logo Kompas.id
Bebas AksesCerita Besar dari Masjid dan...
Iklan

Cerita Besar dari Masjid dan Gereja Kecil di Fakfak

Secara sadar, dalam keluarga, anak-anak dibagi-bagi agamanya. Ada yang Islam, Protestan dan Katolik. Akar dari budaya satu tungku tiga batu adalah rumah.

Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
· 5 menit baca
Lansekap dengan latar depan Tugu Satu Tungku Tiga Batu serta kawasan pemukiman dengan baragam tempat ibadah di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Rabu (24/5/2023).
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Lansekap dengan latar depan Tugu Satu Tungku Tiga Batu serta kawasan pemukiman dengan baragam tempat ibadah di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Rabu (24/5/2023).

Kayu-kayu malang melintang di Masjid An-Nur, Fakfak, Papua Barat, yang masih dalam tahap pembangunan. Demikian juga Gereja Sinar Ubadari di pojok Kampung Ubadari, Kabupaten Fakfak, memiliki dinding yang baru selesai dikapur, pertengahan Mei 2023.

Sekilas tak ada yang istimewa. Namun, dua tempat ibadah kecil dan sederhana ini mempunyai cerita besar. Sama-sama memiliki nama yang berarti cahaya, pembangunan keduanya juga sama-sama dipimpin dua penganut agama berbeda. Roby Hindom, penganut Kristen Protestan, menjadi ketua pembangunan Masjid An-Nur. Husein Iha, seorang Muslim, menjadi ketua panitia pembangunan Gereja Sinar Ubadari.

”Buat saya biasa saja. Tidak ada yang aneh. Di sini sudah tradisi orang asli Fakfak. Yang Kristen dan Katolik bantu bangun masjid. Yang Muslim bantu bangun gereja,” kata Roby.

Di depan mural bergambar Masjid Tua Patimburak, penari adat bersiap menyambut tamu di Bandara Torea, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Senin (22/5/2023).
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Di depan mural bergambar Masjid Tua Patimburak, penari adat bersiap menyambut tamu di Bandara Torea, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Senin (22/5/2023).

Seperti Husein, Roby ditunjuk warga kampung. Kepala kampung mengumpulkan warga, menjelaskan kebutuhan dan rencana pembangunan rumah ibadah. Warga yang terbaik dipilih menjadi ketua panitia, tanpa memandang latar agamanya. ”Nilai hidup kami seperti itu. Lebih dari toleransi,” kata Ketua Dewan Adat Mbaham Matta Domianus Tuturob.

Daftarnya masih panjang. Menjelang Idul Fitri, pemuda gereja bersama kaum Muslim berpawai obor. Saat Natal, ibu-ibu Muslim sibuk memasak agar bisa mengirim makanan kepada umat Kristiani yang sibuk di gereja. Mereka lalu makan bersama.

Warga yang terbaik dipilih menjadi ketua panitia, tanpa memandang latar agamanya.

Saat umat Katolik di Fakfak menggelar rapat perayaan 129 Tahun Misi Katolik di Fakfak, seluruh masyarakat berpartisipasi. Acara diadakan Misi-Katolik Maghi di halaman Gereja St Yoseph Fakfak, 8 Mei 2023. Cara ini berakar pada tradisi tombor-magh, yaitu saat keluarga mengumpulkan uang dalam suatu persiapan pernikahan.

Semua kelompok hadir saat acara yang menghasilkan dana lebih dari Rp 430 juta ini digelar. ”Saya termasuk yang pertama menyumbang,” kata Ali Hindom, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Fakfak.

Warga muslim menyambut kedatangan Uskup keuskupan Jayapura Mgr Yanuarius Teofilus Matopai You yang melakukan napak tilas 129 tahun masuknya Misi Katolik di tanah Papua di Kampung Sekru, Distrik Pariwari, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Selasa (23/5/2023).
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga muslim menyambut kedatangan Uskup keuskupan Jayapura Mgr Yanuarius Teofilus Matopai You yang melakukan napak tilas 129 tahun masuknya Misi Katolik di tanah Papua di Kampung Sekru, Distrik Pariwari, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Selasa (23/5/2023).

Satu tungku tiga batu

Masyarakat Mbaham Matta merupakan gabungan marga-marga asli Fakfak. Menurut Ketua Lembaga Masyarakat Adat Valentino Kabes, masyarakat Mbaham Matta mendasarkan diri pada prinsip satu tungku tiga batu.

Tungku adalah tempat memasak, yang ditopang tiga batu. Tungku melambangkan kehidupan sosial dan ekonomi yang bersama-sama ditopang oleh masyarakat yang menganut tiga agama, yaitu Islam, Katolik, dan Protestan. Prinsip ini merupakan turunan dari filosofi Wewowo Idu Idu Maninina, yaitu semua hal bisa dimusyawarahkan untuk mencapai kesepakatan dan perdamaian. ”Filosofi Wewowo Idu Idu Maninina tidak tiba-tiba hadir,” cerita Valentino.

Ia bercerita, pada zaman dulu, kelompok-kelompok di Fakfak saling berkonflik. Banyak orang tewas. Para tua-tua membuat sumpah, jalan kekerasan harus ditinggalkan. Semua masalah harus diselesaikan dengan musyawarah. ”Buat kami anak-anak asli, Wewowo Idu Idu Maininina sakral. Melawan itu bisa susah,” kata Ali Hindom.

