logo Kompas.id
Bebas AksesDi Balik Lucunya Srimulat dan ...
Iklan

Di Balik Lucunya Srimulat dan Warkop yang Selalu Dirindukan

Bagaimana proses kreatif dan cara Srimulat dan Warkop DKI menghasilkan guyonan yang legendaris dan tetap digemari dan dirindukan hingga kini?

Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA, PRAYOGI DWI SULISTYO, DAHLIA IRAWATI, I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
· 5 menit baca
Warkop DKI: Indro, Kasino, dan Dono.
ARSIP KOMPAS

Warkop DKI: Indro, Kasino, dan Dono.

Berbicara seni komedi Tanah Air tak lepas dari dua nama grup legendaris, yakni Srimulat dan Warkop DKI. Tanpa mengurangi rasa hormat akan grup komedian lainnya, Srimulat dan Warkop DKI mewakili dua kutub komedi berbeda dan memiliki keunikan masing-masing. Lantas bagaimana rahasia keduanya bisa terus saja digemari dan dirindukan hingga kini?

Mengutip buku ”Srimulat Aneh yang Lucu” yang ditulis Sony Set dan Agung Pewe, Srimulat sejatinya telah berdiri sejak 1950. Didirikan oleh Teguh Slamet Rahardjo bersama dengan istrinya, RA Srimulat, menjadi fenomena komedi yang berhasil menggabungkan konsep ”Dagelan Mataram” ala Yogyakarta dengan banyolan khas Jawa Timur.

Mulanya, Srimulat sebuah kelompok kesenian tradisional berbasis kerakyatan yang fokus pada musik dan bernyanyi dengan nama Gema Malam Srimulat. Mereka berkembang menjadi paket pertunjukan seni yang sering pentas di kota-kota besar dan perdesaan di Pulau Jawa, lalu perlahan menjadi pertunjukan humor. Jatuh-bangun dialami kelompok ini hingga berhasil tampil ribuan kali di televisi, layar lebar, dan panggung hiburan.

Baca juga: Dari Srimulat, Warkop, hingga ”Stand Up Comedy” dan Konten Humor Medsos

Nurbuat dan Timbul (kanan), anggota grup lawak tradisional Srimulat. Judul Amplop: Artis-artis Srimulat
KOMPAS/MATHIAS HARIYADI

Nurbuat dan Timbul (kanan), anggota grup lawak tradisional Srimulat. Judul Amplop: Artis-artis Srimulat

Baca juga: Belajar UU TNI

Tarzan, salah satu mantan personel yang lekat dengan Srimulat, menjelaskan, dalam proses kreatifnya, tiap personel itu wajib menciptakan improvisasi guyonan yang bisa membuat penonton tertawa. Biasanya, mereka hanya diberikan garis besar cerita tanpa naskah percakapan yang mendetail. Tiap pelawak harus cepat tanggap merespons aksi rekannya agar bisa segera diolah jadi banyolan yang meledakan tawa penonton.

”Misalkan cerita tentang pembantu. Ganggu juragannya. Lalu pacar juragannya datang. Marah-marah. Ya itu saja. Harus dilucukan,” ujar Tarzan yang ditemui di kediamannya, Jakarta Timur, Rabu (13/9/2023).

Tarzan yang bergabung di Srimulat pada periode Mei 1979-Desember 1986 ini,] bercerita, kekuatan lain komedi Srimulat adalah dari properti panggung. Misalkan pelawaknya lagi adegan makan tiba-tiba sendoknya meleset mencolok mata. Atau lagi jalan tiba-tiba terpentuk kaki kursi. ”Orang enggak pengalaman, ya, enggak bisa masuk Srimulat. Harus bisa tek-tok-nya,” ujar Tarzan.

Baca juga: Yuk, Ketawa demi Kesehatan Kita

<i>Finding</i> Srimulat menggunakan set panggung khas panggung komedi Srimulat lengkap dengan awak orisinal Srimulat, seperti Djujuk, Kadir, Gogon, Tessy, dan Mamiek. Plus bintang Reza Rahadian dan Rianti Cartwright.
ARSIP MAGMA ENTERTAINMENT

Finding Srimulat menggunakan set panggung khas panggung komedi Srimulat lengkap dengan awak orisinal Srimulat, seperti Djujuk, Kadir, Gogon, Tessy, dan Mamiek. Plus bintang Reza Rahadian dan Rianti Cartwright.

Teguh, pendiri Srimulat, punya resep khusus, yaitu ”lucu itu aneh”. Maka, para pelawak Srimulat pun terbiasa menciptakan lakon yang kala itu dinilai ganjil, seperti laki-laki berpakaian wanita, seperti diperankan Tessy. Atau lakon drakula yang kerap diperankan Paul Polii.

Gaya komedi Srimulat pun banyak dicontoh ratusan tayangan humor mulai dari teknik dialog, tata letak panggung, dan penokohan karakter. Srimulat yang lekat dengan konsep pembantu rumah tangga sebagai tokoh sentral dan paling berkuasa ketimbang majikannya pun ditiru sejumlah tayangan televisi. Bahkan, kostum khas seniman Jawa yang menjadi ciri khas Srimulat pun ditiru.

Lawak verbal

Iklan

Beda Srimulat, beda pula Warkop DKI. Grup lawak yang awalnya kuintet, lalu jadi trio legendaris Dono, Kasino, Indro ini terkenal melalui gaya komedi verbal yang kocak, tetapi juga menyentil kondisi sosial. Banyak penggalan frasa yang dipopulerkan trio ini yang masih ”hidup” dan relevan di masa kini, seperti ”Gile lu, ndro!” atau ”tertawalah sebelum tertawa itu dilarang”.

