Untuk memetik peluang di ranah digital. produsen berskala mikro, kecil, dan menengah atau UMKM dituntut mampu konsisten menjaga kualitas produk sekaligus konsisten berinovasi.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM yang berjualan di lokapasar per Juni 2022 telah mencapai 19 juta. Dari jumlah ini, hampir 90 persen di antaranya merupakan UMKM pedagang atau reseller, baik produk dalam maupun luar negeri. Menjadi ironi pula karena sebagian besar barang yang dijual merupakan produk impor.
Hal ini mengemuka dalam diskusi hibrida ini bertajuk ”Menilik Peluang Transformasi Digital Sektor UMKM untuk Akselerasi Perekonomian Nasional”, Selasa (27/9/2022), di Jakarta. Diskusi ini diselenggarakan oleh harian Kompas dan Lazada Indonesia.
”Apabila ditelaah lebih dalam, kebanyakan barang yang dijual reseller itu sebenarnya adalah buatan luar negeri alias impor. Siapa pun (warga) memiliki hak berbisnis di lokapasar. Kami tidak bisa mencegah kemunculan para reseller itu, tetapi kami dorong agar mereka lebih banyak menjual barang buatan lokal,” ujar Asisten Deputi Pembiayaan dan Investasi Usaha Kecil Menengah (UKM) Kementerian Koperasi dan UKM Temmy Satya Permana dalam forum tersebut.
Menurut Temmy, Kementerian Koperasi dan UKM bersama Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menyepakati perlunya revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Kementerian Koperasi dan UKM mengusulkan agar setiap barang yang dijual di lokapasar wajib disertai asal negara yang memproduksi.
Revisi Peraturan Mendag No 50/2020 juga diharapkan mampu melindungi konsumen hingga produsen UMKM dalam negeri. Ketika revisi selesai, semua produk beredar di lokapasar juga diharapkan bersertifikat halal dan memenuhi standar nasional Indonesia, selain mencantumkan negara asal produksi.
Terkait dengan produksi di dalam negeri, Temmy mengatakan, sebanyak 22 kementerian/lembaga yang selama ini mengayomi UMKM diharapkan aktif membantu memperbaiki masalah-masalah yang dialami UMKM produsen. Salah satu masalah yang dihadapi UMKM produsen dan tengah jadi perhatian pemerintah adalah terkait dengan bahan baku. Di UMKM produsen barang mode misalnya, 90 persen bahan kain katun diimpor. Ketika harga bahan baku itu naik, kementerian/lembaga perlu duduk bersama-sama mencari jalan keluar agar kondisi itu tidak membebani UMKM produsen.
Produsen berskala usaha mikro diperkenankan mengakses kredit usaha rakyat (KUR). KUR masih memperoleh subsidi bunga dari pemerintah.
”Keberadaan reseller perlu dimanfaatkan. Mereka sebenarnya punya insting bagus menilai barang mana yang akan laku di pasar atau tidak. Jadi, kami dorong agar mereka membantu menjual kembali produk-produk UMKM produsen lokal yang punya keunggulan kompetitif,” kata Temmy.
Temmy menambahkan, di era ekonomi digital ini, kolaborasi antar pelaku usaha semestinya ditonjolkan. Sebab, tidak semua UMKM produsen punya kemampuan memasarkan produk.
Direktur Eksekutif Lazada Indonesia Ferry Kusnowo memaparkan, berdasarkan pengalaman Lazada Indonesia yang ikut membina UMKM, ada sejumlah tantangan yang harus dijawab pelaku UMKM produsen. Pertama, ketika sudah berminat jadi bagian dari ekosistem ekonomi digital, UMKM produsen harus konsisten mempertahankan kualitas produk. Kedua, mereka harus konsisten berinovasi.
Sejumlah platform lokapasar nasional, seperti Lazada Indonesia, telah ambil bagian memberikan pelatihan pemasaran digital. Lazada Indonesia pun menyediakan fitur-fitur teknologi digital di platformnya yang bisa dimanfaatkan UMKM untuk meningkatkan penjualan.
Di era ekonomi digital ini, kolaborasi antarpelaku usaha semestinya ditonjolkan. Sebab, tidak semua UMKM produsen punya kemampuan memasarkan produk.
”Tantangannya kemudian, sejauh mana pelaku UMKM ini mau tetap menimba ilmu baru di ranah digital? Dari sisi pengelola platform lokapasar bahkan telah ada beberapa pengelola yang menyediakan program agar UMKM nasional bisa berjualan di pasar internasional,” katanya.
Dari pengalaman Co-Founder dan CEO ZM Zaskia Mecca (UMKM bidang busana Muslim) Haykal Kamil, platform penjualan barang secara daring memberikan kesempatan luas bagi UMKM yang mau bersungguh-sungguh maju dan siap dengan segala konsekuensinya. Salah satu bentuk konsekuensi nyata adalah beradaptasi terhadap pesatnya perubahan teknologi digital.
ZM Zaskia Mecca mulanya menjual busana Muslim buatan sendiri dengan cara luring pada 2015. Kemudian, pada tahun 2020, ZM Zaskia Mecca beralih ke penjualan daring, seperti ke beberapa lokapasar nasional. Haykal mengklaim, omzet penjualan tumbuh triple digit.
”Kami tetap mengutamakan desain yang mengambil nuansa kearifan lokal setiap tahun. Kami juga akhirnya menggandeng pihak ketiga untuk urusan manajemen gudang agar lebih efisien. Kami masih fokus menjual produksi kami langsung ke konsumen meskipun saat bersamaan kami terbuka untuk reseller,” kata Haykal.
Ketua Tim Pelaksana Digital Economy Working Group G20 I Nyoman Adhiarna menyampaikan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) ikut ambil bagian memajukan UMKM agar bisa berjualan di platform daring. Namun, peran yang diambil lebih banyak terkait dengan pelatihan talenta digital dan penyediaan infrastruktur telekomunikasi di daerah terpencil.
”Presiden Joko Widodo telah menargetkan 30 juta UMKM onboarding (berjualan daring) digital pada 2024. Selain produk buatan lokal semakin banyak, tantangan yang kami lihat adalah bagaimana meningkatkan transaksi. Transaksi bisa naik jika infrastruktur telekomunikasi merata dan talenta UMKM menguasai/melek teknologi digital,” katanya.