Komnas HAM dan Polda Sumut Ungkap Kekerasan Pemicu Kematian di Panti Rehab Bupati Langkat
Komnas HAM dan Polda Sumut menemukan dugaan tindakan kekerasan yang menyebabkan kematian di panti rehabilitasi narkoba di rumah pribadi Bupati Langkat Terbit. Masih didalami keterlibatan Bupati dalam kekerasan itu.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Kepolisian Daerah Sumatera Utara menemukan dugaan kekerasan yang menyebabkan orang meninggal di panti rehabilitasi narkoba tidak resmi di rumah pribadi Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin. Sedikitnya ada dua korban meninggal dalam setahun ini. Masih didalami apakah Terbit terlibat dalam kekerasan itu atau tidak.
"Kami temukan informasi yang sangat solid tentang kekerasan yang menyebabkan orang meninggal di panti rehab di rumah pribadi Bupati Langkat," kata Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Mohammad Choirul Anam di Medan, Sumatera Utara, Sabtu (29/1/2022). Anam menyampaikan temuan itu bersama Kepala Polda Sumut Inspektur Jenderal RZ Panca Putra Simanjuntak.
Penyelidikan dugaan kekerasan itu dilakukan setelah ditemukannya dua ruangan serupa rumah tahanan di rumah pribadi Terbit. Ruangan yang dihuni sekitar 48 penyalah guna narkoba itu ditemukan ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah terkait operasi tangkap tangan kasus korupsi Bupati Langkat, Rabu (19/1/2022).
Anam mengatakan, mereka telah mewawancarai para penghuni panti rehab, keluarga penghuni, keluarga korban meninggal, pengelola, warga, dan pihak terkait lainnya. Komnas HAM pun menemukan pola, waktu, infrastruktur, dan alat dalam tindak kekerasan itu.
"Konteks kekerasannya, orangnya, caranya, dan siapa saja yang menyaksikan tindakan kekerasan yang menyebabkan orang meninggal dunia itu kami temukan," kata Anam.
Anam menyebut, kekerasan dilakukan sangat intens khususnya terhadap penghuni yang baru masuk. Mereka pun ditempatkan di kereng 1, terpisah dari kereng 2 yang dihuni orang yang lebih senior. Semakin lama mereka menghuni panti, semakin berkurang kekerasan yang dialami.
Anam mengatakan, mereka menyebut panti itu sebagai ruangan serupa rumah tahanan yang digunakan untuk rehabilitasi pencandu narkoba. "Hampir semua keluarga yang kami tanya menyebut kalau mereka memasukkan anggota keluarganya (ke panti itu) memang untuk penyembuhan dari kecanduan narkoba," katanya.
Soal adanya dugaan perbudakan, kata Anam, Komnas HAM belum bisa mengambil kesimpulan. Beberapa yang dipekerjakan mendapat upah, beberapa orang lainnya tidak. Namun, semua yang masuk ke panti rehab itu tidak ada dengan tujuan mencari kerja.
"Alasan utama mereka karena biaya di panti rehab resmi mahal, Rp 2 juta-Rp 5 juta per bulan," kata Anam.
Beberapa keluarga, kata Anam, juga menyebut merasakan manfaat dari panti rehab itu. Hal itu karena ada yang akhirnya bisa keluar dari jerat narkoba.
Panca mengatakan, penyelidik dari Polda Sumut juga menemukan fakta yang sama. "Yang paling utama adalah hilangnya nyawa orang. Ini konsen kami. Ini harus ada yang bertanggung jawab," katanya.
Panca menyebut, mereka melakukan penyelidikan secara terpisah dari Komnas HAM. Korban kekerasan hingga meninggal yang mereka selidiki adalah korban yang berbeda dengan yang diselidiki Komnas HAM. Namun, untuk kepentingan penyelidikan, belum bisa disebutkan berapa korban dan siapa identitasnya.
Panca juga menyebut, mereka menemukan fakta yang cukup jelas tentang dugaan kekerasan, termasuk menemukan di mana korban dikuburkan.
Berdasarkan berkas perjanjian keluarga dengan pengelola panti yang ditemukan, Panca menyebut sedikitnya sudah 656 orang yang menjalani rehab di sana sejak 2010. Polda Sumut pun akan menyelidiki siapa yang bertanggung jawab terhadap tindak kekerasan itu, termasuk mendalami keterlibatan Terbit.
"Siapa pun yang harus bertanggung jawab terhadap kasus kekerasan ini akan kami tindak," kata Panca.
Secara terpisah, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebut ada dugaan tindak pidana perdagangan orang dan perampasan kemerdekaan di panti rehabilitasi narkoba Terbit. Menurut LPSK, panti rehab itu lebih cocok disebut sebagai rumah tahanan ilegal karena memberlakukan penghuni serupa tahanan. Mereka juga menggunakan istilah seperti di rutan atau lembaga pemasyarakatan, seperti tahanan, kepala lapas, dan kereng.
"Di sisi lain, penghuni rutan ilegal dan keluarga mereka tidak merasa menjadi korban. Ini kemungkinan karena pelaku bukan orang biasa, tetapi penguasa daerah yang kini menjadi bupati," kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu.