Menanti Peran Pemerintah Atasi Problem Juru Parkir Liar
Terganggunya masyarakat dengan keberadaan juru parkir liar ini juga berakar dari pengalaman buruk. Nyatanya, tidak sedikit dari publik yang mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan terkait dengan tukang parkir liar.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS
·4 menit baca
Menyelesaikan persoalan juru parkir liar tidaklah mudah. Meski menjadi ”ladang” rezeki bagi banyak orang, tidak sedikit dari masyarakat yang merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Publik pun berharap pada ketegasan serta peran aktif pemerintah untuk mengurai permasalahan ini.
Persoalan juru parkir liar yang mengganggu ini terekam dalam jajak pendapat Kompas akhir Desember lalu. Hasil survei ini menunjukkan, lebih dari 84 persen masyarakat tidak setuju dengan hadirnya juru parkir liar. Hanya sekitar 15 persen sisanya yang merasa kehadiran juru parkir liar masih dibutuhkan.
Keresahan ini nyatanya dirasakan kalangan masyarakat dari semua lapisan sosial ekonomi. Semua kelas masyarakat sebagian besar sepakat bahwa mereka tidak setuju dengan kehadiran tukang parkir liar. Artinya, terganggunya publik bukan karena masyarakat yang tidak rela atau tidak mampu memberikan upah kepada juru parkir liar, melainkan akibat alasan lain, seperti soal keamanan. Tak jarang terjadi bentrokan karena perebutan lahan parkir.
Contoh lain adalah kasus perusakan dan pembakaran kantor Kepolisian Sektor Ciracas, Jakarta Timur, Desember 2018. Peristiwa tersebut dipicu persoalan sepele yang melibatkan juru parkir sebuah toko swalayan yang berujung pengeroyokan pada pengunjung yang kebetulan anggota TNI.
Ketidaksetujuan masyarakat sebetulnya berakar dari minimnya manfaat yang diberikan juru parkir liar. Alih-alih membantu, nyaris tiga perempat dari publik justru merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Sekitar 14 persen dari masyarakat merasa keberadaan juru parkir liar ini sangat mengganggu.
Bahkan, ada anekdot, juru parkir dianggap seperti jin yang paling menyebalkan di halaman toko swalayan. Pasalnya, mereka tidak tampak saat konsumen tiba dan memarkir kendaraan di halaman swalayan. Namun, selepas konsumen selesai berbelanja, juru parkir itu bisa tiba-tiba muncul. Mirip jin.
Terganggunya masyarakat dengan juru parkir liar ini juga berakar dari pengalaman buruk. Nyatanya, tidak sedikit dari publik yang mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan terkait dengan tukang parkir liar. Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa setidaknya 44 persen dari responden mengaku pernah bermasalah dengan mereka.
Pertengahan Desember tahun lalu, hampir terjadi insiden pemukulan yang dilakukan oleh juru parkir liar kepada seorang wanita karena tak terima dibayar dengan uang koin. Kasus di sebuah minimarket di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat, yang sempat viral di media sosial ini pun mendapat berbagai tanggapan dari netizen. Tak sedikit dari warganet yang mengaku mengalami pengalaman buruk serupa, seperti dicemooh dan menghadapi sikap arogan tukang parkir liar.
Tidak bisa instan
Tak heran masyarakat pun berharap banyak kepada pemerintah soal juru parkir liar ini. Nyaris semua responden dalam survei mengaku setuju bahwa juru parkir harus di bawah pengawasan pemerintah. Hanya sekitar 7 persen saja dari masyarakat yang berpendapat sebaliknya.
Sebetulnya, pemerintah bukannya tidak melakukan apa-apa. Buktinya di berbagai titik, utamanya di jalan protokol di kota-kota besar, pemerintah bisa mengatur perihal parkir yang melibatkan juru parkir resmi. Tak seperti tukang parkir liar, juru parkir resmi ini berada di bawah dinas perhubungan dan diberikan upah oleh negara. Dalam bekerja pun, para juru parkir ini dibantu oleh mesin yang disediakan pemerintah. Maka, ketika masyarakat membayar biaya parkir, uang tersebut akan masuk ke kas pemerintah alih-alih dikantongi para juru parkir.
Namun, pemerintah tidak bisa menyelesaikan persoalan juru parkir liar ini dengan cara yang instan. Di satu sisi, ada indikasi bahwa para juru parkir terafiliasi dengan ormas tertentu. Layaknya organisasi kriminal, mereka berkomplot untuk memalak warga dalam bentuk ”jasa” parkir kendaraan.
Dugaan ini terkonfirmasi dengan pengakuan dari juru parkir liar yang melakukan tindak kekerasan terhadap seorang wanita pada Desember lalu. Setelah dilaporkan dan ditangkap pihak kepolisian, juru parkir liar tersebut mengaku menyetorkan sebagian dari pendapatannya kepada ormas setempat. Dalam konteks ini, pemerasan yang dialami masyarakat bisa saja dilihat sebagai tindak pidana.
Meskipun begitu, pemerintah juga tidak bisa tutup mata dengan mereka yang nekat menjadi juru parkir liar demi mencari sesuap nasi. Mereka yang kesulitan untuk mendapat pekerjaan formal atau informal yang layak, terlebih lagi di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang penuh ketidakpastian. Dalam konteks ini, para juru parkir liar ini tidak bisa hanya dilihat sebagai pelanggar hukum, tetapi juga sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial.
Hal ini menunjukkan bahwa persoalan juru parkir liar bukan hanya persoalan hukum belaka. Selain melakukan aksi penindakan yang sporadis, seperti penyisiran oleh aparat dan menjadikan juru parkir liar tersebut menjadi legal atau berada di bawah naungan pemerintah daerah, penyelesaian persoalan tukang parkir ini juga perlu diselaraskan dengan rencana tata ruang kota. Tanpa adanya pertimbangan di tiga aspek tersebut (hukum, ekonomi dan tata ruang), juru parkir liar akan menjadi persoalan laten yang terus meresahkan masyarakat.