“Flexing” NFT Bukan Sekadar Pamer
Ajang "flexing" atau unjuk koleksi kerap dilakukan kolektor non-fungible token (NFT) di media sosial. Ini ternyata bukan sekadar pamer, melainkan bentuk dukungan komunitas NFT pada proyek menarik di jaringan blockchain.
Ajang "flexing" atau unjuk koleksi kerap dilakukan kolektor non-fungible token (NFT) di media sosial. Hal itu ternyata bukan sekadar pamer, melainkan bentuk dukungan komunitas NFT pada proyek-proyek menarik di jaringan blockchain.
Istilah "flexing" dalam bahasa Inggris pada mulanya digunakan untuk otot; flexing atau menekuk siku agar otot bisep makin terlihat.
Kata itu kemudian meluas maknanya menjadi mirip dengan "showing off" atau pamer di media sosial. Berhasil membeli sneakers langka? Tentu langsung flexing di Instagram Story. Punya koleksi mobil sport mewah? Jangan lupa flexing via vlog Youtube.
Kini, flexing NFT menjadi fenomena yang marak di medsos beberapa tahun terakhir. Popularitas itu tumbuh bersamaan dengan makin dikenalnya blockchain dan aset kripto.
Randy Nugraha (40) yang dikenal dengan akun @pixelizen di Twitter, misalnya, menunjukkan koleksi terkini dari "Indonesia dalam 57 Peristiwa" yang diterbitkan Kompas. Dalam unggahannya, Selasa (28/6/2022) lalu, dia memamerkan edisi "Operasi Seroja ke Timor Timur", arsip Kompas tahun 1975, seraya bilang "secara resmi telah memiliki kapsul waktu sejarah," dalam bahasa Inggris.
Tak hanya Randy, tetapi masih banyak lagi kolektor yang berseliweran sambil flexing di medsos.
Layaknya membeli karya seni, NFT para kolektor ini dipajang di akun medsos. Mereka menunjukkan ke khalayak bahwa mereka telah mendapatkan suatu benda digital yang langka dan unik.
Bagi Randy, flexing di medsos adalah bentuk dukungan kolektor terhadap sebuah proyek NFT. Aktivitas ini pun sekaligus menjadi cara dirinya memperkenalkan proyek menarik di blockchain, terutama saat pasar NFT tampak lesu karena penurunan nilai aset kripto.
“Karena bagi saya, proyek (NFT) yang baik itu pantas untuk di-infokan ke audiens. Terutama karena Indonesia masih baru di dunia blockchain dan NFT, faktor edukasi jadi hal yang terpenting,” ujar kreator untuk koleksi bertajuk Spidey Mobs yang dijual di OpenSea ini.
Hendra Maulana, pengurus akun @NFTIndonesia_ yang aktif mendorong kemunculan kreator selama hampir setahun terakhir, memandang, fenomena flexing kian lumrah di berbagai komunitas NFT lokal. Maknanya bisa beragam mulai dari dukungan komunitas. Ada pula yang memang murni sebagai promosi pemasaran proyek.
Meski begitu, menurut Hendra, ajakan untuk mengoleksi NFT tetap harus diimbangi riset mandiri dari pengguna. Para pengguna perlu memastikan kejelasan proyek NFT, mulai dari tujuan, utilitas, hingga siapa orang-orang bekerja di balik proyek tersebut.
"Rekan dari berbagai komunitas selalu menekankan do your own research (DYOR), selalu riset apa saja proyek yang ditawarkan atau ramai-ramai di-flexing orang. Jadi enggak sekadar ikut FOMO, jangan sampai seperti ini juga," jelasnya.
Fasilitas di medsos
Euforia flexing di komunitas ini belakangan difasilitasi berbagai platform medsos. Twitter tampaknya pun memahami hal ini. Twitter memungkinkan pengguna layanan premium Twitter, yakni Twitter Blue, untuk menggunakan NFT berbentuk gambar statis sebagai foto profil pada Januari 2022 lalu.
Akun Twitter yang menggunakan foto profil NFT akan memiliki tanda khusus. Foto profil pengguna akan berbingkai segi enam, berbeda dengan bingkai lingkaran yang digunakan pada umumnya.
Jika foto profil ber-NFT itu diklik, akan muncul informasi yang menandakan kepemilikan aset dari sebuah koleksi NFT; bukan sekadar gambar JPG kartun diunduh dari Google Search.
Sang pembeli yang bisa jadi telah merogoh uang hingga miliaran rupiah untuk sebuah NFT (misalnya, rata-rata harga NFT Bored Ape dapat mencapai 115.000 dollar AS atau Rp 1,7 miliar), tentu ingin memamerkan bahwa ia sungguh membeli NFT bergambar kera kartun itu.
Perusahaan media sosial terbesar, Meta — yang memiliki Facebook dan Instagram — juga ikut ambil bagian dalam mewadahi komunitas NFT untuk flexing.
"Kami melihat ada peluang untuk memberi jalan kepada miliaran pengguna kami untuk bisa mengoleksi barang digital. Termasuk jutaan kreator yang juga bisa menjualnya via platform kami," kata Stephane Kasriel, Head of Commerce and Financial Meta dalam wawancaranya dengan surat kabar Financial Times, Rabu (6/7/2022).
Technical Program Manager Meta Navdeep Singh melalui akun Twitternya pada akhir pekan lalu juga 'membocorkan' mekanisme yang memungkinkan penggunanya untuk mengunggah dan memamerkan koleksi NFT.
"Kami akan segera meluncurkan NFT di Facebook!" tulisnya pada cuitannya yang melampirkan potongan tangkapan layar mekanisme pengunggahan NFT di Facebook.
Dalam gambar tersebut, ditunjukkan bahwa pengguna Facebook akan memiliki laman tambahan bernama "Digital Collectibles" atau benda koleksi digital yang akan menjadi etalase terhadap koleksi NFT mereka.
Selain itu, pengguna juga dapat memamerkan NFT melalui posting atau unggahan biasa. Sebuah label "Digital collectible" akan menyertai unggahan NFT tersebut.
Menarik kembali pengguna
Mengapa Meta ingin mewadahi keinginan kolektor NFT yang gemar flexing? Kasriel mengatakan, dengan memberikan cara bagi kreator untuk bisa memonetisasi karya mereka, diharapkan mereka dapat menarik fans untuk masuk ke dalam platform milik Meta.
Menurunnya jumlah pengguna memang menjadi kekhawatiran besar Meta. Pasca pengumuman kondisi keuangan pada Februari lalu, saham Meta anjlok 25 persen. Dalam laporan itu disebut bahwa jumlah pengguna tidak hanya stagnan namun berkurang, serta pengakuan adanya kompetisi yang berat dari Tiktok.
Bahkan, Kasriel menyebutkan, saat ini Meta sedang mengeksplorasi penggunaan NFT sebagai sebuah skema keanggotaan bagi fans dari seorang kreator.
"Ini semua masih sangat awal. Banyak aspek dari teknologi ini belum siap. Kami siap berinvestasi di bidang ini, namun tetap realistis," kata Kasriel.
Implementasi NFT ke Facebook bukan langkah pertama Meta dalam mengintegrasikan NFT ke platform miliknya.
Sebelumnya, Instagram — anak perusahaan Meta lainnya — pada Mei 2022 ini telah memberikan akses uji coba terhadap sejumlah kreator dan kolektor NFT untuk memamerkan aset mereka di platform berbagi foto dan video tersebut.
"Saya senang sekali bisa membagikan pengalaman NFT saya dengan komunitas yang sudah saya kumpulkan di Instagram selama lebih dari 10 tahun ini. Fitur ini memungkinkan kolektor sebuah karya seni dapat menemukan kembali seniman yang membuatnya," kata Maliha Abidi, dengan akun @maliha_z_art, salah satu seniman visual yang mendapatkan akses uji coba.
Tak hanya Facebook dan Twitter, platform raksasa seperti Youtube pun pada awal tahun ini telah mengumumkan niat mereka untuk masuk ke dunia NFT.
Youtube sedang menjajaki integrasi NFT ke dalam platformnya, meski belum ada bentuk konkret. Namun hal ini diyakini dapat membantu kreator lebih terhubung dengan para fansnya.
"Kami akan selalu berfokus untuk memperluas ekosistem Youtube untuk mengkapitalisasi teknologi baru, seperti NFT," tulis CEO Youtube Susan Wojcicki dalam surat terbukanya.
Waspada "rug pull"
Di sisi lain, di tengah kegemaran flexing NFT, masyarakat juga perlu mewaspadai aksi promosi proyek NFT yang tidak jelas dan berpotensi penipuan.
Pekan lalu, Departemen Kehakiman Amerika Serikat (Department of Justice/DoJ) mengumumkan akan menuntut seorang warga negara Vietnam bernama Le Anh Tuan (26) atas dugaan rug pull sebuah proyek karya seni visual NFT dengan nama "Baller Ape".
Baller Ape adalah sekumpulan aset NFT berbentuk gambar kartun, di mana sebagian besar menampilkan ilustrasi kera. Konsepnya sungguh mirip dengan Bored Ape Yacht Club; koleksi NFT populer yang dimiliki oleh selebritas dunia seperti Shaquille O'Neal, Paris Hilton, Serena Williams, hingga Madonna, dan Neymar Jr.
Rug pull bisa disebut sebagai investasi bodong. Sesaat setelah sejumlah aset NFT Baller Ape terjual, Tuan dan sindikatnya langsung menghilang; menutup laman situs proyek NFT, dan membawa kabur uang investor. Total, sindikat Tuan mendapatkan sekitar 2,6 juta dollar AS atau sekitar Rp 38 miliar.
"Kasus semacam ini menjadi peringatan bahwa para penipu sering bersembunyi di balik buzzword yang trendi; namun pada dasarnya ya mereka hanya penipu," kata Jaksa Tracy L Wilkison, dalam pernyataan tertulis.