Diaspora Ajak Optimistis dan Bidik Peluang 2023
Tahun 2023 menawarkan beragam peluang bagi Indonesia meski dunia masih bergulat dengan bayang-bayang krisis global. Banyak sektor bisa digarap.
JAKARTA, KOMPAS – Pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina membayangi dinamika ekonomi dan geopolitik global sepanjang 2022. Namun, ada harapan tahun 2023 dapat disongsong dengan penuh optimisme sembari terus mencari celah peluang di tengah tekanan.
Pandemi Covid-19 cenderung relatif terkendali dibanding dua tahun terakhir meski imbasnya masih akan terasa hingga beberapa tahun ke depan. Kondisi ini bukanlah kali pertama warga dunia menghadapinya. Dunia sebelumnya telah melewati berbagai wabah lain seperti SARS dan HIV/AIDS.
Baca juga: Amerika Wajibkan Tes Covid-19 bagi Pelaku Perjalanan China, Indonesia Mengkaji
Krisis akibat perang Rusia-Ukraina juga diprediksi masih akan berkepanjangan karena belum ada solusi untuk menengahi keduanya. Peperangan juga pernah terjadi sebelumnya seperti perang dunia, perang dingin, dan perang nuklir.
“Kita memang harus prihatin, namanya hidup tidak bisa terus-terusan bergembira, tetap harus waspada dan ulet memanfaatkan peluang,” ujar Duta Besar RI untuk Australia Siswo Pramono secara daring dalam Kompas Talks, Kamis (29/12/2022).
Jelang tahun 2023, Kompas mengadakan forum silaturahmi virtual diaspora bertajuk “Melihat Terang di Tahun Mendatang”. Selain Siswo, hadir pula Duta Besar RI untuk Turki Lalu Muhamad Iqbal, Kepala Indonesian Trade Promotion Center Sydney Christophorus Barutu, dan Kepala Sekolah Ekspor Handito Joewono.
Zaman industri 4.0 ditandai kemajuan sosial dan teknologi dengan banyak pemain (multi-actor). Kini pengaruh tak hanya dari negara dan elite politik, tetapi juga perusahaan multinasional hingga usaha mikro, kecil, dan menengah, serta diaspora. “Masing-masing punya kepentingan yang enggak bisa didikte. Dunia tidak bisa didikte lagi oleh 1-2 pemimpin,” tambah Siswo.
Masing-masing punya kepentingan yang enggak bisa didikte. Dunia tidak bisa didikte lagi oleh 1-2 pemimpin.
Duta Besar RI untuk Turki Lalu Muhamad Iqbal memprediksi Indonesia akan menghadapi tahun yang cerah pada 2023. Dia menilai momentum Turki-Indonesia sedang tinggi, termasuk kerja sama di bidang pertahanan dan industri.
“Turki ke depan tampaknya bisa menjadi salah satu sumber nontradisional untuk suplai alutsista (alat utama sistem senjata) di Indonesia karena teknologinya. Negara itu adalah kekuatan terbesar kedua setelah Amerika Serikat di NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara),” kata Iqbal.
Baca juga: Timur Tengah Tetap Jadi Pusat Konflik Sepanjang 2022
Di sektor wisata, kedatangan wisatawan Indonesia ke Turki lebih tinggi dibanding sebaliknya. Negara yang dipimpin Recep Tayyip Erdogan itu termasuk negara pertama yang membuka perbatasan ketika tetangga-tetangganya masih menutup diri.
Menurut Iqbal, jumlah wisatawan Indonesia ke Turki sekitar 120 ribu orang pada 2019. Tahun ini diperkirakan akan naik setidaknya menjadi 200 ribu orang. Sebaliknya, wisatawan Turki yang ke Indonesia hanya 30 ribu orang pada 2019.
Dari segi perdagangan, selama 10 bulan pertama pada 2022, transaksi perdagangan Indonesia-Turki sudah melampaui nilai total perdagangan tahun sebelumnya. Angka itu sekaligus menjadi rekor tertinggi ke angka 2,6 miliar dollar AS dengan kenaikan ekspor 56,7 persen. Peningkatan impor menyusut jadi 13,9 persen, lebih rendah dari 2021 yang menyentuh 46,4 persen.
Di kancah internasional, Turki memanfaatkan posisinya untuk lebih asertif dan menonjolkan perannya. Turki berupaya menengahi Rusia dan Ukraina sebab dapat diterima kedua pihak yang bertikai. “Turki begitu lihai mengambil keuntungan dari krisis yang terjadi,” ujar Iqbal.
Serupa dengan Siswo, Iqbal menuturkan baru pertama kali ini dalam sejarah modern semua orang menghadapi isu global tanpa kepemimpinan dunia. Hal ini dapat membantu semua pihak menemukan pola kepemimpinan global, bukan tunggal, melainkan jamak.
Baca juga: Dilema Sanksi atas Rusia
Indonesia pun dapat belajar dari Turki untuk memanfaatkan situasi dengan tetap menjunjung sikap nonblok. Walau negeri ini masih tergolong berkembang, konsistensi itulah yang akan menguntungkan Indonesia.
Menurut Siswo, sikap Indonesia tak memihak akan memberi kepastian bagi negara-negara lain. Dalam perekonomian G20, sebagian besar perekonomian dunia disokong negara-negara seperti Indonesia, China, dan India. Negara-negara ini pun mencari mitra untuk pembangunan.
Negara-negara berkembang menekankan pada pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Dalam mencapai tujuan itu, mereka tak dapat berupaya sendiri, sehingga butuh mitra untuk bekerja sama. Oleh karena itu, tak heran jika Indonesia punya 17 mitra strategis.
Begitu pula dengan ASEAN yang membangun kemitraan dengan negara lain, seperti China, AS, dan Rusia. “(Oleh) karena itu, mitra-mitra nonblok diwujudkan dalam politik luar negeri yang berkepastian. Ini menumbuhkan rasa aman bagi orang-orang yang mau berinvestasi,” lanjutnya.
Sertifikasi halal
Sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia dinilai perlu memanfaatkan label halal untuk mendunia. Salah satu kerja sama telah disepakati dengan lembaga Turki. Alhasil, produk-produk Indonesia yang tersertifikasi otomatis akan dicap halal pula oleh Turki.
Baca juga: Prosedur dan Biaya Sertifikasi Halal Masih Jadi Kendala
Menurut Iqbal, sistem sertifikasi halal Indonesia perlu diperbaiki. Sebagai contoh, dalam industri makanan biasanya yang jadi referensi utama sertifikasi adalah lembaga pengawas obat dan makanan AS (FDA) dan Kosher. Berdasarkan sertifikat itu, meski hanya sedikit konsumennya, tetapi lembaga tersebut dapat mengendalikan sistem sertifikasinya.
“Indonesia adalah negara Muslim terbesar, tetapi kita enggak bisa kontrol industri halal ini. Harusnya sistem sertifikasi kita itu nantinya bisa menjadi rujukan dari semua negara untuk menerbitkan sistem sertifikasi oleh negara lain,” kata Iqbal.
Tampaknya, pemahaman akan pentingnya sertifikasi halal ini belum merata hingga ke daerah-daerah Indonesia. Beberapa produk yang masuk ke Turki, terutama dari UMKM belum tersertifikasi halal.
Bank Indonesia dan sejumlah bank anggota Himpunan Bank Milik Negara banyak memberi inkubasi ke UMKM yang menggelar pameran ke luar negeri. Setidaknya 75 persen produk yang ditawarkan berupa makanan dan minuman, yakni barang yang butuh sertifikasi halal. Alhasil, akan lebih baik jika produk-produk tersebut ditetapkan memiliki sertifikasi halal sejak awal.
Baca juga: Pemetaan Literasi Ekosistem Digital Perkuat Kebijakan untuk Ekspor UMKM
Penetrasi pasar
Indonesia dapat melihat kesempatan emas di tahun mendatang dengan melakukan sejumlah langkah. Salah satunya adalah masif berdagang secara global.
Kepala Sekolah Ekspor Handito Joewono mengatakan, Indonesia dapat memanfaatkan produk-produk pertanian, kehutanan, dan perikanan yang menjadi basis transaksi dengan negara lain. Ketika negara lain sedang mengurangi kapasitas produksinya, Indonesia dapat menggunakan kesempatan tersebut.
“Kita bikin warehouse (gudang) di sana. Kita bikin fasilitas. Ketika negara lain setop investasi, kita masih ada kemampuan masuk ke sana dan kemari,” kata Handito.
Kita bikin gudang di sana. Kita bikin fasilitas. Ketika negara lain setop investasi, kita masih ada kemampuan masuk ke sana dan kemari.
Handito sepakat para pelaku usaha sebagai produsen menerima insentif pemotongan pajak ekspor (tax rebate). Tahun mendatang akan menjadi momen emas, sehingga sektor perdagangan ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Baca juga: RI Perlu Masuk Lebih Dalam di Rantai Pasok Asia Timur
Alasannya, pemerintah telah menyiapkan beragam infrastruktur lengkap seperti pelabuhan, bandara, dan jalan tol. Hubungan ekonomi dan politik juga telah terjalin. Namun, pelaku usaha, terutama anak-anak muda, belum tergerak.
Menurut Handito sudah saatnya pemerintah memberi insentif pada pelaku-pelaku usaha baru, agar ekspor juga lebih besar.
Kepala Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Sydney Christophorus Barutu menambahkan, masyarakat masih terpaku pada mengeruk keuntungan ekspor secara instan. Namun, mereka melupakan prosesnya.
Setidaknya ada tiga poin penting penetrasi pasar Australia, yakni kualitas produk, keberlanjutan, dan etika bisnis. Kualitas produk yang dilengkapi sarana-sarana memadai bernilai penting untuk memenangkan pasar. Contohnya, sertifikasi menjadi syarat untuk memasuki pasar baru di luar negeri.
Terkait aspek berkelanjutan, kuantitas produk mesti dapat terpenuhi dari waktu ke waktu dan bukannya justru menurun serta habis.
Baca juga: Analisis Litbang ”Kompas”: Mendorong Produk Ekspor yang Semakin Kompleks
Terakhir, soal etika bisnis. Unsur ini penting dan paling menjadi perhatian. Para pelaku usaha Indonesia yang telah mendapatkan pembeli biasanya memberikan sampelnya sebelum teken kontrak.
Namun, ketika kontrak telah disepakati, ada produk skala besar yang diterima tak sesuai sampelnya. “(Hal-hal seperti) ini, kan, bisa merusak citra dan etika bisnis yang ada. Ini harus dipahami bersama oleh para pelaku usaha kita,” ujar Christophorus.
Australia memiliki pasar besar untuk produk ramah lingkungan. Penggunaan barang-barang yang tak merusak lingkungan ini merupakan peluang yang dapat ditangkap. Salah satunya kendaraan listrik sebab Australia terikat dengan regulasi pembatasan demi mencapai target penurunan emisi nol pada 2050.
Menurut Christophorus, para pelaku usaha serta masyarakat Indonesia banyak yang belum memahami kesepakatan kemitraan ekonomi komprehensif (CEPA) antara Indonesia dan Australia. Sosialisasi hal tersebut menjadi tugas bersama sebab memberi kesempatan masuk ke pasar negeri kanguru dengan bebas tarif.
Baca juga: Kesepakatan Kerja Sama, Kunci Pembuka Potensi Indonesia-Uni Eropa
Indonesia dinilai dapat menangkap peluang melalui kerja sama dengan Australia yang terkenal akan lithium ion. Penambangan dapat dilakukan di Australia. Adapun Indonesia dapat memprosesnya dan kemudian mengekspor ke negara-negara lain, seperti AS yang membutuh sumber daya tersebut.