Kekalahan dan Keberkahan Heri Dono
Ketika memaknai diri sebagai orang kalahan, Heri Dono menjalani hidup sebagai seniman yang tiada henti untuk bangkit. Ia membangkitkan gairah demi melahirkan pemikiran baru.
Kekalahan menjadi suatu keberkahan bagi seniman Heri Dono (61). Bahkan, lelaki kelahiran Jakarta ini menabalkan diri sebagai orang ”kalahan”, orang yang terus-menerus memilih kalah dan menetap di sebuah studio yang dinamai Studio Kalahan di Yogyakarta.
”Orang kalahan itu orang yang kalah tidak hanya satu kali waktu, tetapi kalah terus-menerus. Orang kalahan itu orang yang tidak ingin menang,” ujar Heri Dono dalam suatu perbincangan melalui telepon, Selasa (25/1/2022) pagi di Yogyakarta.
Kekalahan juga berarti sebuah kegagalan. Kalau tidak ada kegagalan, tidak akan melahirkan daya kreativitas, tidak akan melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Kalau saja suatu kali menang atau dimenangkan untuk suatu penghargaan tertentu, Heri Dono tidak lama menikmatinya. ”Kalau menang, bagi saya cukup 5 menit untuk menikmatinya,” ujar Heri, yang sejak kecil begitu menyukai film kartun hingga banyak memengaruhi bentuk figur di dalam setiap karya seni rupanya hingga kini.
Ketika memaknai diri sebagai orang kalahan, Heri Dono menjalani hidup sebagai seniman yang tiada henti untuk bangkit. Ia membangkitkan gairah demi melahirkan pemikiran baru. Syukur-syukur pemikiran baru itu berguna bagi masyarakat. Menjadi orang kalahan juga bukan demi strategi untuk menjadi pemenang berikutnya.
Keberadaan Studio Kalahan juga memberi arti tersendiri. Studio Kalahan menjadi tempat untuk menghasilkan pemikiran baru demi kemuliaan hidup masyarakat.
Heri Dono mengenyam studi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta antara 1980-1987. Ia dengan sengaja memilih tidak menuntaskan pendidikannya. Ini sama halnya dengan pilihan hidupnya untuk tidak menjadi menang karena menang berarti selesai. Menang tidak lagi memberi ukuran yang harus terus diperjuangkan. Ia memilih kalah di jalur pendidikan formal. Ia mulai banyak menempuh residensi berkesenian di beberapa negara. Kekalahan Heri Dono akhirnya menjadi keberkahan tersendiri. Ia mulai masuk ekosistem seni rupa kontemporer global.
Perjalanannya cukup jauh. Belum lama ini, Galeri Nasional Indonesia meluncurkan sebuah film dokumenter tentang Heri Dono yang diberi judul Heridonology, 14 Desember 2022. Film ini ditayangkan pula di Kanal Budaya Indonesiana yang dikelola Direktorat Jenderal Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 2 Januari 2022.
Pada saat peluncuran film itu, Galeri Nasional Indonesia menyertakan catatan bahwa Heri Dono selama ini telah berpartisipasi pada lebih dari 300 pameran dan 35 bienial seni rupa internasional.
Beberapa waktu lalu, sejumlah 13 film dokumenter tentang Heri Dono juga diproduksi Galeri Srisasanti milik St Eddy Prakoso di Yogyakarta. Pembuatan film dokumenter itu melibatkan tim produksi Mes 56 dan Studio Kalahan.
Salah satu filmnya yang berjudul, The Enigma of HeDonism, meraih penghargaan sebagai film terbaik dalam Festival Film Dokumenter 2021. Sebanyak 1 film dokumenter dan 12 video pendek diluncurkan saat pembukaan pameran tunggal seni dan arsip Heri Dono di Galeri Srisasanti yang bertajuk, Phantasmagoria of Science and Myth, 15 Oktober 2021 sampai 16 Januari 2022.
Rajin mengarsip
Bagi Hari Dono, seni rupa kontemporer itu satu sikap seniman yang mengerti kedalaman tentang kebenaran ataupun kode-kode yang bisa terbaca secara benar. ”Namun, seniman melakukan kesalahan dengan sengaja untuk tidak masuk ke wilayah itu,” ujar Heri Dono.
Semakin melakukan kesalahan dengan sengaja, itu berarti semakin keluar dari wilayah-wilayah konvensional. Inilah pilihan sikap Heri Dono. Di dalam film Herdonolgy ada kesaksian dari ibunya, Suwarni (89), kurator seni rupa Jim Supangkat, teman kuliah dan pendiri Rumah Seni Cemeti Nindityo Adipurnomo, Kepala Galeri Nasional Indonesia Pustanto, dan Manajer Studio Kalahan Agni Saraswati.
Suwarni menceritakan masa-masa kecil Heri Dono yang suka sekali menggunting-gunting gambar dari suatu majalah. Guntingan gambar itu lalu ditempel-tempel di tembok rumah. Tentang mendiang ayahnya, Sahirman, yang meninggal pada 23 Desember 2004, tidak banyak disinggung di film itu atau film-film lainnya.
Heri Dono pernah berceritera tentang ayahnya yang bekas pasukan pengawal Presiden Soekarno, Cakrabirawa. Ayahnyalah yang membawakan mesin ketik untuk Soekarno sewaktu membuat Surat Perintah 11 Maret 1966, yang kemudian dikenal sebagai Supersemar. Ini menjadi perjalanan hidup yang politis dan mungkin masih dianggap sensitif untuk disinggung.
Komentar teman semasa kuliahnya, Nindityo Adipurnomo, juga menarik. Menurut dia, selama kuliah, Heri Dono membuat karya yang selalu tidak disukai dosen.
Kurator Jim Supangkat di dalam film itu memberikan komentar tentang karya Heri Dono yang tidak mengikuti selera pasar. Karya Heri Dono pun menjadi tidak mudah laku.
Tahun 1980-an, lanjut Jim Supangkat, karya Heri Dono menjadi karya seni rupa kontemporer. Akan tetapi, dunia seni rupa kontemporer belum banyak dikenal di Indonesia. Padahal, seni rupa kontemporer saat itu sudah terjadi di Eropa dan Amerika Serikat.
Di dalam berkarya, Heri Dono banyak menyertakan narasi unsur seni tradisional, seperti wayang kulit di Jawa. Ia pun mengembangkan kritisisme membenturkan antara yang tradisional dan modernitas Barat. Tidak sulit untuk melacak arsip tentang benturan seperti itu. Misalnya, dari sebuah kertas dengan coretan tangan Heri Dono dituliskan, wayang sebagai animasi dan animisme. Kemudian di antara animasi dan animisme itu disebutnya equal atau setara. Ini mengisyaratakan pemikiran Heri Dono tentang kebudayaan tradisional dan modern itu sesungguhnya setara.
Manajemen karya Heri Dono sejak awal berkarya sudah menempuh sebagian besar esensi sebuah manajemen bagi seorang seniman. Ia setia dalam mengumpulkan dan merawat arsip tentang pemikirannya yang dituangkan sebagai coretan-coretan di atas kertas, ataupun yang berakhir menjadi karya-karya seni rupa dua dimensi, tiga dimensi, dan seni instalasi.
Manajemen karya
”Manajemen karya sangat penting bagi seorang seniman. Persoalannya, seniman sering terjebak hanya pada manajemen pemasaran,” ujar Heri Dono, yang pernah menerima Anugerah Adhikarya Rupa dari Pemerintah Indonesia pada 2014.
Manajemen pemasaran memang penting dari sisi finansial. Ini menunjang keberlanjutan seniman untuk berkarya. Manajemen pemasaran juga penting untuk kesejahteraan seniman.
Soal kesejahteraan seniman, ternyata Heri Dono mempunyai pendekatan lain. Kesejahteraan dari sudut pandang material tidak akan pernah terhenti kecukupannya. Ia menggeser pemaknaan kesejahteraan itu suatu keberkahan. Ia mencontohkan, orang-orang pedalaman yang tidak memiliki uang itu memiliki keberkahan, bukan kesejahteraan seperti yang dicari manusia modern.
Baca Juga: Zona Gelisah Wayan Sunarta
Seniman tidak punya uang, menurut dia, ternyata menjadi makin kreatif. Uang mengganggu kreativitas. Dengan menggenggam uang banyak, sesuatu yang tidak harus dibeli, akhirnya ingin dibeli.
Walaupun demikian, seniman harus mampu mengatasi persoalan uang. Ketika berkarya dan bisa memiliki uang cukup, Heri Dono mengutamakan kepentingan untuk memiliki studio.
Heri teringat pada 2001, ketika mengantongi uang Rp 400 juta dari jerih payahnya sendiri, ia berniat memiliki studio. Ia lalu membeli sebidang tanah seluas 2.000 meter persegi yang kini menjadi Studio Kalahan. Sebelum itu, ia pergi ke pemiliknya dengan naik sepeda, hingga pemiliknya waktu itu tidak begitu percaya. ”Kebahagiaan seniman bukan karena memiliki uang, melainkan bisa makin mendalami dan melompati tantangan-tantangan menuju tahapan yang lebih tinggi,” ujarnya.
Itulah keberkahan Heri Dono.
Heri Dono
Lahir: Jakarta, 22 Juni 1960
Pendidikan:
- Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1980-1987)
- Belajar seni wayang kulit dari tokoh Sukasman di Yogyakarta (1986-1988)
- Program Pertukaran Seniman Internasional Cristoph Merian Stiftung, Basel, Swiss (1990-1991)
- Residensi seniman di sejumlah negara
Penghargaan:
- Dutch Prince Clause Award for Culture and Development (1998)
- UNESCO Prize (2000)
- Anugerah Adhikarya Rupa dari Pemerintah Indonesia (2014)