Transisi energi merupakan salah satu langkah mengatasi krisis iklim. Namun, pemanfaatan energi baru dan terbarukan di Indonesia masih sangat minim.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Acara Kompas 100 Forum: CEO on Stage di Gedung Fakuktas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, menghadirkan pembicara (dari kanan) Dekan FT UI Heri Hermansyah, Direktur Perencanaan Strategi dan Pengembangan Bisnis Pertamina NRE Fadli Rahman, President Director Adaro Power Dharma Djojonegoro, dan Senior Investment Associate at East Ventures Gavin Adrian, Senin (21/11/2022).
DEPOK, KOMPAS — Upaya menahan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celsius memerlukan aksi nyata dari semua pihak. Oleh sebab itu, komitmen transisi energi yang telah dicanangkan harus diakselerasi untuk meredam dampak krisis iklim yang semakin mengancam.
Direktur Perencanaan Strategi dan Pengembangan Bisnis Pertamina NRE (New Renewable Energy) Fadli Rahman mengatakan, transisi energi merupakan salah satu langkah mengatasi krisis iklim. Hal ini semakin mendesak mengingat kenaikan suhu bumi saat ini sudah di atas 1 derajat celsius.
”Kalau naik sampai 2 derajat (celsius), akan terjadi chaos. Perhitungannya saat ini, jika kita tidak melakukan aksi nyata sekarang, kenaikan suhu bumi bisa lebih parah (tinggi),” ujarnya dalam gelar wicara Kompas 100 CEO Forum dengan tema ”Taking Bold Actions Against Climate Crisis” di Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kota Depok, Jawa Barat, Senin (21/11/2022).
Petugas membersihkan panel pembangkit listrik tenaga surya di atas atap pabrik terigu milik PT Indofood Sukses Makmur Tbk Divisi Bogasari, Cibitung, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (9/9/2022).
Akselerasi peralihan penggunaan energi fosil menuju energi baru dan terbarukan (EBT) mutlak diperlukan. Indonesia bisa menjadi pemain kunci dalam memacu transisi energi karena mempunyai sumber EBT melimpah.
Namun, pemanfaatan EBT di Indonesia masih sangat minim. Padahal, potensinya sangat besar, seperti air, surya, angin, panas bumi, dan gelombang laut. ”Potensi energi air, misalnya, yang terpakai baru 8 persen. Sementara penggunaan energi angin masih 0,01 persen. Jadi, masih sangat banyak yang bisa dimanfaatkan,” katanya.
Menurut Fadli, akselerasi transisi energi butuh kolaborasi aksi dari pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat. Regulasi pemerintah sangat penting untuk memacu pemanfaatan EBT di masa mendatang.
Pemanfaatan EBT di Indonesia masih sangat minim. Padahal, potensinya sangat besar, seperti air, surya, angin, panas bumi, dan gelombang laut.
Transisi energi juga berdampak terhadap perusahaan penyedia energi seperti Pertamina. Transisi itu bukan sebatas konversi energi, melainkan juga membawa misi dekarbonisasi atau mengurangi emisi karbon. ”Pertamina berkomitmen melakukan transisi energi ini. Yang tadinya semuanya dari gas bumi, sekarang ada bio aspeknya, seperti bioavtur dan biodiesel,” jelasnya.
Perubahan lainnya adalah peralihan dari bahan bakar minyak menuju energi listrik. Upaya ini telah dijalankan dan bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk dengan ojek daring yang menjadi andalan mobilitas warga.
”Untuk EBT, Pertamina mempunyai geotermal (panas bumi) yang paling besar 1,8 gigawatt (GW). Hal ini akan kami galakkan ditambah dengan panel surya. Di masa depan, hal ini akan menjadi hal biasa. Hampir semua gedung nanti akan dijadikan panel surya,” katanya.
Menurunkan emisi
Indonesia telah menetapkan komitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sampai tahun 2030 sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri atau hingga 43,2 persen jika tersedia bantuan internasional. Di sektor energi, Indonesia mengembangkan peta jalan menuju net zero emission pada tahun 2060.
”Untuk mencapai itu, perlu dilihat, kita punya acuan serta rencana jangka pendek dan menengah seperti apa? Kalau itu tidak ada, ya lupakan. Namun, jika ada, berarti masih ada harapan menuju ke sana,” ujar Dekan Fakultas Teknik UI Prof Heri Hermansyah.
Menurut Heri, upaya menekan laju krisis iklim dengan transisi energi butuh kerja sama berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi. Riset-riset di kampus dapat disesuaikan dengan kebutuhan industri dalam menjawab tantangan transisi energi tersebut.
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong Unit 5 dan 6 di kawasan Tompaso, Tomohon, Sulawesi Utara, Senin (25/4/2022). PLTP yang dikelola PT Pertamina Geothermal Energy ini mampu memproduksi listrik sebesar 40 Megawatt untuk memasok kebutuhan listrik di Sulawesi Utara dan Gorontalo.
”Di kampus banyak proyek berbasis hibah atau bantuan dari eksternal. Namun, sering sekali, ketika proyeknya selesai, aktivitas (penelitian) juga berhenti. Ke depan, mestinya bisa berkesinambungan,” ujarnya.
President Director Adaro Power Dharma Djojonegoro menuturkan, transisi energi juga membutuhkan perubahan perilaku masyarakat untuk menggunakan energi lebih ramah lingkungan. Hal ini bisa diawali dengan pemakaian kendaraan listrik. ”Jadi harus ada kesadaran masyarakat. Kalau hanya memandang elektrik itu mahal, ya jadinya enggak mau beralih. Padahal, ada aspek lingkungan yang perlu diperhatikan,” jelasnya.
Dharma menambahkan, dukungan regulasi juga sangat diperlukan oleh pelaku usaha penyedia energi. Oleh karena itu, dialog dengan pembuat kebijakan harus terus dilakukan demi lahirnya regulasi yang mendukung. ”Pajak karbon saja sampai sekarang belum keluar, ditunda lagi. Keluar dulu itu, biar nanti bisa dialog sama-sama,” ujarnya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
President Director Adaro Power Dharma Djojonegoro memaparkan kinerja perusahaannya pada acarq Kompas100 Forum: CEO on Stage di Gedung Fakuktas Teknik UI, Depok, Jakarta, Senin (21/11/2022).