Generasi Muda Teladani Pemikiran Buya Syafii Maarif
Direktur Eksekutif Maarif Institute Abd Rohim Ghazali mengatakan, Buya Syafii punya pemikiran kritis terkait dengan isu keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, kebinekaan, dan keadilan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah isu politik identitas yang mulai bermunculan, pemikiran almarhum Ahmad Syafii Maarif atau kerap disapa Buya Syafii menjadi semakin relevan untuk diaktualisasikan. Kerja sama sejumlah pihak mesti dilakukan agar masyarakat, terutama generasi muda, memiliki kesadaran bersama untuk melanjutkan pemikiran kritis Buya Syafii.
Direktur Eksekutif Maarif Institute Abd Rohim Ghazali mengatakan, Buya Syafii memiliki pemikiran kritis terkait dengan isu keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, kebinekaan, dan keadilan sosial. Almarhum pun kerap kali mengingatkan masyarakat untuk menyadari bahwa kondisi Indonesia yang beragam bisa rawan diprovokasi oleh kelompok yang memiliki kepentingan. Kondisi ini berpotensi memunculkan konflik di tengah isu politik identitas yang mulai bermunculan.
Dalam situasi seperti ini, pemikiran Buya Syafii menjadi sangat relevan, tidak hanya disosialisasikan, tetapi harus diaktualisasikan. Sebab, umat Muslim yang di Indonesia jumlahnya mayoritas, pada umumnya adalah mayoritas diam yang tidak mau menyuarakan pemikiran-pemikiran Buya Syafii. Alhasil, umat yang berpikiran moderat jarang yang atraktif dan menyebarkan pemikiran tersebut ke publik.
”Meyakinkan pemikiran ini butuh effort kita bersama, dan kehadiran buku tentang pemikiran Buya Syafii menjadi salah satu upaya menyebarluaskan pemikiran Buya,” kata Rohim dalam peluncuran dan diskusi buku Ahmad Syafii Maarif di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (27/10/2022).
Meyakinkan pemikiran ini butuh ’effort’ kita bersama, dan kehadiran buku tentang pemikiran Buya Syafii menjadi salah satu upaya menyebarluaskan pemikiran Buya.
Dalam acara tersebut, diluncurkan tiga buka tentang Buya Syafii, yakni Bulir-bulir Refleksi Seorang Mujahid; Al-qur'an untuk Tuhan atau untuk Manusia?; serta Indonesia Jelang Satu Abad, Refleksi tentang Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan.
Hadir sebagai pembahas pengajar di Universitas Paramadina, Putut Widjanarko, Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Siti Musdah Mulia, dan Ketua Umum Pergerakan Indonesia untuk Semua Ade Armando.
Ade mengatakan, Buya Syafii merupakan salah satu tokoh yang paling produktif menulis. Almarhum selalu memperjuangkan gagasan yang luar biasa, tetapi berisiko. Salah satunya pernah dilakukan saat sebagian menilai Basuki Tjahaja Purnama disebut menistakan agama, Buya Syafii justru pasang badan untuk mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut. ”Umumnya orang akan berusaha menghindar, Buya justru membela. Inilah contoh seorang intelektual, bicara tanpa rasa takut,” ujarnya.
Umumnya orang akan berusaha menghindar, Buya justru membela. Inilah contoh seorang intelektual, bicara tanpa rasa takut.
Sepeninggal Buya Syafii, menurut Ade, pemikiran almarhum seharusnya bisa menjangkau anak muda. Oleh sebab itu, perlu kerja sama dari sejumlah pihak secara terkoordinasi untuk menyebarluaskan pemikiran-pemikiran Buya Syafii. Terlebih Indonesia mulai menghadapi ancaman politik identitas dan gerakan keagamaan transnasional.
Pengingat dini
Menurut Budiman, tulisan-tulisan Buya menjadi semacam sistem pengingat dini akan bahaya yang mengancam republik. Tulisannya yang mampu menangkap kegelisahan atas kondisi negara ini selalu relevan dengan zaman. ”Kompas berani menurunkan tulisan Buya, dan itu mungkin terlalu keras, tetapi karena ditulis Buya yang sangat dihormati, akhirnya muncul,” katanya.
Kompas berani menurunkan tulsan Buya, dan itu mungkin terlalu keras, tetapi karena ditulis Buya yang sangat dihormati, akhirnya muncul"
Setelah Buya Syafii wafat, Budiman mengingatkan agar ada muazin bangsa yang bisa menjadi jangkar antara masyarakat sipil dan partai politik. Anak-anak muda harus dilibatkan agar mereka juga memiliki kesadaran tentang masalah-masalah bangsa. Tahapan yang bisa dilakukan ialah mengusulkan Buya Syafii sebagai pahlawan nasional, dimulai dari membuat testimoni dan buku yang mengonstruksikan Buya Syafii layak menerima gelar tersebut. Selanjutnya, mengontekstualisasi pemikiran Buya Syafii ke arah generasi milenial.
”Ketiga, melahirkan Buya-Buya baru sehingga ada speaker-speaker baru yang menyuarakan gagasan Buya,” ujarnya.
Musdah berharap, pemerintah, khususnya Kementerian Agama, turut menyebarluaskan pemikiran Buya tidak hanya untuk kalangan Muslim. Hal ini dipandang penting agar pemikiran Buya Syafii diamalkan oleh masyarakat mayoritas. Sebab, saat ini pemikiran tersebut cenderung hanya diamalkan oleh minoritas karena hanya segelintir orang yang mengerti tentang pemikiran, apalagi mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Putut, bahasa dan diksi yang digunakan Buya Syafii selalu menggelegar, kuat, dan menohok. Almarhum selalu menjadikan sejarah sebagai rujukan pembelajaran untuk melihat pandangan ke masa depan. ”Keadilan sosial yang selalu diperjuangkan Buya Syafii harus selalu dilanjutkan,” ujarnya.