Mengapa Ilmuwan Arab Sukses di Barat, tetapi Gagal di Dunia Arab...
Banyak kisah sukses warga Arab sebagai ilmuwan, pengusaha, atau politisi di negara-negara luar Arab. Akan tetapi, di bidang pengetahuan, kesuksesan mereka tak berbanding lurus dengan ilmuwan dunia Arab saat ini.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·6 menit baca
Kini, banyak kisah tentang kesuksesan luar biasa para ilmuwan, pengusaha, dan politisi Arab atau keturunan Arab di Barat, mulai dari Amerika Utara, Eropa, hingga Amerika Latin. Kesuksesan warga Arab di mancanegara tersebut mengingatkan kejayaan bangsa Arab dan dunia Islam pada abad ke-7 hingga 14 M. Kesuksesan kala itu membawa dunia Arab menjelma menjadi wilayah paling maju. Kota-kota besar di dunia Arab, seperti Baghdad, Damaskus, Kairo, dan Cordoba (Spanyol), dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan.
Al-Battani (858–929 M) dikenal sebagai peletak dasar ilmu astronomi sehingga disebut bapak ilmu astronomi. Kemudian Al-Farabi (870–950 M) dikenal sebagai ahli di bidang filsafat, logika, fisika, ilmu alam, dan ilmu kedokteran. Begitu pula Ibn Sina, yang di dunia Barat dikenal nama Avicenna (980–1037 M), adalah peletak dasar ilmu kedokteran sehingga disebut sebagai bapak ilmu kedokteran. Lalu Ibn Khaldun (1332–1407 M) adalah peletak dasar ilmu sosiologi sehingga disebut bapak ilmu sosiologi.
Akan tetapi, ironisnya bahwa kesuksesan ilmuwan Arab di Barat itu tidak berbanding lurus dengan kondisi ilmuwan Arab di negara mereka masing-masing. Kisah bangsa Arab saat ini adalah kisah keterpurukan. Para ilmuwan Arab di dunia Arab seperti mati suri. Tidak ada lagi karya-karya monumental tentang berbagai disiplin ilmu yang lahir di dunia Arab. Singkat kata, ilmu pengetahuan tidak berkembang di dunia Arab saat ini.
Tidak berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Arab saat ini selaras dengan teori ilmuwan politik, yang juga guru besar pada San Diego State University, Amerika Serikat, Ahmet T Kuru, dalam bukunya berjudul Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment: A Global and Historical Comparison, yang terbit pada 2019. Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan pada Desember 2020 oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Otoritarianisme yang berkembang di dunia Arab dan Islam, menurut Kuru, adalah faktor utama mundurnya dunia Arab dan Islam dalam beberapa abad terakhir ini. Ketiadaan independensi ilmuwan dan kaum saudagar Arab serta terjadinya aliansi ilmuwan atau saudagar dengan kekuasaan selama beberapa abad terakhir ini menjadi penyebab utama mundur dan tidak berkembangnya berbagai disiplin ilmu di dunia Arab.
Fenomena itu berbalik dengan situasi di dunia Barat saat ini yang sangat menjunjung independensi para ilmuwan dan pengusaha, serta adanya pemisahan yang tegas antara agama dan negara. Para ilmuwan Arab yang hidup di lingkungan dunia Barat saat ini bisa berkembang, bahkan bisa meraih penghargaan Nobel.
Di antara para ilmuwan Arab yang berjaya di Barat adalah ilmuwan asal Palestina, Munir Nayfeh (76), yang dikenal sebagai pioner dalam nanoteknologi. Nayfeh meraih gelar pendidikan S-1 dan S-2 dalam bidang fisika dari Universitas Amerika di Beirut (AUB), Lebanon, pada 1968 dan 1970. Kemudian, ia meraih gelar doktor (S-3) di Universitas Stanford, AS, pada 1974. Ia lalu menetap di AS dan pada 1977 mengajar di Universitas Yale. Mulai tahun 1978, Nayfeh mengajar di Universitas Illinois, Urbana. Ia juga pendiri NanoSi Advanced Technology Inc.
Ada pula ilmuwan asal Mesir, Mostafa el-Sayed (88), yang kini hidup di Amerika Serikat. Ia meraih gelar pendidikan S-1 di bidang kimia di Universitas Ain Shams, Mesir, pada 1953, kemudian meraih gelar doktor (S-3) dari Universitas State Florida di bidang kimia. Sejak tahun 1961, ia mengajar di Universitas California di Los Angeles (UCLA).
