekatan pemasaran berfokus pada produk (product-driven), lalu berubah ke pelanggan (customer-centric), hingga pada aspek kemanusiaan pelanggan (human-centric).
Di era yang serba terkoneksi dengan jaringan, konsumen lebih mengandalkan apa yang disebut the f-factor, yakni friends, families, fans/followers (media sosial) daripada pesan marketing atau iklan dari perusahaan. Relasi antara pemilik merek/produk dan konsumen kini berubah dari vertikal menjadi horizontal atau setara.
Proses pengambilan keputusan konsumen juga berubah dari individual menjadi sosial. Lingkaran jejaring sosial, berbagai saran atau review baik offline maupun online banyak memengaruhi keputusan. Agar merek bisa beradaptasi dengan perubahan di era digital, Philip Kotler, Hermawan Kartajaya, dan Iwan Setiawan menawarkan gagasan Marketing 4.0: Moving from Traditional to Digital (John Wiley & Sons Inc, 2017).
Konsep Marketing 4.0 mengurai perubahan perjalanan konsumen (customer path) dari awalnya 4A (aware, attitude, act, dan act again) menjadi 5A (aware, appeal, ask, act, dan advocate). Di sini pentingnya integrasi antara digital dan tradisional, offline maupun online.
Perubahan lain juga perlu dilakukan pemilik merek dengan lebih menerapkan content marketing (content is the new ad). Merek diharapkan dapat mengakomodasi aspek partisipasi konsumen dengan menerapkan konsep 4C (co-creation, currency, communal activation, dan conversation) untuk melengkapi konsep klasik 4P (product, price, place, promotion). (PTU/LITBANG)