Budidaya Udang, Sejahtera di Tengah Perubahan Iklim
Udang di Jawa Barat selatan lebih dari sekadar komoditas. Keberadaannya menjadi salah satu harapan menjaga ketahanan pangan di tengah perubahan iklim.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI, TATANG MULYANA SINAGA, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA, CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
·5 menit baca
Di bawah sengatan matahari siang itu, Minggu (7/8/2022), Irfan Maulana (24) menyelam di kolam udang PT Nayottama Kelola Laut Indonesia, Tasikmalaya, Jawa Barat. Upayanya menahan napas hingga 30 detik itu demi memastikan udang, inovasi, dan harapan warga sejahtera tetap hidup.
Mengenakan penutup telinga, Irfan belasan kali menceburkan diri ke dasar kolam untuk membuka tutup saluran pembuangan. Tujuannya, agar kotoran sisa pakan tersedot ke instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dan tertangkap jaring. Dengan begitu, kotoran tidak mencemari ke laut.
Sebagai pekerja, ia dituntut menjaga kesehatan udang dan lingkungan setempat. Sebelum masuk tambak, misalnya, Irfan melumuri tubuhnya dengan cairan disinfektan agar tak mencemari kolam. Setelah itu, ia menebar bubuk obat agar udang tidak stres.
Irfan juga rutin memberi pakan ke udang vaname setiap pukul 07.00, 11.00, 14.00, 18.00, dan pukul 22.00. Ia mengukur berat makanan itu. Jika kurang, udang bisa jadi kanibal. Kalau lebih, pakan rentan membunuh udang.
Irfan membudidaya udang seperti menjaga manusia. Alasannya, udang membuat warga Cipatujah, Tasikmalaya, ini kini lebih menikmati hidup. Empat tahun lalu, ia sempat merasakan pahit bekerja jadi anak buah kapal di Jepang.
”Tahun 2019, saya dipulangkan karena sakit di tulang ekor. Kalau tidak (pulang), saya bisa lumpuh,” ujar Irfan, lulusan SMK ini.
Setelah pengobatan enam bulan dengan biaya tak sedikit, kondisi anak pedagang sayur ini membaik. Ia sempat berlayar dari Pati, Jawa Tengah, ke Papua. Juli 2021, ia mendengar PT Nayottama Kelola Laut Indonesia di dekat desanya membuka lowongan kerja.
Meskipun gajinya tidak sebesar gajinya di Jepang, sekitar 7,5 juta per bulan, dia nyaman bekerja di tambak udang. Tidak harus menahan rindu kepada keluarga, Irfan punya banyak ilmu baru tentang budidaya udang ramah lingkungan.
Dinas Kelautan dan Perikanan Jabar mencatat, pada 2021, produksi budidaya udang di provinsi itu mencapai 146.576 ton atau 19,08 persen dari produk nasional. Nilai produksi budidayanya lebih dari Rp 7,5 triliun. Selain di pantura, sentra udang tersebar di Tasikmalaya dan Garut. Ajang balap sepeda, Cycling de Jabar 2022 pada 27-28 Agustus ikut merekam potensi ini.
Di Jabar selatan, potensi budidaya udang sangat besar. Pencemaran air lautnya belum separah pantura. Di Indonesia, rata-rata produksi udang 14-16 ton per hektar. Di pantura Jabar, rata-rata 10-12 ton per hektar. Di selatan, bisa 16-20 ton per hektar.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, potensi itu terbuka dikembangkan. Selain bisa meningkatkan kesejahteraan warga, keberadaannya memaksimalkan ketersediaan lahan. Ia yakin, lewat sejumlah inovasi yang sudah diterapkan, seperti akuakultur dan pakan otomatis, Jabar bisa tetap sejahtera di tengah perubahan zaman.
Wahyudi Sasprihanto, Direktur Operasional PT Nayottama Kelola Laut Indonesia, sepakat inovasi menjadi amunisi menghadapi ragam tantangan, terutama iklim dunia.
Setelah tambak udangnya ikut memulihkan lahan bekas tambang pasir besi, pemberian pakan menjadi hal krusial. Efektivitas harus dijaga. Selain memengaruhi hidup udang, belanja pakan mencapai 63-65 persen dari total biaya produksi. Dia juga menerapkan 15 indikator yang harus dicek berkala, mulai dari suhu, kecerahan, salinitas, hingga oksigen.
