logo Kompas.id
Bebas AksesPapua Football Academy:...
Iklan

Papua Football Academy: Ikhtiar Merawat “Mutiara Baru” Papua

Papua selama ini dikenal sebagai gudangnya pesepak bola bertalenta. Namun, bakat besar itu belum sepenuhnya terasah. Hadirnya Papua Football Academy mengakselerasi pembinaan usia muda di Bumi Cenderawasih

Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
· 5 menit baca
Mantan bek kiri Borussia Dortmund, Marcel Schmelzer (kaos hitam), mengawasi latihan siswa Papua Football Academy (PFA) di Stadion Madya, Senayan, Jakarta, Jumat (8/9/2023). PFA adalah akademi sepak bola pertama di Papua yang menggunakan sistem dormitory atau asrama bagi pesepak bola belia dalam menimba ilmu bola.
KOMPAS/I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA

Mantan bek kiri Borussia Dortmund, Marcel Schmelzer (kaos hitam), mengawasi latihan siswa Papua Football Academy (PFA) di Stadion Madya, Senayan, Jakarta, Jumat (8/9/2023). PFA adalah akademi sepak bola pertama di Papua yang menggunakan sistem dormitory atau asrama bagi pesepak bola belia dalam menimba ilmu bola.

Dalam lagu “Aku Papua”, mendiang penyanyi Franky Sahilatua mendeskripsikan Papua sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi. Alam kaya, tanah yang subur, dan bentang alam indah membuat Papua bak tanah yang terberkati. Tidak hanya kekayaan alam, Papua juga menyimpan potensi besar pesepak bola berbakat di Indonesia yang coba diasah oleh Papua Football Academy.

Pesepak bola asal Papua sejak dulu rutin bergantian memperkuat timnas Indonesia. Mulai dari era Rully Nere yang sukses mempersembahkan medali emas SEA Games 1987, kemudian muncul Boaz Solossa, Titus Bonai, Oktovianus Maniani, Yanto Basna, dan kini Ricky Kambuaya. Selain mereka, masih banyak pemain asal Papua yang pernah membela timnas Indonesia.

Para pemain yang berasal dari provinsi paling ujung di timur Indonesia ini dikenal punya kecepatan, teknik, dan kekuatan fisik yang menunjang permainan mereka di lapangan. Inilah bakat alami yang tidak dimiliki semua pesepak bola dari belahan daerah lainnya di Indonesia. Hanya saja, bakat-bakat besar itu selama ini kurang mampu dioptimalkan lantaran minimnya akademi sepak bola di Papua.

Penyerang tim nasional Indonesia Boaz Salossa berusaha mengontrol bola saat melawan Mauritius dalam laga persahabatan di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (11/9/2018).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Penyerang tim nasional Indonesia Boaz Salossa berusaha mengontrol bola saat melawan Mauritius dalam laga persahabatan di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (11/9/2018).

“Selama ini, kami, orang Papua, berlatihnya sendiri-sendiri. Latihan alam. Tidak ada pelatih. SSB (sekolah sepak bola) ada. Tapi, kan, di SSB latihannya hanya seminggu antara dua hingga tiga kali saja. Tidak terukur,” ujar Rully Nere, ditemui seusai sesi pelatihan untuk siswa Papua Football Academy (PFA) bersama tiga legenda Borussia Dortmund di Stadion Madya, Senayan, Jakarta, Jumat (8/9/2023).

Menurut Rully, pelatihan yang diberikan oleh SSB berbeda dengan akademi sepak bola. Dengan demikian, meskipun jumlah SSB yang ada di Papua cukup banyak, hal itu tidak serta merta menjadi jaminan transfer ilmu dari pelatih ke pemain berlangsung dengan efektif.

Selain itu, pelatihan SSB di Papua biasanya hanya berlangsung dua atau tiga kali dalam sepekan. Sedangkan di akademi sepak bola seperti PFA, para pemain tinggal di dalam asrama sehingga bisa lebih intens dan fokus dalam menimba ilmu sepak bola. Tidak hanya sepak bola, anak-anak itu juga mendapatkan sesi kelas. Pihak pengelola mendatangkan guru untuk mengajarkan mereka ilmu pengetahuan sebagaimana di sekolah.

“Sekarang dengan adanya akademi, maka semua punya kurikulum yang jelas. Ada pelatih. Bagaimana filosofi yang sekarang ada di Indonesia atau Filanesia (Filosofi Sepak Bola Indonesia), itu diajarkan. Apalagi dengan tren sepak bola sekarang yang cenderung bermain sepak bola (build up) dari bawah. Itu diajarkan semua di sini,” tutur Rully.

Sebanyak 30 siswa Papua Football Academy (PFA) mendengarkan instruksi dari tiga mantan pemain klub Jerman, Borussia Dortmund, dalam sesi coaching clinic di Stadion Madya, Senayan, Jakarta, Jumat (8/9/2023).
KOMPAS/I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA

Sebanyak 30 siswa Papua Football Academy (PFA) mendengarkan instruksi dari tiga mantan pemain klub Jerman, Borussia Dortmund, dalam sesi coaching clinic di Stadion Madya, Senayan, Jakarta, Jumat (8/9/2023).

