Ia meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir 2022 dapat mencapai kisaran 5,3 persen hingga 5,9 persen, lebih tinggi daripada proyeksi awal pemerintah di kisaran 5 persen hingga 5,2 persen. Hal ini ditopang keyakinan bahwa konsumsi masyarakat akan terus tumbuh pada paruh kedua tahun 2022.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Teguh Dartanto, pada forum diskusi itu berpendapat, memang terbuka peluang perekonomian Indonesia untuk bertumbuh hingga di atas 5,3 persen tahun 2022. ”Menurut saya, ini ada faktor good policy dan good luck,” ujar Teguh.
Sejumlah variabel untuk menghitung potensi resesi antara lain nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, penjualan kendaraan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), konsumsi semen, ekspor non-migas, dan rasio simpan-pinjam di Tanah Air masih menunjukkan sinyal bahwa ekonomi Indonesia masih ekspansif.
Pada Kamis, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI juga merilis proyeksi bahwa perekonomian Indonesia pada triwulan II-2022 akan tumbuh 5,07 persen atau di kisaran 5,04-5,09 persen. LPEM FEB UI memperkirakan ekonomi Indonesia pada akhir 2022 bisa tumbuh 5 persen.

Berdasarkan survei Bloomberg terhadap para ekonom dunia, tingkat risiko resesi Indonesia hanya 3 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan mayoritas negara di dunia. Sebuah negara dikategorikan rentan menghadapi resesi jika angka risiko mencapai 70 persen.
Di luar hasil survei itu, Airlangga menyebut sejumlah variabel untuk menghitung potensi resesi pada Leading Indicator CEIC antara lain nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, penjualan kendaraan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), konsumsi semen, ekspor non-migas, dan rasio simpan-pinjam di Tanah Air yang masih menunjukkan sinyal ekonomi Indonesia ekspansif.
Ia memproyeksikan kondisi ini akan ditopang pertumbuhan konsumsi masyarakat dan perbaikan kinerja industri manufaktur.
Meski demikian, Hendri Saparini, pendiri Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, yang juga narasumber diskusi ini, mengingatkan, bauran kebijakan fiskal dan moneter saja tak cukup untuk menghalau gejolak eksternal. Gejolak ekonomi global ini sewaktu-waktu bisa menguji soliditas serta stabilitas ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, produktivitas dan kinerja sektor riil sebagai penggerak aktivitas ekonomi perlu dirangsang, terutama untuk memenuhi permintaan domestik.

Ketidakpastian global
Airlangga juga menyoroti ketidakpastian global berpotensi mengganggu stabilitas perekonomian nasional. Salah satunya, tekanan inflasi global yang terkerek tingginya harga komoditas. Kenaikan ini dipicu gangguan rantai pasok yang terus berlanjut selama konflik antara Rusia dan Ukraina belum berakhir.
Selain itu, ancaman perubahan iklim serta belum berakhirnya pandemi Covid-19 turut memperluas kebijakan proteksionisme, terutama di bidang pangan dan energi. Hal ini dapat berimbas pada pelemahan konsumsi nasional.
Untuk itu, lanjut Airlangga, pemerintah, antara lain, menggalakkan intensifikasi pertanian untuk menggantikan pasokan komoditas pangan impor yang mulai menipis akibat proteksionisme. Contohnya, meningkatkan luas tanam sorgum di dalam negeri sebagai pengganti gandum ekspor.
Baca juga: Ekonomi Global Tak Menentu, Investasi Berkualitas Perlu Diraih
Adapun untuk mengantisipasi krisis energi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dijadikan bantalan agar lonjakan harga energi dunia tidak tertransmisi terhadap harga bahan bakar minyak (BBM), elpiji, ataupun tarif dasar listrik. Ini dilakukan dengan cara meningkatkan subsidi energi.
”Sumber inflasi global adalah komoditas pangan dan energi. Dengan menahan lonjakan harga kedua komoditas ini, inflasi domestik akan terkendali. Pemerintah dan Tim Pengendali Inflasi juga akan terus menjaga stabilitas harga bahan pokok di pasar agar tidak turut mengerek inflasi,” kata Airlangga.
Krisis dan risiko resesi yang dialami banyak negara dipicu sejumlah faktor, terutama tidak terkendalinya inflasi dan keterbatasan ruang fiskal sehingga pemangku kebijakan gagal mengendalikan konsumsi.
Terkait dengan hal ini, Teguh Dartanto menyoroti ketahanan ruang fiskal yang banyak tersedot untuk subsidi energi. Terlebih tahun depan defisit fiskal sudah diamanatkan untuk kembali berada di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
”Sudah waktunya bagi pemerintah mengurangi subsidi energi dan lebih mengarahkan penggunaan ruang fiskal untuk penciptaan lapangan pekerjaan agar pemulihan ekonomi yang terjadi lebih nyata dan berkelanjutan,” ujar Teguh.
Ia menambahkan, krisis dan risiko resesi yang dialami banyak negara dipicu sejumlah faktor, terutama tidak terkendalinya inflasi dan keterbatasan ruang fiskal sehingga pemangku kebijakan gagal mengendalikan konsumsi.