Indro menjelaskan, sebelum ada Warkop, grup-grup lawak lebih banyak mengandalkan unsur fisik untuk mengundang tawa penonton. Kehadiran Warkop menawarkan jurus baru melucu melalui pendekatan verbal. ”Cara jokes-jokes kami itu pakai kata-kata yang dirangkai jadi sesuatu yang lucu. Lebih verbal,” ujar Indro ditemui di kediamannya, Senin (18/9/2023).

Indro Warkop
KOMPAS/RIZA FATHONI

Indro Warkop

Bertolak belakang dengan grup lawak lainnya saat itu yang tampil dengan berbagai kostum dan properti, Warkop DKI tampil simpel. Trio legendaris ini juga berpakaian biasa, bahkan rapi, seperti jas saat pentas di panggung.

Perbedaan cara melucu ini tak lepas dari aktor di balik berdirinya Warkop DKI. Terbentuk pada September 1973, embrio kocak Warkop bersumber dari para mahasiswa intelek, tetapi ngocol pada masa itu. Salah satu pendiri Warkop, Rudy Badil, di dalam buku ”Main-main Jadi Bukan Main” mengisahkan, Warkop Prambors identik dengan komedian kampus andalan Radio Prambors dan Universitas Indonesia. Meskipun demikian, personel Warkop termuda, Indrodjojo Kusumonegoro (Indro) berasal dari Universitas Pancasila.

Warkop memiliki kekhasan membawakan kisah folklor lucu, jorok, dan ilmiah yang jelas ujung pangkalnya. Bahkan, mereka berani menampilkan gurauan politik. Mengingat Wahjoe Sardono (Dono) telah aktif di koran mahasiswa UI, harian Salemba.

Berbagai aksi panggung, tayangan televisi, dan film bioskop pun dihasilkan oleh Warkop. Sepeninggal Nanu, Kasino, Dono, dan Rudy, gaya komedi khas Warkop yang cerdas masih bertahan, tetap eksis, bahkan jadi panutan para komedian muda saat ini.

Warta Warkop, rubrik khusus yang memarodikan SEA Games 1997 dan terbit di halaman 1 harian <i>Kompas</i> selama penyelenggaraan pesta olahraga terbesar di Asia Tenggara 11 Oktober hingga 19 Oktober 1997. Rubrik tersebut ditulis oleh tiga personel Warkop DKI: Dono, Kasino dan Indro, dan diinisiasi oleh wartawan <i>Kompas</i> yang juga pendiri Warkop DKI, Rudy Badil.
PUSAT INFORMASI KOMPAS

Warta Warkop, rubrik khusus yang memarodikan SEA Games 1997 dan terbit di halaman 1 harian Kompas selama penyelenggaraan pesta olahraga terbesar di Asia Tenggara 11 Oktober hingga 19 Oktober 1997. Rubrik tersebut ditulis oleh tiga personel Warkop DKI: Dono, Kasino dan Indro, dan diinisiasi oleh wartawan Kompas yang juga pendiri Warkop DKI, Rudy Badil.

Peneliti humor Institut Humor Indonesia Kini (IHIK), Yasser Fikri, berpendapat, cara melawak Srimulat dengan Warkop DKI itu sangat berbeda. Srimulat sangat lekat dengan akar budaya seni tradisional yang mengandalkan gerakan atau tampilan fisik para pelawaknya. Sementara kekuatan Warkop DKI bukan pada penamapilannya, melainkan dari rangkaian kata-kata (verbal) yang bisa mengundang tawa.

”Srimulat kental dengan unsur seni budaya, sementara Warkop lahir dari kalangan mahasiswa kampus,” ujar Yasser yang juga ingin disebut sebagai jenakawan IHIK.

Kendati memiliki perbedaan cara melontarkan humor, kedua grup ini punya penggemarnya masing-masing dan diterima secara luas di masyarakat sebagai grup lawak legendaris Tanah Air.

Gaya humor

Terlepas dari jurus dua grup lawak legendaris tadi, rupanya masih ada jenis-jenis lawakan yang kerap jadi amunisi pelawak untuk mengundang tawa penonton.

Komedian asal Jakarta Timur, Rauf Afoche Maulana Hutagaol, mengamati tren materi komedi antara dulu dan saat ini mulai bergeser. Pada awal 2000-an banyak bermunculan genre komedi yang lebih menggunakan pakem hiperbola, sedangkan kini mengambil inspirasi dari cerita keseharian.

”Dulu, tren komedi itu lebih banyak ke hiperbola. Itu salah satu teknik komedi dengan punchline-nya ke momen-momen yang sedikit agak dibuat berlebihan. Kalau sekarang punchline-nya itu lebih ke kejadian yang berhubungan dengan keseharian atau dirasakan banyak orang,” kata Rauf yang akrab disapa Apos.

Peneliti humor IHIK, Ulwan Fakhri, mengatakan, menurut professor psikologi asal Kanada, Rod Martin, ada empat gaya humor. Pertama, ”affiliative”, yakni menekankan agar kedua belah pihak bisa tertawa bersama. Jenis kedua ”self-defeating”, yaitu gaya humor yang menjadikan diri sendiri sebagai bahan tertawaan demi orang lain senang.

Adapun gaya humor ketiga adalah ”aggressive”, yakni menjadikan orang lain sebagai bahan tertawaan demi kesenangan pribadi. Sementara yang keempat ”self-enhancing”, yakni humor untuk menaikkan mood dan kepercayaan diri.

Jadi, bagaimana, apakah Anda sudah melawak hari ini?

Editor:
ADI PRINANTYO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000