Iklan
 Warga yang tinggal di gunung melakukan barter sayuran dengan ikan asap produksi warga pesisir di Pasar Mambunibuni, Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Sabtu (20/5/2023).
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga yang tinggal di gunung melakukan barter sayuran dengan ikan asap produksi warga pesisir di Pasar Mambunibuni, Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Sabtu (20/5/2023).

Berbagai simbol dan adat dipelihara untuk melestarikan satu tungku tiga batu. Masjid Patimburak menjadi salah satu simbolnya. Zaelani Kuda yang menjaga masjid itu bercerita, masjid tertua di Kabupaten Fakfak ini memiliki gabungan arsitektur masjid dengan kubah di atas dan tiga pintu masuk yang beratap segitiga seperti gereja. ”Tiga pintu itu juga melambangkan Islam, Katolik, dan Protestan,” ujarnya.

Prinsip satu tungku tiga batu menunjukkan kecanggihan masyarakat Mbaham Matta. Ronald Helweldery, dosen di STT GPI Papua di Fakfak, yang meneliti kehidupan Mbaham Matta, menyebutnya sebagai kecerdasan kultural. Kecerdasan menggunakan modal-modal sosial guna menghasilkan resiliensi atau kelenturan menghadapi pihak luar.

Prinsip satu tungku tiga batu menunjukkan kecanggihan masyarakat Mbaham Matta.

”Ada strategi masyarakat Mbaham Matta saat berjumpa dengan kekuatan politik ekonomi dan agama dari luar. Mereka menciptakan ruang, mengabsorpsi, dikelola secara internal, lalu dikembalikan lagi dalam interaksi yang terjadi,” kata Ronald.

Dalam disertasinya, Ronald menceritakan, saat berhubungan dengan Kesultanan Tidore, untuk bisa berdagang, masyarakat Fakfak tak saja memeluk Islam. Mereka juga menikah dengan pendatang seperti pedagang dari Seram dan Buton.

Warga yang tinggal di gunung dan pesisir salaing bersilaturahmi saat bertemu di di Pasar Mambunibuni, Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Sabtu (20/5/2023).
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga yang tinggal di gunung dan pesisir salaing bersilaturahmi saat bertemu di di Pasar Mambunibuni, Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Sabtu (20/5/2023).

Warga campuran ini diutus untuk menjalin hubungan dagang dengan Tidore karena memiliki kemampuan berbahasa Melayu. Strategi itu berlanjut saat perdagangan dikuasai Belanda.

Saat Belanda masuk Fakfak, mereka membawa agama Protestan dan Katolik. Leluhur Mbaham Matta beradaptasi. ”Kita mau kerja sama dengan mereka, tetapi jangan sampai mereka bunuh kitorang (kita orang). Kalau begitu, mari kau satu di Islam, satu di Kristen, satu di Katolik supaya saat kelompok satu kasih susah, kamu kasih tau kita orang,” kata Marthen Hindom, tua-tua dari umat Protestan Fakfak.

Di sini muncul istilah ”agama keluarga”. Secara sadar, dalam keluarga anak-anak dibagi-bagi agamanya. Ada yang Islam, Protestan, dan Katolik. Akar dari budaya satu tungku tiga batu adalah rumah. Analoginya, di dalam rumah, ada tiga kamar untuk setiap anak dengan agama berbeda. Namun, di dalam rumah, hanya ada satu tungku dipakai bersama.

Kekinian

Saling menjaga itu teruji saat perusuh konflik SARA di Ambon, Maluku, tahun 2001 masuk Papua. Ikatan keluarga membuat warga Muslim tak terprovokasi.

Kelompok kesenian sawat bersiap menyambut kedatangan Uskup keuskupan Jayapura Mgr Yanuarius Teofilus Matopai You yang akan melakukan napak tilas 129 tahun masuknya Misi Katolik di tanah Papua di Kampung Sekru, Distrik Pariwari, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Selasa (23/5/2023).
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Kelompok kesenian sawat bersiap menyambut kedatangan Uskup keuskupan Jayapura Mgr Yanuarius Teofilus Matopai You yang akan melakukan napak tilas 129 tahun masuknya Misi Katolik di tanah Papua di Kampung Sekru, Distrik Pariwari, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Selasa (23/5/2023).

Kini, Mbaham Matta beradaptasi dengan me-reinterpretasi diri dan lingkungan. Di Fakfak, ada pemeluk Hindu, Buddha, dan Khonghucu, walau mayoritas penduduk beragama Islam (63,08 persen). Penganut Protestan 18,27 persen dan Katolik 18,52 persen.

Tiga batu kini didefinisikan sebagai adat, agama, dan pemerintah. Domianus dari Dewan Adat mengatakan, adat yang utama, yaitu hubungan manusia dengan alam; lalu agama, yaitu hubungan manusia dengan penciptanya; lalu pemerintah bertugas melayani publik.

Menurut Ronald, hal itu menunjukkan resiliensi yang liat sekaligus lentur.

Tantangan ke depan tak mudah. Internet dan media sosial memengaruhi nilai-nilai, terutama di kalangan muda. Pengaruh ini hanya bisa diimbangi dengan contoh nyata orang tua.

Di sisi lain, ada investasi yang tak hanya membawa kesempatan, tetapi juga risiko. Namun, tampaknya masyarakat Mbaham Matta telah siap. ”Silakan masuk, tetapi kami dilibatkan. Jangan kami menjadi penonton di negeri sendiri,” kata tokoh Katolik Fakfak, Didimus Temongmere.

Editor:
ADI PRINANTYO, HARYO DAMARDONO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000