Hendri Saparini berharap pemerintah tak hanya terpaku pada bauran kebijakan fiskal dan moneter untuk menghalau imbas resesi bagi perekonomian nasional. Untuk menggulirkan pertumbuhan ekonomi domestik, sektor riil di Tanah Air yang didominasi oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) harus dipastikan tetap bergeliat serta tumbuh.
Mengingat investasi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi nasional nomor dua setelah konsumsi, Hendri mendorong pemerintah terus menggali investasi skala kecil dan menengah. Hal ini merupakan bentuk upaya pengembangan UMKM agar tetap produktif sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan.
”Mendorong investasi skala kecil dan menengah adalah bentuk strategi keluar (exit strategy) dari tekanan resesi yang inklusif dan berkelanjutan. Investasi skala ini sering terlupakan padahal sangat efektif dalam penciptaan pasar dan lapangan pekerjaan,” kata Hendri.
Pertumbuhan investasi skala kecil dan menengah di banyak daerah, lanjutnya, akan memicu industrialisasi skala menengah yang pada akhirnya akan mendorong konsumsi masyarakat. Di Indonesia sendiri, jumlah wirausaha masih di bawah 4 persen dari jumlah penduduk, jauh di bawah negara-negara dengan jumlah penduduk besar, seperti China dan India, yang rasio jumlah wirausaha terhadap jumlah penduduk mencapai 11 persen-12 persen.
Mendorong investasi skala kecil dan menengah adalah bentuk strategi keluar ( exit strategy) dari tekanan resesi yang inklusif dan berkelanjutan. Investasi skala ini sering terlupakan padahal sangat efektif dalam penciptaan pasar dan lapangan pekerjaan.
”Pemerintah perlu memasukkan kebijakan-kebijakan untuk menggerakkan sektor riil. Peluang Indonesia sangat besar karena ditopang bonus demografi,” ujar Hendri.
Selain itu, untuk menghasilkan dampak yang lebih masif, Hendri juga mendorong pemangku kebijakan agar menghubungkan kebijakan-kebijakan yang bertujuan menjaga daya beli dan pertumbuhan konsumsi masyarakat dengan kebijakan yang mendorong geliat pertumbuhan UMKM. ”Misalnya produk-produk untuk bansos hanya boleh menggunakan produk UMKM dalam negeri,” katanya.
Sementara itu, pembicara lainnya, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pengembangan Ekonomi Daerah Mulyadi Jayabaya berpandangan korporatisasi sektor pertanian dapat menjadi daya ungkit pemberdayaan ekonomi masyarakat, sekaligus mencukupi kebutuhan komoditas pangan dalam negeri yang terimbas gangguan rantai pasok global.
Jika korporatisasi sektor pertanian mampu dilakukan secara masif di banyak daerah, peluang untuk swasembada berbagai komoditas pangan akan semakin besar.
”Apa yang diperlukan saat ini adalah meningkatkan kapasitas petani dan pembentukan pasar-pasar baru agar serapan produk pertanian di dalam negeri semakin lancar,” ujar Mulyadi.