Taktik melepas diri dari rombongan besar di awal lomba jadi kunci para jawara tanjakan etape I Cycling de Jabar. Hal itu yang membuat Abdul Soleh jadi ”King of Mountain” dan Gita Widya Yunika menjadi ”Queen of Mountain”.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
GARUT, KOMPAS — Taktik melepaskan diri dari rombongan besar di awal lomba menjadi kunci kesuksesan para jawara tanjakan etape pertama Cycling de Jabar 2022, Sabtu (27/8/2022). Cerdik memainkan momentum itu yang mengantarkan pesepeda asal Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Abdul Soleh menjadi King of Mountain dan pesepeda putri asal Kota Bandung, Jawa Barat, Gita Widya Yunika, menjadi Queen of Mountain.
Dalam etape pertama sejauh 152 kilometer (km) dari Geopark Ciletuh, Kabupaten Sukabumi, ke Karang Potong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, panitia menyiapkan apresiasi berupa gimik King of Mountain (KOM) dan Queen of Mountain (QOM) untuk peserta tercepat yang melalui jalur tanjakan di kawasan Ciletuh, Sukabumi. Jalur itu terbentang sepanjang kilometer (KM) 12-34.
Jalur itu memiliki kemiringan sekitar 3-20 derajat. Rutenya cenderung terus naik dan bertikungan ekstrem. Bagi 65 peserta, rute itu cukup sulit untuk dilalui. Bahkan, ada beberapa peserta yang tidak bisa menuntaskan tantangan tersebut, mulai dari disebabkan faktor nonteknis hingga fisik.
Namun, akhirnya masing-masing tiga pesepeda putra dan putri menjadi yang terbaik dari tantangan tersebut. Di putra, Abdul Soleh finis pertama dengan waktu 42 menit 25 detik. Kemudian, menyusul dua pesepeda asal Bandung, yakni Muhammad Raihan Maulidan finis kedua dengan 42 menit 53 detik dan Chendy Septyan finis ketiga dengan 45 menit 31 detik.
Di putri, Gita Widya Yunika finis pertama dengan waktu 55 menit 2 detik. Kemudian, menyusul pesepeda putri asal Bogor, Jawa Barat, Putri Sefia Ardianti, dengan 55 menit 29 detik, dan pesepeda putri asal Bandung Barat, Annisa Meliana, dengan 55 menit 39 detik.
Memimpin di awal
Soleh mengatakan, dalam ajang ini, dirinya menjadi satu-satunya wakil dari klub NIB Cycling Team, sedangkan pesaingnya tak sedikit yang datang dengan rekan setim. Hal itu membuatnya memutuskan untuk segera mungkin keluar dari rombongan besar atau memimpin di awal lomba, tepatnya di KM 4-5.
Lepas dari rombongan besar menjadi modalnya untuk mengambil momentum memimpin memasuki jalur tanjakan. ”Karena beberapa lawan turun dengan satu tim, saya harus cari celah ambil momen untuk memimpin secepatnya. Kalau tetap berada dalam grup (rombongan), saya akan kesulitan memasuki jalur tanjakan. Lawan yang satu tim bisa kerja sama untuk nembak atau break away,” ujarnya.
Taktik yang diterapkan Soleh berjalan mulus setidaknya sekitar 1 km sebelum finis jalur tanjakan. Akan tetapi, sekitar 500 meter sebelum finis, Raihan yang menjadi salah satu wakil klub Liberti Cycling Team berhasil mendekati Soleh.
Kalau sudah satu lawan satu, yang paling penting adalah tetap tenang dan terus mengatur tenaga. Lagi pula, saya cukup percaya diri menang karena cenderung lebih spesialis di tanjakan.
Beruntung, Soleh tidak panik. Dengan begitu, pesepeda kelahiran Bandung, 13 Juli 1999, itu bisa fokus mengatur tenaga dan akhirnya finis pertama. ”Kalau sudah satu lawan satu, yang paling penting adalah tetap tenang dan terus mengatur tenaga. Lagi pula, saya cukup percaya diri menang karena cenderung lebih spesialis di tanjakan,” tutur Soleh yang sempat masuk timnas sepeda gunung di SEA Games 2013 Myanmar dan sepeda jalanan di SEA Games 2017 Malaysia.
Strategi nyaris serupa dilakukan Gita. Atlet kelahiran Sidoarjo, Jawa Timur, 1 Agustus 1999, yang membela Jawa Barat itu keluar dari rombongan besar awal start lomba dari Geopark Ciletuh. Namun, pesaing terdekatnya, Putri. dibantu oleh rekan-rekan pesepeda putra yang satu tim dengan Putri sehingga bisa mendekat sekitar 500 meter sebelum finis.
”Pas di awal-awal lomba, saya memimpin jauh. Namun, memasuki jalur tanjakan, pesaing terdekat saya ’ditarik’ oleh rekan-rekan pesepeda cowok yang satu tim dengannya. Padahal, kalau duel satu lawan satu, saya yakin bisa unggul 3 menit di depannya,” tutur Gita yang memang pesepeda spesialis tanjakan.
Lebih optimistis
Dengan kemenangan di jalur tanjakan etape pertama, Soleh dadn Gita lebih optimistis menatap etape kedua sejauh 169 km dari Ranca Buaya, Kabupaten Garut, ke Alun-alun Paamprokan, Kabupaten Pangandaran, Minggu (28/8). Bahkan, mereka turut mengincar gelar dalam gimik Intermediate Sprint atau pesepeda tercepat dalam adu sprint di KM 71-74.
Soleh ataupun Gita memang bukan pesepeda spesialis sprint. Akan tetapi, mereka menilai, Intermediate Sprint itu tidak seberapa jauh. Maka, mereka yakin ada kesempatan keluar sebagai yang tercepat. ”Besok, lombanya pasti lebih berat karena saya bukan spesialis sprint. Namun, karena balapannya cuma 3 km, peluang untuk menjadi yang tercepat tetap ada. Yang penting, saya istirahat dan makan yang cukup dulu sambil mengatur strategi terbaik,” kata Soleh.
Direktur Perlombaan Cycling de Jabar Andi Sadruddin Rohadian menuturkan, sama seperti gimik King of Mountain dan Queen of Mountain, gimik Intermediate Sprint dibuat untuk meningkatkan semangat peserta menjalani Cycling de Jabar. Apalagi, ajang ini lebih bersifat tur ketimbang perlombaan. Acara itu dibuat sebagai perintis lomba sepeda rutin di selatan Jawa Barat pada masa-masa berikutnya.
”Gimik King of Mountain dan Queen of Mountain itu ternyata efektif memancing semangat peserta. Mereka tampil habis-habisan untuk menjadi King of Mountain dan Queen of Mountain. Selepas King of Mountain dan Queen of Mountain, mereka pun tetap antusias menyelesaikan kegiatan,” tutur Andi.
Menurut Andi, mereka menyelenggarakan Intermediate Sprint sepanjang KM 71-74 karena hanya jalur itu yang paling steril dan jalannya landai serta mulus. Untuk kawasan lain, sulit mendapatkan situasi benar-benar steril. ”Namun, kami harap peserta tetap menyiapkan diri dengan optimal karena etape kedua lebih panjang. Cuacanya pun bakal lebih panas karena rute sebagian besar berada persis di pinggiran pantai,” ujarnya.