Frans Seda, Sosok Katolik Berintegritas
Sebagaimana Francis Assisi mengerjakan bagiannya, demikian Frans Seda juga mengukir pola kepemimpinan yang berakar pada budaya, politik yang melayani, identitas kekatolikan yang luwes.
Tanggal 4 Oktober merupakan hari kelahiran Frans Seda, yang wafat 13 tahun lalu. Dalam Calendarium Liturgicum Romanum, 4 Oktober tercatat sebagai kelahiran Francis Assisi di kalangan para mursyid. Dengan latar Francis Assisi, tulisan ini mengangkat asas karakteristik dan integritas Frans Seda demi menyingkap kontribusinya bagi kemanusiaan yang kian relevan.
Kepemimpinan
Buku John C Maxwell, The 21 Irrefutable Laws of Leadership, membabarkan hukum keniscayaan setiap pemimpin. Salah satu hukum magnetik adalah pengaruh. Maksudnya, kita yakin (karena sudah melakukannya) dan mampu memengaruhi orang lain, dan orang lain mengikuti kita, maka kita adalah pemimpin. Francis Assisi dan Frans Seda dengan cara mereka sendiri memperlihatkan pengaruh yang efektif.
Model kepemimpinan Francis membuat banyak orang menimba inspirasi dengan meneladan semangat batin Francis, misalnya dalam visi tentang alam sebagai rumah Allah, keluhuran ciptaan, perdamaian, solidaritas, dan sukacita. Pengaruh keteladanan masih ditopang oleh inisiatif, prioritas, inteligensia sosial, pelayanan, passion, dan pembaruan demi keberlangsungan hidup.
Baca juga: Harum Jasa Frans Seda, dari "Nusa Bunga" untuk Nusantara
Frans Seda melayani kepentingan dan kebutuhan rakyat Indonesia dalam masa pemerintahan lima presiden Indonesia, mulai zaman Soekarno hingga Megawati Soekarnoputri. Lebih daripada yang lain, kepemimpinan Frans Seda seperti sudah dipersiapkan dengan cermat.
Keluarga harmonis dalam asas kekatolikan yang mendalam, dukungan demi memilih pendidikan terbaik pada zamannya, keterbukaan kepada pendidikan formal yang membebaskan, integritas para guru dalam pengajaran, kepribadian dan relasi sosial yang terpuji membekali Frans Seda sebagai seorang putra Nusa Tenggara Timur.
Dalam pembacaan saya, Frans Seda berhasil membuat garis pemisah yang tegas. Ia menjadikan ungkapan iman, seperti identitas dan karakter kekatolikan, di dalam domain dan ranah privasi. Sementara itu, kemanusiaan dan moralitas menjadi wujud publik dari iman.
Daripadanya sosok Frans Seda mengedepan dengan keutamaan otentik, yakni berdisiplin, jujur, tidak korup, bekerja keras, berempati pada pembentukan pribadi melalui pendidikan, dan kecintaan kepada Tanah Air, serta keterlibatan dalam usaha mengentaskan sesama dari kesulitan hidup. Semua dibingkai dalam moralitas dan etika politik yang teruji.
Kepemimpinan dan passion pada martabat kemanusiaan inilah sakramen politik. Frans Seda menerjemahkan perjuangannya ke dalam politik common good supaya berdampak kepada kualitas kehidupan. Politik, dengan demikian, menjadi sarana yang perlu, jika dalam praksisnya mengindahkan suara hati. Minoritas kekatolikan dengan keunggulannya diubahnya ”menjadi garam dan terang” di dalam mayoritas.
Frans Seda menerjemahkan perjuangannya ke dalam politik common good supaya berdampak kepada kualitas kehidupan.
Sebagaimana Francis Assisi mengerjakan bagiannya, demikian Frans Seda juga mengukir pola kepemimpinan yang berakar kepada budaya, politik yang melayani, identitas kekatolikan yang luwes. Di dalam sosok Frans Seda orang merasa cocok, kerasan, bahkan menemukan jati dirinya.
Antinomi
Ketika masih muda, Francis bersama teman-temannya suka bernyanyi, menghibur warga kota Assisi. Mereka melantunkan kandungan hati dan membesarkan hati dengan kidung heroik. Dalam The Passionate Troubadour (2004), Edward Hays menarasikan ”penyanyi Tuhan” yang hatinya tertambat pada semesta alam, terutama manusia. Tanpa iringan dawai, penyanyi itu tetap melantunkan kidungannya yang menggetarkan. Penyanyi itu memperlihatkan bagaimana ia menyentuh jiwa, tempat asal keabadian.
Jiwa estetik Frans Seda dibentuk oleh pendidikan formal yang mengajari seni musik. Pendidikan humaniora berfungsi memperhalus dan mempertajam budi, karsa, dan cipta. Frans Seda beruntung dididik di Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK) di Muntilan, yang menempanya menjadi pribadi kokoh dan indah.
