Menyampaikan suara penulis adalah tujuan sebuah prosa. Prosa bertema penuaan bisa dilihat sebagai ajakan untuk mengamati dan mengenali kehidupan para lansia lebih dini.
Oleh
ANINDITA S THAYF
·4 menit baca
Tanpa kita sadari, dunia tempat hidup kita kian bertambah tua. Bersamanya, populasi penduduknya ikut pula menua dalam jumlah yang semakin besar. Jika populasi yang menua adalah fenomena global, maka menua adalah kepastian individual.
Kendati demikian, kehadiran buku-buku yang bercerita tentang kehidupan usia senja cukup jarang. Sepertinya, menulis tentang hari tua masih dipandang sebagai pilihan yang ke sekian oleh para penulis. Jadilah rak-rak toko buku didominasi oleh buku-buku pembawa semangat dan impian masa muda.
Sebaliknya, buku-buku yang khusus memberikan panggung kepada tokoh sepuh sangat sedikit. Seolah melupakan bahwa masa tua adalah masa depan manusia, masa depan terjauh yang diinginkan pembaca hanyalah kehidupan di kota-kota futuristik atau luar angkasa yang diinvasi. Sejumlah pembaca juga lebih senang bersua dengan perang atau wabah akhir zaman ketimbang orang-orang tua dalam fiksi.
Adapun bagi para penulis muda, penuaan dalam fiksi, jikapun hadir, lebih sebagai penyemarak cerita yang muncul sebentar. Dalam semesta kreatif penulis golongan ini, tokoh lanjut usia (lansia) dianggap tidak sanggup menanggung semangat eksperimen dan gelora jiwa muda mereka. Para penulis jelang paruh baya pun cenderung lebih senang bermain-main dengan romansa masa muda atau obsesi masa lalu.
Apa yang sebenarnya terjadi di balik kecenderungan ini?
Tabu yang dihindari
Seorang editor penerbitan pernah berpendapat bahwa memasukkan adegan kematian ke dalam buku cerita anak-anak sebaiknya dihindari. Apabila terpaksa, adegan itu mesti disamarkan sedemikian rupa demi “menjaga” perkembangan psikis pembaca kecilnya. Bagaimana dengan pembaca dewasa? Alih-alih lebih berani, semakin dewasa seseorang justu semakin takut dia menghadapi ancaman kematian, terutama yang diundang oleh usia senja.
Mudah untuk berpikir bahwa kematian masih jauh sehingga tidak perlulah ia diperhatikan. Namun, fakta bahwa usia manusia bertambah tua seiring tahun yang berganti adalah sesuatu yang mengganggu. Di hadapan penuaan, sebagian besar orang menjadi lebih defensif.
Proses alamiah ini sudah jelas berujung pada kematian. Segala hal yang berhubungan dengan hari tua pun dianggap sebagai pengingat batas usia manusia. Jadilah ia sebuah momok. Sesuatu yang tabu; terlarang untuk didekati, dibicarakan dan disentuh. Alhasil, masyarakat memperlakukan para sepuh layaknya pohon keramat berkekuatan supernatural yang membawa kutukan. Siapa pun yang berada terlalu dekat dengannya diyakini akan bisa mencium aroma kematian.
Segala hal yang berhubungan dengan hari tua pun dianggap sebagai pengingat batas usia manusia. Jadilah ia sebuah momok.
Marginalisasi orang tua merupakan hasil konstruksi sosial dan budaya. “Karena penuaan pada akhirnya adalah tentang konstruksi manusia tentang makna hidup dan waktu,“ ungkap ahli gerontologi, Mike Hepworth, dalam Stories of Ageing (2000). Sikap ini terbawa hingga ke dunia fiksi.
Salah satu gagasan yang dihindari oleh sebagian besar pembaca, juga penulis, adalah hari tua. Seorang tokoh lansia dianggap mesti akan membuyarkan fantasi tentang keabadian, kekuatan, dan kemapanan manusia. Cerita tentang lansia juga dinilai akan membawa kemuraman yang tidak menyenangkan.
Suara hari tua
“Aku lupa betapa rentanya kami, lupa segalanya. Kukira masih banyak waktu untuk mengeluh dan merana,” demikian Nancy, seorang tokoh perempuan berusia 71 tahun, menyuarakan isi hatinya dalam cerpen Dolly. Cerpen ini tersisip dalam buku antologi cerita-cerita pendek Dear Life (2012) yang diterbitkan pertama kali kala penulisnya, Alice Munro, berusia 81 tahun. Sastrawan peraih Nobel Sastra 2013 ini memang kerap membagikan suara-suara hari tuanya dalam bentuk prosa. Dia seolah hendak mengingatkan, baik kepada dirinya sendiri maupun pembacanya, bahwa kehidupan adalah serentang waktu yang terbatas.
Menua merupakan tahap kehidupan. Ironisnya, tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana persisnya kehidupan pada masa itu hingga tiba waktunya dia sendiri berdiri di sana. Berbeda dari masa remaja atau kehidupan pernikahan yang memiliki banyak buku contekan tentang cara menjalaninya, proses menua jauh lebih kompleks, subyektif, dan tertutup. Itulah mengapa hanya ada sedikit suara yang mewakili kehidupan pada tahap itu, apalagi yang mampu menjelaskannya secara jernih. Jikapun ada, suara itu hanya akan didengarkan dengan keengganan seorang cucu menyimak cerita kakek-neneknya. Pada titik ini, prosa bisa dilihat sebagai cermin untuk mengenali apa yang bakal kita jelang.
Menyampaikan suara penulis adalah tujuan sebuah prosa, entah itu novel, cerpen, ataupun puisi. Suara tersebut merepresentasikan sekian banyak hal, termasuk pengalaman dan pengamatan si penulis atas dirinya dan lingkungannya. Prosa bertema penuaan bisa dilihat sebagai ajakan untuk mengamati dan mengenali kehidupan para lansia lebih dini. Karena sesungguhnya proses penuaan berkaitan dengan banyak perubahan fisik, mental, dan sosial yang terjadi secara drastis dan jauh dari kata “menyenangkan.”
Lewat prosa, kita bisa belajar memahami apa yang dirasakan oleh ibu atau ayah kita yang sudah sepuh. Merenungkan kembali alasan di balik keengganan kita bertatap muka dengan mereka terlalu sering, apalagi menghabiskan waktu bersama. Melihat prosa bertema demikian sebagai penambah bekal perjalanan hidup kita tentang suatu masa dimana kerentanan, keterasingan dan kesepian adalah sesuatu yang mustahil dihindari.
Tidak ada satu pun manusia yang bisa mengendalikan penuaan dan kematian. Apa yang bisa kita kendalikan hanyalah cara kita memandang kehidupan. Bahwa siap atau tidak, tumbuh dewasa berarti berjalan menuju senja kala: bagian hari yang paling indah dan mengesankan sebelum gelap datang bersama malam.