Banyak orang lupa daratan ketika menerima uang dalam jumlah besar. Kemampuan mengelola uang menjadi kunci agar uang tidak cepat habis dan ke depan dapat menjadi sumber penghasilan rutin.
Oleh
JOICE TAURIS SANTI
·3 menit baca
Pekan lalu kembali tersiar kabar tentang nasib para petani di Tuban, Jawa Timur, yang menjual tanahnya kepada Pertamina untuk dibangun kilang. Sebagian mengeluhkan uang hasil penjualan tanah yang sudah habis. Padahal, mereka sudah tidak memiliki lahan lagi untuk digarap.
Tahun lalu, para petani Tuban itu bak ketiban durian runtuh. Tiba-tiba mendapat ”uang kaget” miliaran rupiah hasil penjualan tanah. Sayangnya, literasi keuangan yang rendah membuat mereka tidak mampu mengelola uang tersebut. Jangankan bicara soal investasi, masuk ke kantor bank ber-AC pun barangkali sebagian dari mereka belum pernah.
Situasi seperti yang dialami petani Tuban itu tidak sedikit juga dialami pekerja kantoran. Ketika memperoleh uang dalam jumlah besar, misalnya dari paket pesangon yang jumlahnya signifikan (golden handshake) ataupun pensiun normal, orang lupa bahwa uang dalam jumlah besar itu bukan merupakan pendapatan tetap yang mereka terima setiap bulan.
Uang sebesar itu hanya diterima satu kali saja. Sebaliknya, pengeluaran untuk hidup sehari-hari selalu berulang. Kebutuhan makan, membayar tagihan listrik, atau membayar tagihan kredit selalu muncul setiap bulan. Belum lagi pengeluaran dadakan atau pengeluaran dalam jumlah besar, seperti membayar uang pangkal sekolah.
Idealnya, dana dalam jumlah besar itu dikelola dengan baik agar dapat menjadi modal untuk menghasilkan uang lagi. Uang hasil kelolaan inilah yang akan menjadi penghasilan tetap setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan bulanan.
Misalnya, petani Tuban atau pekerja mendapat pesangon sebesar Rp 2,5 miliar. Dia menghabiskan Rp 300 juta untuk membangun rumah dan pergi berwisata ke tempat impiannya. Sejumlah Rp 200 juta lainnya dibelikan tanah untuk digarap. Sisanya sebesar Rp 2 miliar ditempatkan pada obligasi pemerintah seri FR0076 yang memberikan imbal hasil sebesar 7,375 persen per tahun sampai tahun 2048.
Walaupun harganya sudah di atas par, sekitar 103 persen, obligasi ini layak dipertimbangkan. Tingkat suku bunganya masih jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat suku bunga saat ini. Selain itu, penjaminan pemerintah atas pokok dan bunganya pun membuat hati tenang.
Dengan asumsi harga obligasi 100 persen, dana sebesar Rp 2 miliar akan mendapatkan imbal hasil sebesar Rp 147,5 juta belum dipotong pajak sebesar 10 persen. Jika dikurangi dengan pajak akan didapatkan Rp 132,75 juta.
Jika dibagi 12 bulan, setiap bulan akan didapatkan bunga sebesar Rp 11 jutaan. Kupon obligasi FR diberikan satu tahun dua kali sehingga diperlukan keterampilan juga untuk mengelolanya agar setiap bulan memberikan tambahan penghasilan.
Apakah penghasilan ini cukup? Tentu sangat tergantung dari situasi setiap orang, seperti gaya hidup. Faktor lain adalah keterampilan dalam berinvestasi. Semakin tinggi pemahaman dan keterampilannya, semakin tinggi kesempatan seseorang untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi lagi.
Modal berbanding terbalik dengan keterampilan. Semakin rendah keterampilan, semakin tinggi modal yang diperlukan. Dari contoh di atas, modal Rp 2 miliar yang ditempatkan pada obligasi yang berisiko rendah akan memberikan imbal hasil 7,375 persen per tahun.
Penyesalan petani di Tuban yang kurang dapat mengelola uangnya dapat menjadi pelajaran karena situasi seperti ini dapat menimpa siapa saja.
Dengan keterampilan yang lebih tinggi lagi, seseorang yang sudah piawai melakukan trading saham, misalnya, mampu menghasilkan imbal hasil sebesar 1 persen setiap bulan secara konsisten. Katakan dalam satu tahun dia dapat menghasilkan 10 persen. Maka, dengan modal yang sama sebesar Rp 2 miliar, akan diperoleh penghasilan Rp 200 juta per tahun atau Rp 16,6 juta per bulan dari kemahirannya mengelola risiko dalam trading saham.
Penyesalan petani di Tuban yang kurang dapat mengelola uangnya dapat menjadi pelajaran karena situasi seperti itu dapat menimpa siapa saja, termasuk kelas menengah perkotaan yang semestinya lebih melek literasi keuangan karena cukup terpapar berbagai informasi.