Wajah Pangandaran dalam Kehangatan Pindang Gunung
Pindang gunung lebih dari sekadar masakan yang enak disantap. Keberadaannya menjadi wajah Pangandaran yang hangat dan menyejahterakan banyak orang.
Sajian kuliner pindang gunung buatan Encih Sarsih (57) begitu menggoda. Potongan ikan kakap putihnya seperti berenang dalam kuah sarat rempah. Penampilannya semakin eksotis ketika disajikan dalam wadah kelapa muda. Lebih dari sekadar masakan biasa, pindang gunung adalah wajah Pangandaran.
”Pindang gunung adalah masakan khas Pangandaran. Oleh karena tu, agar sesuai dengan tema pinggir pantai, saya sengaja menyajikannya dalam kelapa muda bukan mangkuk,” kata Encih, warga Babakan, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat.
Encih adalah satu dari 75 peserta Festival Pindang Gunung yang digelar di Alun-alun Paamprokan, Pangandaran, Jawa Barat, Minggu (28/8/2022). Semua pesertanya adalah perempuan dari berbagai daerah dari Pangandaran.
Sajian itu menjadi penutup dalam Cycling de Jabar 2022, ajang bersepeda yang digelar Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Bank Jabar Banten (BJB), dan harian Kompas. Tercatat 69 pesepeda menempuh perjalanan sejauh 319 kilometer dari Pantai Palangpang, Geopark Ciletuh, Kabupaten Sukabumi hingga Pangandaran. Dua pesepeda berasal dari Latvia dan Rusia.
Encih mengatakan, pindang gunung lazim dibuat warga Pangandaran. Masakan kaya rasa, asin, asem, manis, dan pedas ini biasa disuguhkan dalam berbagai acara dan disantap banyak orang. Ikannya dipilih yang terbaik, seperti kakap, tongkol, hingga mangmung. Ciri khas utamanya adalah kecombrang dan jahe untuk memberi sensasi segar dan hangat.
Biasanya, ujarnya, pindang gunung dibuat dalam porsi besar. Satu ikan utuh disajikan dengan kuah kaya rempah melimpah. Dengan begitu, banyak orang mencicipinya. Bila kehabisan ikannya, setidaknya yang lain bisa menikmati kuahnya yang bikin hangat tenggorokan.
”Datang ke Pangandaran belum lengkap tanpa mencicipi pindang gunung. Tidak hanya sedap, pindang gunung adalah identitas Pangandaran,” katanya.
Baca juga: Mata Lembu hingga Kelapa Ijo, Ragam Kuliner Khas dari Jabar Selatan
Sarat makna
Belum ada catatan pasti kapan makanan berkuah itu muncul. Namun, menurut pengamat budaya Pangandaran, Edi Rusmiadi, pindang gunung mulai marak pada 1970-an.
Kala itu, banyak orang dari luar daerah pesiar ke Pangandaran dan menginap di rumah warga. Hotel belum ada di sana. Waktu itu, rumah warga dan rumah makan sudah menyediakan pindang gunung. Resepnya juga diberikan turun-temurun.
”Dulu, Pangandaran pantainya kosong. Lalu, datang orang-orang dari pegunungan. Karena berlatar belakang petani, saat mendapat ikan di pesisir, mereka memasaknya dengan bumbu-bumbu dari gunung,” ujar Edi yang buyutnya berasal dari daerah gunung di Pangandaran, seperti Parigi dan Cijulang.
Bahan dari pegunungan, seperti daun kedondong, kecombrang, jahe, hingga kunyit, lalu dicampur dengan ikan laut. Jika di daerah lain ikan pindang umumnya dibuat kering, pindang di Pangandaran justru berkuah. Pindang gunung serupa sup ikan. Kuahnya kuning karena dicampur rempah-rempah.
Seiring waktu, warga yang kemudian memilih kawasan pantai sebagai tempat tinggal baru terus memasang pindang gunung. Pindang lalu disajikan sebagai masakan khas di rumah warga untuk orang luar daerah yang berkunjung.
”Selain sukses menyatukan bahan-bahan dari gunung dan lautan, pindang gunung juga menjadi simbol kehangatan warga. Mereka menyambut siapa saja yang datang dengan masakan terbaik,” kata Edi yang beberapa kali menjadi juri untuk perlombaan pindang gunung di Pangandaran.
Baca juga: Memanjat Sejahtera, Menjelajahi Dunia dengan Kelapa Pangandaran
Hidup Pangandaran
Baik Encih maupun Edi tidak berlebihan menyebut pindang gunung adalah wajah Pangandaran.
Secara geografis, daerah ini terbilang istimewa. Punya banyak pegunungan dan kawasan pantai eksotis, daerah ini mampu menarik banyak wisatawan.
Dengan panjang garis pantai hingga 91 kilometer, keberadaan Pantai Barat dan Timur Pangandaran tetap jadi primadona. Batukaras sebagai surga selancar atau panorama karang Batuhiu ikut menopangnya.
Di kawasan pegunungan, Pangandaran juga dihidupkan Green Canyon hingga Citumang. Tempat-tempat itu ampuh menjadi alternatif lain selain wisata pantai. Jarak sekitar 360 kilometer atau lebih kurang delapan jam dari Jakarta bukan persoalan bagi para pemburu keindahan alam. Semua terbayar dengan keindahan pantai dan pegunungannya.
”Setiap akhir pekan, ada 3.000 warga menerima manfaat pariwisata, mulai dari guide (pemandu), travel, sampai pedagang,” ujar Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia Pangandaran Adrianus Eko Saputro.
Bahkan, katanya, wisata Pangandaran tidak terlalu terpuruk saat pandemi Covid-19 dua tahun lalu. Pengunjung lokal dari Bandung, Tasikmalaya, hingga Cilacap tetap berdatangan.
”Destinasi wisata di sini kebanyakan luar ruangan. Ini cocok mengurangi penyebaran Covid-19,” ujarnya.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pangandaran Tonton Guntari mengatakan, wisata memiliki kontribusi besar untuk daerah. Sepanjang tahun 2022, jumlah pengunjung mencapai 4 juta orang.
”Kami menargetkan Rp 31 miliar untuk penerimaan asli daerah (PAD) tahun ini dari retribusi wisata. Realisasinya sudah di atas 50 persen,” ujarnya.
Angka tersebut belum termasuk pajak dari perhotelan hingga restoran. Terdapat lebih dari 200 rumah makan dan 432 hotel di Pangandaran. Realisasi PAD Pangandaran pada 2020 tercatat sekitar Rp 1,5 triliun.
Pihaknya optimistis sektor pariwisata berkontribusi besar untuk PAD tahun ini seiring melandainya kasus Covid-19. Puncak peringatan HUT ke-77 Jabar yang digelar dalam ajang Cycling de Jabar diyakini ikut menggenjotnya.
”Harapannya, ajang ini bakal membuat nama Pangandaran bisa semakin terangkat. Saat itu terjadi, maka kesejahteraan warga bisa jauh lebih baik,” ungkapnya.
Keberagaman
Selain wisata, pindang gunung yang kaya rasa juga mirip dengan kehangatan warganya. Pangandaran sejauh ini menjadi rumah tanpa batasan suku, ras, dan agama.
Di Kecamatan Parigi, misalnya, ada SMK Bakti Karya yang dikenal dengan konsep keberagaman, ramah lingkungan, dan inklusif. Digagas Ai Nurhidayat (32), sekolah ini menampung banyak siswa dari sejumlah daerah di Indonesia sejak tahun 2014. Siswa tidak perlu membayar biaya pendidikan untuk menempuh pendidikan di sana.
Ada juga Hadiat Kelsaba (43), pegiat konservasi di Cagar Alam Pananjung. Dia keturunan Maluku Utara yang datang ke Pangandaran dan kini getol memperbaiki terumbu karang yang rusak sejak 15 tahun lalu.
Bagi Hadiat, terumbu karang yang tumbuh subur adalah modal menjaga keanekaragaman hayati hingga wisata bawah laut. Ketersediaan tangkapan nelayan juga terjamin saat terumbu karang menjadi tempat nyaman bagi ikan di Pangandaran.
”Terumbu karang juga ikut membuat kualitas lingkungan terjaga. Saat tsunami 2006, terumbu karang juga ikut meminimalkan kerusakan,” katanya.
Begitupun Encih, yang juga menjadi salah satu sosok kuat di balik bangkitnya Pangandaran pascatsunami 2006. Bersama warga lokal, luar daerah, hingga mancanegara, ia ikut dalam pengembangan keterampilan usaha hingga penanaman ribuan mangrove.
Tahun ini, Kepala SDN 6 Pangandaran ini getol mempromosikan pindang gunung. Kuliner ini menjadi salah satu energi pemulihan ekonomi warga yang terdampak Covid-19.
”Harapannya, semakin banyak rumah makan menyajikan pindang gunung sebagai sajian khas. Saat dipromosikan lebih kencang, masakan ini berpotensi menarik banyak orang datang ke Pangandaran. Kunjungan wisatawan bakal memulihkan perekonomian warga,” katanya.
Menjelang sore, penjurian dalam festival itu pun dilakukan. Pindang gunung milik Encih yang disajikan bersama es kelapa muda dan jus honje dinobatkan menjadi tiga terbaik.
Namun, dia tidak mencari kemenangan semata. Festival itu menjadi salah satu upaya melatih anak bungsunya, Rima Srihatami (21), agar semakin piawai memasak pindang gunung. Tidak banyak bicara, Rima cekatan membantu ibunya menata masakan itu bersama contoh bahan-bahannya untuk disajikan di atas meja.
”Anak muda harus meneruskan kenikmatan sajian ini. Pindang gunung adalah wajah Pangandaran yang harus terus dijaga agar semangatnya terus menghangatkan semua orang yang menikmatinya,” katanya.
Baca juga: Serunya ”Body Rafting” di Green Canyon