Dalam sesi pelatihan yang berlangsung selama 2,5 jam itu, para pemain PFA dibiasakan bermain bola-bola pendek secara cepat dengan penekanan pada penempatan posisi. Kendati berlatih di tengah cuaca terik Jakarta, para pemain tidak kelihatan letih. Mereka justru bersemangat mengejar dan mengoper bola.

Iklan

Sesekali legenda Dortmund, Marcel Schmelzer, memberikan instruksi kepada mereka. Schmelzer ditemani pula oleh mantan pemain Dortmund lainnya, Paul Lambert dan Jorg Heinrich, saat memberikan pelatihan.

Setelah melihat kemampuan olah bola para pemain muda Papua itu, Heinrich mengakui mereka memiliki bakat istimewa. Namun, anak-anak itu perlu mendapatkan pemahaman yang lebih baik terkait taktik dan strategi bermain. Ia berharap, kehadirannya bersama dua rekannya sesama mantan pemain Dortmund bisa menginspirasi para pemain Papua itu untuk serius berlatih dan berkarier sebagai pesepak bola profesional.

Latihan dasar

Komentar Heinrich sejalan dengan pengakuan dari salah satu siswa PFA, Rasul Malubonda (13). Sebelum bergabung dengan PFA, Rasul belajar bermain sepak bola di SSB. Di sana Rasul mendapat banyak latihan-latihan dasar sepak bola seperti mengoper dan mengontrol bola. Sedangkan untuk sesi strategi tergolong minim. Hal ini pula yang membuat Rasul sedikit gelagapan ketika awal-awal bergabung dengan PFA lantaran dirinya agak sulit menangkap materi soal taktik dan strategi.

“Strategi main bola sulit untuk dipahami secara langsung karena saat di SSB tidak pernah diajarkan,” katanya.

Suasana <i>coaching clinic </i>Papua Football Academy (PFA) di Stadion Madya, Jakarta, Jumat (8/9/2023). PFA merupakan akademi sepak bola modern yang dilatih oleh pelatih-pelatih berpengalaman dan bersertifikat internasional.
KOMPAS/I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA

Suasana coaching clinic Papua Football Academy (PFA) di Stadion Madya, Jakarta, Jumat (8/9/2023). PFA merupakan akademi sepak bola modern yang dilatih oleh pelatih-pelatih berpengalaman dan bersertifikat internasional.

Kendala itu kemudian bisa diatasi Rasul karena di PFA ia mendapatkan pelatihan secara lengkap dan bebas biaya. Pihak PFA, dengan sokongan besar dari PT Freeport Indonesia, memang berkomitmen mendidik pesepak bola berbakat dari Papua agar bakat besar mereka terasah dengan metode sebagaimana dilakukan klub-klub profesional.

PFA yang berdiri sejak Agustus 2022 merekrut 30 pesepak bola muda Papua di tiap angkatan. Tahun ini, PFA telah menerima angkatan kedua. Mereka berasal dari sejumlah daerah seperti Timika, Jayapura, Merauke, Nabire, Waropen, Serui, dan Biak Numfor. Jumlah asal pemain ini bertambah dari tahun lalu yang hanya berasal dari tiga kota. Agar bisa bergabung di PFA, ribuan anak harus lulus rangkaian seleksi yang terdiri dari seleksi teknis, psikologis, medis, dan functional movement screening test.

Para pemain muda ini dibekali materi latihan selama 12 hingga 16 jam setiap pekan. Latihan dilaksanakan di Mimika Sport Center. Di samping itu, ada sesi pelajaran di kelas pada sore harinya selama 20 jam per pekan. Asupan nutrisi mereka juga diperhatikan secara detail sehingga menunjang performa ketika berlatih.

Para siswa akan berlatih selama dua tahun. Setelah itu, mereka dibebaskan untuk melanjutkan karier dengan bergabung bersama klub-klub profesional di Indonesia. Potensi paling besar bagi mereka adalah memperkuat klub-klub Elite Pro Academy (EPA) yang merupakan wadah sepak bola usia muda oleh PSSI.

Jika pun pada akhirnya tidak melanjutkan karier sebagai pesepak bola, bekal pendidikan formal dan akhlak di kelas diharapkan bisa menjadi pegangan bagi mereka untuk kembali ke masyarakat dan menekuni profesi lain.

Mimika Sport Kompleks Infografik
ISMAWADI

Mimika Sport Kompleks Infografik

Cerita yang kerap dikisahkan para pemain muda itu antara lain soal tantangan terberat yang dirasakan saat pertama bergabung dengan PFA, yaitu hidup jauh dari keluarga. Setelah lulus seleksi, Daniel (14) mengaku tidak betah di awal-awal bergabung. Ia yang sebelumnya belum pernah tinggal terpisah dengan orangtua dilanda rasa rindu yang hebat. Namun, dorongan dari orangtua, rekan-rekan, dan staf pengajar di sana membuatnya semakin terbiasa.

Daniel dengan sepenuh hati menyadari, selalu ada hal-hal yang harus dikorbankan demi meraih cita-cita. Meskipun jauh dari orangtua, di PFA Daniel mendapatkan keluarga baru. Dalam beberapa tahun mendatang, bisa jadi kita akan melihat alumni dari PFA akan menjadi tulang punggung dari timnas Indonesia.

Editor:
HARYO DAMARDONO, PRASETYO EKO PRIHANANTO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000