Baca juga: Keteladanan Frans Seda Masih Tetap Relevan
Jika kita mengambil jarak terhadap tugas, pekerjaan, tanggung jawab yang berat dan beragam itu, kita akan berkesan tentang Frans Seda yang berhasil mengatur orkestra tetap dinamis dan harmonis. Unsur itu juga ditemukan dalam Francis Assisi: hidupnya ringan, cepat, tanpa tersandung dalam kerentanan dan keruwetan sistem.
Frans Seda sangat menyukai lagu yang sudah mendarah-daging, ”Salve Regina, mater misericordiae/ Vita, dulcedo, et spes nostra, salve/ Ad te clamamus, exsules, filii Hevae/ Ad te suspiramus, gementes et flentes in hac lacrimarum valle/ Eia ergo, Advocata nostra, Illos tuos misericordes oculos ad nos converte/ Et Iesum, benedictum frumtum vertris tui, nobis, post hoc exsilium ostende/ O Clemens: O pia: O dulcis Virgo Maria/...”
Di dalam Frans Seda, lagu itu mendedahkan gerak dan bukan sebaliknya. Sebab, lagu itu hasil dari karsa sehingga pemikiran atau kepercayaan itu mendahului praksis dan tindakan. Sistem pedagogi yang runtut dan teratur ini buah hasil pola ajar skolastik yang berkembang dalam pendidikan liberal arts pada abad pertengahan Eropa Barat.
Konkretnya, karya ”Sang Pencipta dalam Ibu Maria” begitu membekas dalam penghayatan iman Katolik NTT, sebagaimana terungkap dalam ”Salve Regina”. Dalam penghayatan religi, forma devosi membentuk karakter kekatolikan. Yohanes Paulus II (alm) yang selamat dari pembunuhan berkata, ”Doa yang sangat saya sukai adalah doa rosario.” Di sini terungkap keyakinan devosional yang merangkum kekuatan, pengharapan, dan moralitas yang melampaui terang matahari.
Kondisi Indonesia zaman Frans Seda seperti tercabik dalam dua ekstrem: miskin–kaya; kecil–besar; seragam–multisuku, ras, budaya dan agama. Tugas utama Frans Seda telah ditunaikan dengan kekuatan penyeimbang. Ketika dua asas konfliktual yang eksistensinya sama-sama sah, maka paradigma yang mengatasi antinomi inilah yang ditawarkan Frans Seda. Maka, tugas sebagai Menteri Perkebunan, Keuangan, dan Perhubungan menjadi bagian dari solusi.
Ketika dua asas konfliktual yang eksistensinya sama-sama sah, maka paradigma yang mengatasi antinomi inilah yang ditawarkan Frans Seda.
Contoh, dalam dua tahun hiperinflasi yang mencapai 650 persen dipangkas menjadi 120 persen; penyederhanaan kementerian dengan menjunjung asas revolusi yang sangat masuk akal: dalam segala hal berdiri di atas kekuatan kaki sendiri. Perintis pembangunan Bandara Soekarno-Hatta; Ketua Partai Katolik yang disiapkan IJ Kasimo; pendiri-perintis Atma Jaya, perintis harian Kompas, dan sejumlah karya yang dihasilkannya.
Pengakuan dan warisan
Minimal ada tujuh bintang yang diterima sebagai pemimpin yang berintegritas, jujur, serta berjasa untuk kemanusiaan. Salah satunya ialah Bintang St Silvester. Dengan surat keputusan Paus Paulus VI (12 Juli 1965), Frans Seda menerima pengakuan tersebut. Bintang itu diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa ia banyak berjasa untuk kepentingan kehidupan umat Kristiani di Indonesia, terutama kemajuan sekolah Katolik di Indonesia.
Pengejawahtahan pro ecclesia et patria (dalam pengabdian kepada gereja dan negara) tertera di hati Frans Seda. Sebab, pada usia 38 tahun, ia sudah dipercaya untuk mengemban pengabdian sebagai menteri.
Baca juga: Harum Jasa Frans Seda, dari "Nusa Bunga" untuk Nusantara
Kesaksian yang dicatat Majalah Penabur (Th XX 4, 29 Mei 1966) menarik bahwa Frans Seda tidak muncul tiba-tiba. Ia harus dipersiapkan terlebih dahulu dalam kurun waktu yang relatif lama, yakni semasa mudanya, masa pendidikan, kebiasaan dan keutamaan dalam keluarga, kedisiplinan dalam kehidupan moral, praktik agamanya, dalam latihan-latihan peradaban dan keutamaan cinta kepada Tanah Airnya.
Dalam kondisi berbangsa dan bernegara saat ini, kita semua mendambakan sosok politisi-ekonom, penganut agama, pengusaha, perancang-pemikir dan praktisi pendidikan, kepala keluarga, guru/dosen, anggota kader, pro hominis et patria (bagi kemanusiaan dan negara) yang berintegritas dan bermoral teruji sebagaimana Frans Sela telah teladankan.
A Eddy Kristiyanto, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta