Memanjat Sejahtera, Menjelajahi Dunia dengan Kelapa Pangandaran
Kelapa Pangandaran tidak bisa dipandang sebelah mata. Produk olahannya menjelajahi belahan dunia. Petaninya kini bergairah ”memanjat” sejahtera.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI, TATANG MULYANA SINAGA, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA, CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
·5 menit baca
Kelapa Pangandaran tidak bisa dipandang sebelah mata. Produk olahannya menjelajahi belahan dunia. Petaninya kini bergairah ”memanjat” sejahtera.
Tanpa alas kaki, Helmi (60) berjalan ke kebun kelapa di samping rumahnya di Parigi, Pangandaran, Rabu (10/8/2022). Cepat, dia mulai memanjat setelah menentukan pohon yang buahnya akan dipetik. ”Pohon ini buahnya bagus. Satu tandan lebih dari 10 butir,” ujarnya.
Tidak sampai dua menit, tangan kekar kakek empat cucu ini meraih buah kelapa di atas pohon setinggi 20 meter itu. Ia menebas tandan kelapa dengan parang. Belasan kelapa jatuh ke tanah.
Pangandaran adalah sentra kelapa Jabar. Data Dinas Perkebunan Jabar tahun 2022 menyebutkan, luas lahannya 25.266 hektar atau sekitar 15 persen dari total luas Pangandaran sebesar 168.000 hektar. Produksinya 13.148 ton per tahun. Ribuan orang bergantung hidup padanya, termasuk Helmi.
Ajang Cycling de Jabar 2022, 27-28 Agustus, merekam hal itu. Acara bersepeda hasil kerja sama Pemerintah Provinsi Jabar, bank bjb, dan harian Kompas ini menempuh jarak 367,5 kilometer, dari Ciletuh hingga Pangandaran.
Hingga kini, sudah lebih dari 40 tahun, Helmi hidup bersama kelapa. Saat tsunami 2006, ia lolos dari maut karena meraih batang kelapa dan memanjatnya. Kini, buah kelapa terus menghidupi keluarganya.
Atas dasar itu juga Helmi memilih menjadi petani organik. Pohon kelapanya subur lewat pupuk kandang. Hasilya, ia mampu memanen 1.500-3.000 butir dalam sebulan dari tiga lokasi kebun seluas 3.150 meter persegi.
Pilihan bertani organik membawanya bertemu PT Pacific Eastern Coconut Utama (PECU). Sejak tiga tahun lalu, dia bagian dari 1.251 petani mitra produsen produk olahan kelapa, seperti kelapa parut kering, tepung kelapa, santan asli, dan minuman air kelapa dalam kemasan. Kelapa organik seluas 812,42 hektar di Pangandaran itu ditujukan untuk pasar ekspor.
Kemitraan itu sejauh ini menguntungkan. Pabrik itu berjarak sekitar 8,5 km dari rumah Helmi. Ia cukup membayar sewa mobil Rp 150.000 untuk membawa hasil panennya ke pabrik. Dahulu, panen kelapanya dijual ke Jakarta. Dapat Rp 2,7 juta-Rp 5,4 juta per bulan, tetapi ongkos ke Jakarta hingga Rp 2 juta.
”Sekarang saya bisa menabung, membangun rumah Rp 75 juta, dan membantu biaya pendidikan cucu,” katanya.
Bahagia kelapa
Pada hari yang sama, jemari Imas Suryati (41) juga cekatan mengupas kulit ari sebutir kelapa di pabrik PT PECU dalam hitungan 15 detik. Sarung tangan melindungi jempol, jari telunjuk, dan jari tengahnya yang menggenggam pisau. Dia satu dari 750 orang yang bekerja di pabrik.
Satu demi satu kelapa dikupas sebelum ke mesin khusus. Bersama 79 perempuan lainnya, Imas menyiapkan daging buah yang diterima dari petani seperti Helmy. Melalui teknologi ultra high temperature (UHT), produk itu tersebar ke 37 negara, seperti Malaysia, China, Amerika Serikat, hingga beberapa negara di Eropa. Indonesia bangga. Imas sejahtera.
Sebelumnya, ibu dua anak ini membuat gula kelapa. Bekerja hingga malam hari, penghasilannya sekitar Rp 80.000 per hari. ”Di sini, masuk pukul 07.00, pulang 14.00-15.00,” ujar Imas. Sehari, dia mampu mengupas 2,5-3 kuintal kelapa dengan bayaran Rp 140.000 per hari.
Bahagia bersama kelapa juga dirasakan Uun Hunadi (53), pengepul kelapa di Cigugur, Pangandaran. Uun mengatakan, ia kini mempekerjakan 70 orang di lima gudang. Semuanya mengelola 40.000 butir per hari. Sebanyak 5.000-10.000 butir di antaranya dikirim ke pabrik untuk diekspor. Ukuran kelapa harus bisa digenggam dengan satu tangan seberat sekitar 9 ons.
”Ukurannya tidak sembarangan. Kami sangat menjaga kontrol kualitasnya,” katanya. Aktivitas pemasok dan pengolahan kelapa milik rakyat sangat membantu rantai produksi lebih efisien. General Manager PT PECU Ferry Napoleon memaparkan, pihaknya bekerja sama dengan 40 pemasok kelapa, mulai dari butir kelapa hingga dagingnya, untuk diproses kembali di pabrik.
Setiap pemasok, lanjut Ferry, mempekerjakan ratusan warga. Dia menaksir jumlah warga yang ikut dalam rantai pasok ini mencapai lebih dari 750 orang di Pangandaran. ”Kami bisa saja mengganti tenaga kerja dengan mesin. Namun, sudah kewajiban kami berbagi rezeki dengan warga sekitar,” ujarnya.
Pasar dunia
PT PECU tidak sendirian berbagi kesejahteraan sekaligus membawa nama Jabar melanglang buana lewat kelapa. Koperasi Produsen Mitra Kelapa (KPMK) Pangandaran sudah mengolah cocopeat dan cocofiber menjadi produk internasional sejak 2016.
Ketua KPMK Yohan Wijaya Noerahmat mengatakan, cocopeat untuk media tanam bagi konsumen China, Jepang, dan Korea Selatan. Adapun cocofiber menjadi bahan baku furnitur dan jok kendaraan premium hingga jok pesawat komersial.
Ekspor keduanya 200 ton per bulan senilai Rp 1,5 miliar. Sedikitnya 2.500 petani dan pengepul kelapa terlibat di dalamnya.
Yohan mengatakan, meski omzet koperasi mencapai Rp 8 miliar per bulan, produksinya hanya mampu memenuhi 5 persen permintaan. Jika terus digenjot, dia yakin bisa memasok kebutuhan konsumen hingga 30 persen, terutama untuk pasar Eropa.
”Eropa punya spesifikasi kualitas yang lebih tinggi. Karena itu, mereka butuh barang dengan kualitas dan jumlah yang stabil. Ini yang sedang saya upayakan dan yakinkan ke masyarakat, kami bisa memenuhinya,” tuturnya.
Kepala Dinas Perkebunan Jabar Jafar Ismail mengatakan, dukungan peningkatan produksi dari hulu ke hilir akan terus disiapkan. Salah satunya peremajaan pohon kelapa akan dilakukan.
Tahun ini, ada 280 hektar lahan kelapa di Pangandaran yang akan diremajakan. Rata-rata usia peremajaan untuk kelapa berusia di atas 30 tahun. Adapun panen ideal mencapai 2-3 ton per hektar per tahun.
Seperti kelapa yang memiliki ratusan produk turunan, banyak pihak di Pangandaran terlibat membuatnya ternama. Bersama kelapa, mereka memanjat sejahtera dan menjelajahi dunia.