Selain itu, ada juga penerapan teknologi recirculating aquaculture system (RAS) menggunakan kolam bundar. Teknologi ini sudah diterapkan di luar negeri dengan sistem di dalam ruangan. Kini, dia tengah memodifikasi kolam dengan memasang naungan untuk meminimalkan dampak perubahan suhu.
Yudi mengatakan, dengan RAS, proyeksi produktivitasnya bisa 3-4 kali lipat dari kolam intensif (kotak). Memang tidak mudah dan tidak murah. Namun, Yudi mengatakan, pihaknya bakal terus belajar dan berinovasi.
”Kami terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar bersama,” katanya.
Berbagi ilmu juga dilakukan di tambak udang vaname Pondok Pesantren Idrisiyyah, Tasikmalaya, berjarak 50 kilometer dari Nayottama. Di atas lahan 10 hektar, tersedia 40 kolam udang.
Semangat Abdan Syukur (27), pekerja di tambak Ponpes Idrisiyyah, saat memasang alat pemberi pakan otomatis atau autofeeder lewat gawai mewakili kebaikan itu. ”Penggunaan autofeeder menghemat tenaga dan meratakan penyebaran pakan,” katanya sembari tersenyum.
Senyumnya bahkan kian lebar saat melihat enam kincir di kolam tambak berukuran 1.200 meter persegi berputar kencang. ”Kincir penting menyuplai oksigen dan memusatkan lumpur agar bergerak ke saluran pembuangan di tengah kolam,” ujarnya.
General Manager Divisi Aquaculture Pesantren Idrisiyyah Muhammad Marwan Hakim menjelaskan, pihaknya menjadi percontohan One Pesantren One Product Jabar. Selain berpotensi meningkatkan ekonomi warga, tambak udang menjadi solusi pemanfaatan lahan telantar bekas tambang pasir sejak 2014.
”Awalnya kami mendapatkan penolakan, tetapi kami tetap mengajak masyarakat agar mereka lebih sejahtera. Dakwah tidak akan lancar jika masih banyak orang yang kelaparan,” ujarnya.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jabar Hermansyah mengatakan, pasar ekspor udang terbuka lebar. Ekspor udang dari Jabar ditujukan ke Spanyol, Italia, Meksiko, Amerika Serikat, Vietnam, Filipina, Thailand, Tiongkok, Hongkong, dan Jepang.
Selain mendampingi petambak yang sudah ada, anak muda harus diperkenalkan dengan potensi itu. Salah satu yang dikembangkan adalah program kolam milenial lewat UPTD Perikanan Air Payau dan Laut Wilayah Selatan (PAPLWS) Jabar.
Kepala UPTD PAPLWS Jabar Ade Kurniasih menyatakan tengah mengembangkan budidaya udang vaname berbasis IT 4.0 melalui kolam bulat berdiameter 20 meter. Pemberian pakan dan pengukuran suhu di kolam itu via ponsel.
”Kolam ini diharapkan menarik minat milenial. Kalau saya ’kolotnial’,” ucapnya tertawa. Kolot dalan bahasa Sunda berarti tua. Tahun ini, Ade bersiap untuk masuk pensiun.
Selain lebih terukur, kata Ade, kolam tersebut diklaim lebih kuat. Ia membandingkan dengan kolam kotak miliknya yang rusak diterpa hujan yang lebih deras tahun ini.
Hasil satu petak kolam bisa 1-1,5 ton udang. Ini setara produksi 30 ton per hektar. Kolam itu juga meminimalisasi pencemaran air karena kotoran tidak tertumpuk di sudut kolam.
Pihaknya bahkan berencana mengembangkan kolam udang diameter 10 meter yang harganya di bawah Rp 100 juta. Ini lebih murah dibandingkan dengan kolam kotak konvensional yang butuh Rp 1 miliar per hektar. Harapannya, semakin banyak yang membudidayakan udang.
Budidaya udang di selatan Jabar potensial menjadi masa depan. Setelah ikut memulihkan lahan bekas tambang pasir besi, keberadaannya bisa menahan dampak perubahan iklim dan menjaga ketahanan pangan manusia.