Sayed juga mantan Pemimpin Redaksi The Journal of Physical Chemistry (1980-2004). Pada 1980, ia terpilih sebagai anggota The National Academy of Sciences di AS. Pada 1989, ia mendapat Tolman Award dan pada 2002 meraih Irving Langmuir Award dalam bidang kimia.
Ada lagi ilmuwan asal Suriah, Shadia Habbal. Ia meraih gelar pendidikan S-1 dari Universitas Damaskus di bidang fisika dan matematika, lalu gelar S-2 dari Universitas Amerika di Beirut (AUB) di bidang fisika dan S-3 dari Universitas Cincinnati, AS, di bidang fisika. Ia mengajar bidang fisika di Universitas Wales dan Universitas Harvard pada periode 1995-2000. Ia kini menjadi profesor di Universitas Hawaii, AS.
Habbal juga anggota lembaga The National Center for Atmospheric Research (1977-1978). Pada 2002, ia ditunjuk sebagai editor di The Journal of Geophysical Research, Space Physics Section. Selain itu, Habbal adalah anggota American Astronomical Society, the International Astronomical Union, the Hawaii Institute for Astronomy, dan the Royal Astronomical Society.
Ada juga ilmuwan asal Maroko, Rachid Yazami (68), pakar kimia yang berjaya di Perancis. Ia meraih gelar pendidikan S-1 di bidang kimia dari Universitas Rabat, Maroko, kemudian meraih gelar S-2 dan S-3 di bidang kimia dari Institut Teknologi Grenoble, Perancis, pada 1985. Ia sempat bekerja sebagai peneliti di pusat riset nasional Perancis dan ditunjuk sebagai direkturnya pada 1998. Selain itu, ia juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Tokyo, Jepang.
Sejak tahun 2000 hingga 2010, Yazami pindah ke AS dan bekerja sebagai peneliti pada Institut Teknologi California. Sejak tahun 2010, ia pindah ke Singapura dan bekerja sebagai profesor tamu pada Universitas Teknologi Nanyang (NTU).
Dari Mesir, ada lagi ilmuwan Sherif el-Safty, pakar kimia yang berjaya di Jepang. Ia meraih gelar pendidikan S-1 di bidang kimia dari Universitas Tanta, Mesir, kemudian meraih S-2 dan S-3 pada Universitas Southampton, Inggris, di bidang kimia pada 2000. Ia sempat mengajar di Universitas Southampton. Sejak tahun 2008, Safty pindah ke Jepang dan bekerja sebagai peneliti pada Institut Nasional Material Sains (NIMS) dan profesor pada Universitas Waseda.
Yang tak bisa dilupakan juga, ada almarhum Ahmed Zewail yang meraih hadiah penghargaan Nobel di bidang kimia pada 1999. Zewail lahir pada 1946 dan meninggal di Pasadena, California, AS, 2 Agustus 2016, dalam usia 70 tahun. Ia meraih gelar pendidikan S-1 dan S-2 di bidang kimia dari Universitas Alexandria dan S-3 di bidang kimia dari Universitas Pennsylvania. Sebagian besar karier Zewail sebagai direktur pada Pusat Fisika Biologi pada Institut Teknologi California.
Ada juga ilmuwan asal Mesir, Magdi Yacoob (87), yang berjaya di Inggris dan AS. Yacoob dikenal sebagai dokter spesialis jantung dan ahli bedah. Ia alumnus Universitas Kairo, pernah bekerja sebagai ahli bedah di Rumah Sakit Universitas Chicago dan Imperial College London. Ia meraih berbagai penghargaan dari pelbagai institusi kedokteran kelas dunia, seperti Royal College of Physicians tahun 1988, The Texas Heart Institute tahun 1992, The Eoropean Society of Cardiology tahun 2006, dan The Royal College of Surgeons tahun 2015.
Di Amerika Latin terdapat sekitar 15 juta imigran Arab. Para imigran Arab tercatat meraih kesuksesan di berbagai bidang profesi di Amerika Latin, seperti Brasil, Chile, dan Argentina.
Ada Michele Temer, warga keturunan Lebanon yang menjadi presiden Brasil pada 2016-2018. Ada Carlos Menem yang keturunan Suriah dan menjadi presiden Argentina periode 1989-1999. Ada pula Elias Antonio Saca yang keturunan Lebanon dan menjadi presiden El Salvador periode 2004–2009. Ada juga Carlos Roberto Flores yang keturunan Lebanon dan menjadi presiden Honduras periode 1998-2002.
Itulah sebagian nama para imigran Arab yang berjaya di Barat. Namun, nasib saudara mereka di negara-negara Arab sering tidak sebaik mereka yang mengadu nasib di Barat.