Dalam peringatan Hari Guru Sedunia 2022, guru honorer masih dibayangi kekhawatiran tentang masa depan mereka. Era pemerintahan dan kebijakan berganti, tetapi benang kusut nasib para pendidik bangsa tak kunjung terurai.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Bertugas mulia mencerdaskan kehidupan bangsa, banyak guru honorer justru diganjar upah atau gaji yang sangat murah. Sejumlah kebijakan pemerintah membuat masa depan mereka tak tentu arah. Selarik kisah nelangsa para pendidik bangsa itu tak kunjung tuntas dari masa ke masa.
Pada Juli lalu, genap 18 tahun bagi Dodi Riana (40) mengabdikan diri sebagai guru honorer di Sekolah Dasar Negeri Jaya Mekar, Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Selama itu pula ia menapaki jalan terjal kehidupan yang penuh ketidakpastian.
Gajinya Rp 300.000 per bulan. Itu pun dibayarkan setiap tiga bulan yang bersumber dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Dodi sudah bosan mendengarkan janji-janji elite negeri ini untuk menyejahterakan guru honorer. Wacana tinggal wacana. Hidupnya tetap saja susah.
“Kami sudah lama mengabdi. Bukan baru satu atau dua tahun. Kapan janji kepedulian itu diwujudkan?” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (4/10/2022).
Gaji Rp 300.000 per bulan jelas tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ia pun menyambi menjadi pengemudi ojek di kampungnya.
Menjadi guru ibarat panggilan hidup bagi bapak dua anak itu. Meskipun gajinya kecil, ia sangat puas dan bahagia ketika anak didiknya kelak meraih sukses di berbagai bidang.
Beberapa di antara mereka sudah bekerja menjadi polisi, TNI, dan aparatur sipil negara (ASN). “Sementara nasib saya masih begini-begini saja,” katanya.
Tugasnya di sekolah tidak mudah. Ia harus mengajar siswa kelas 4 dan 5 sekaligus. Sekolah yang berdiri sejak 1983 itu hanya mempunyai tiga ruangan untuk menampung 80 siswa dalam enam rombongan belajar.
Alhasil, ruangan pun harus dipakai secara bersamaan dengan memasang sekat. Dodi bertugas bersama dua rekannya yang juga berstatus guru honorer.
Harapan untuk mengakhiri kisah getir itu sempat diapungkan saat munculnya wacana pengangkatan guru honorer menjadi ASN berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Akan tetapi, asa itu semakin menyusut karena tak kunjung mendapat kepastian.
Padahal, pemerintah berencana mengakhiri keberadaan tenaga honorer pada 2023. “Masih cemas karena nasib saya belum jelas. Mudah-mudahan pengangkatan menjadi PPPK ini terwujud,” ujarnya pada momen Hari Guru Sedunia yang diperingati setiap 5 Oktober.
Kecemasan Dodi sangat mungkin juga dirasakan ribuan guru honor lainnya. Nasib mereka masih terkatung-katung di antara kebijakan pemerintah yang dinilai membingungkan.
Ketua Forum Guru Honorer Negeri Lulus Passing Grade Seluruh Indonesia (FGHNLPSI) Heti Kustrianingsih mengatakan, ribuan guru honorer lulus passing grade PPPK 2021 belum jelas nasibnya. Meskipun sudah lulus, mereka belum mendapatkan formasi karena pemerintah daerah (pemda) tidak mengajukan kuota maksimal untuk guru PPPK.
“Kami sangat dibingungkan dengan kondisi ini. Yang lulus passing grade saja digantung setahun, belum ada kejelasan,” ucapnya.
Harapan untuk mengakhiri kisah getir itu sempat diapungkan saat munculnya wacana pengangkatan guru honorer menjadi ASN berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Akan tetapi, asa itu semakin menyusut karena tak kunjung mendapat kepastian
Untuk memperjuangkan hal itu, ia bersama sejumlah guru honorer lainnya gencar melakukan rapat dengar pendapat dengan DPRD. Tujuannya untuk memastikan kuota maksimal sehingga guru lulus passing grade bisa ditampung.
“Ketidakpastian ini sangat meresahkan. Namun, kami dituntut untuk profesional dalam menjalankan tugas. Kondisi ini sebenarnya menunjukkan ketidaksiapan pemerintah sejak awal,” jelasnya.
Langkah konkret
Heti yang berpengalaman 16 tahun sebagai guru honorer di Cilegon, Banten, mengatakan, perubahan status menjadi PPPK sangat penting untuk mendongkrak kesejahteraan guru honorer. Ia mengaku digaji Rp 500.000 per bulan, jauh di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Cilegon sebesar Rp 4,4 juta.
Oleh karena itu, pihaknya menanti langkah konkret pemerintah untuk memprioritaskan guru lulus passing grade. Setelah semuanya dialokasikan, baru dialihkan untuk kandidat lain.
“Dahulukan yang lulus pada 2021 agar tidak tumpang-tindih. Jumlahnya ada sekitar 193.000 guru. Meskipun ini perlu divalidasi lagi karena kemungkinan ditemukan yang sudah tidak aktif mengajar,” jelasnya.
Seleksi ASN PPPK 2022 menjadi upaya pemerintah memenuhi kebutuhan pendidik berkualitas. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendorong pemda untuk mengajukan formasi guru secara optimal.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek, Nunuk Suryani menyampaikan, kebutuhan guru di satuan pendidikan negeri mencapai 2,4 juta orang. “Dalam menutupi kebutuhan tersebut, saat ini telah tersedia 1,3 juta guru ASN serta dengan mempertimbangkan sumber individu lain, seperti guru DPK (guru diperbantukan), guru yang telah lulus passing grade 2021, dan produksi PPG (pendidikan profesi guru) prajabatan. Jadi, kami masih kekurangan 781.000 guru ASN di sekolah negeri,” katanya.
Akan tetapi, total usulan formasi dari pemda yang telah diverifikasi dan divalidasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sekitar 319.000 guru. Angka itu masih di bawah 50 persen dari kebutuhan 2022.
Ironis
Ketua Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) Iwan Hermawan mengatakan, saat ini terjadi darurat kebutuhan guru ASN di Tanah Air. Saat Orde Baru, dilakukan pengangkatan guru besar-besaran untuk Sekolah Dasar Inpres (Instruksi Presiden) dan satuan pendidikan lainnya.
“Banyak yang serentak pensiun di masa-masa sekarang. Mereka pun diganti oleh guru-guru honorer yang ironisnya digaji jauh dari standar kelayakan,” katanya.
Padahal, dalam Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak, di antaranya memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, kesempatan meningkatkan kompetensi, serta pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.
Menurut Iwan, guru juga dibayangi kekhawatiran oleh sejumlah ketentuan Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Ketentuan yang paling disorot adalah hilangnya frasa tunjangan profesi guru.
Meskipun RUU ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023, tetapi tetap berpeluang untuk dibahas di tahun berikutnya. Oleh karena itu, perlu terus dikawal untuk memastikan kesejahteraan guru tetap terjamin.
“Bagaimanapun, sertifikasi profesi guru wajib dilakukan. Ini bukan cuma membayarkan tunjangan untuk guru, tetapi juga meningkatkan kompetensi guru agar kualitas pendidikan lebih baik,” ujarnya.
Era pemerintahan dan kebijakan berganti, tetapi benang kusut nasib suram guru honorer belum terurai. Mereka masih terseok-seok meniti jalan menuju sejahtera. Jika terus dibiarkan, hal ini berpotensi menjadi bom waktu yang mengancam kualitas pendidikan di masa mendatang.