Melukis Wajah Polri yang Humanis
Berbagai inovasi dilakukan untuk mewujudkan wajah Polri yang lebih humanis. Terobosan baru bisa dinilai berhasil saat masyarakat benar-benar merasakan dampaknya.
Suara tepuk tangan memenuhi ruang rapat Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, setelah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan komitmennya untuk memecat puluhan anggota Polri yang melanggar peraturan dan melakukan tindak pidana. Dalam rapat kerja yang berlangsung pada Senin (24/1/2022) itu, ia mengatakan, “Kami tidak ragu untuk memecat 30, 50 anggota yang mencoreng institusi, demi menyelamatkan lebih dari 40 ribu anggota Polri lainnya.”
Beberapa bulan terakhir, Polri memang gencar menegakkan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan para anggota. Catatan Polri, sepanjang 2021, sebanyak 40 Surat Telegram mutasi jabatan telah dikeluarkan. Dari sejumlah anggota yang dirotasi, promosi, dan demosi, 28 orang di antaranya dimutasi dalam rangka evaluasi jabatan. Jabatannya pun bervariasi, mulai dari satu perwira tinggi, delapan pejabat utama Polda, 12 Kapolres, serta tujuh perwira menengah.
Beberapa anggota yang terbukti melanggar hukum juga dipidanakan. Contohnya, Ajun Komisaris Besar Dalizon, mantan Kapolres Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan suap dari mantan Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin yang telah lebih dulu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hingga saat ini, penyidikan kasus Dalizon sudah masuk tahap pemberkasan dan akan segera dilimpahkan ke Kejaksaan.
Di samping menegakkan hukum, lanjut Listyo, ia juga memberikan penghargaan kepada aparat yang berprestasi. Setahun terakhir, setidaknya terdapat 2.965 anggota Polri yang mendapatkan penghargaan atas pencapaian kinerja dan pengabdian yang melebihi panggilan tugasnya dalam menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban nasional. “Kami juga akan menyelenggarakan Hoegeng Award 2022 ‘Mencari Hoegeng Baru’, untuk memacu semangat personel Polri yang bertugas di lapangan untuk senantiasa berbuat baik dan melakukan tugas pengabdian dengan tulus dan bersungguh-sungguh,” katanya.
Baca juga: Meneguhkan Kembali Polri ”Presisi”
Listyo mengatakan, hal ini merupakan respons atas kritik yang disampaikan oleh publik. Sebelumnya, profesionalitas dan sensitivitas mereka terhadap hak asasi manusia (HAM) menjadi sorotan masyarakat. Di media sosial, berulang kali viral konten-konten yang memperlihatkan kekerasan berlebihan yang dilakukan polisi saat bertugas, penolakan terhadap laporan masyarakat, hingga kabar kekerasan seksual yang dilakukan polisi kepada warga. Warganet pun mengakumulasikannya dalam Tagar #PercumaLaporPolisi, #SatuHariSatuOknum, dan #NoViralNoJustice yang menjadi topik terhangat selama beberapa hari berturut-turut.
“Polri akan menjawab segala kritik dan masukan masyarakat dengan perubahan ke arah yang lebih baik,” ujarnya.
Selain disorot karena pelanggaran yang dilakukan para anggota, Korps Bhayangkara tak lepas dari tudingan sebagai organisasi yang antikritik. Hal itu ramai dibicarakan setelah adanya kasus penghapusan mural masyarakat yang berisi kritik kepada Presiden Joko Widodo oleh aparat di beberapa daerah. Polisi dinilai tak berpihak pada kebebasan berpendapat.
Merespons hal itu, Polri membuat terobosan yang belum pernah ada sebelumnya, yakni mengadakan lomba mural pada Oktober 2021. Kompetisi yang terbuka untuk semua warga itu bertujuan mencari mural bermuatan kritik paling keras untuk merefleksikan kekurangan institusi tersebut. Tidak berhenti di situ, pada Desember 2021, bertepatan dengan Hari HAM Sedunia, Polri lagi-lagi menggelar lomba dengan tujuan serupa. Namun dalam bentuk kompetisi orasi unjuk rasa.
Polri juga berusaha berkomitmen terhadap keterbukaan informasi dengan memperkuat sisi komunikasi publik. Seluruh jajaran kepolisian diminta untuk menggelar jumpa pers, diskusi kelompok terarah (FGD), doorstop wartawansecara rutin untuk menjawab pertanyaan masyarakat, baik secara langsung maupun melalui media massa. Belakangan, hampir semua satuan kepolisian, bahkan Listyo pun memiliki akun media sosial yang aktif mempublikasikan hasil kerja dan berinteraksi dengan warganet.
Di ranah penegakan hukum, upaya untuk menunjukkan wajah polisi yang lebih humanis dilakukan dengan mengedepankan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) untuk menyelesaikan perkara pidana ringan. Salah satunya terkait pencemaran nama baik yang disampaikan melalui media sosial.
Tidak bisa dimungkiri, perkembangan teknologi informasi dan adanya delik pidana pencemaran nama baik di dalam Undang-Undang (UU) Nomor Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) telah membuka ruang bagi warga untuk saling melaporkan ke kepolisian. Selama ini, penanganan kasus pelanggaran UU ITE juga cenderung memperlihatkan represivitas aparat dan keberpihakan pada pihak yang lebih berkuasa.
Dengan prinsip keadilan restoratif, penegakan hukum menjadi upaya terakhir untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat. Polisi berperan untuk memediasi kedua pihak yang bertikai hingga sama-sama merasa mendapatkan keadilan dan tidak perlu melanjutkan perkara mereka ke peradilan. Adapun sepanjang 2021, Polri telah menerapkan keadilan restoratif pada 11.811 kasus. Capaian ini merupakan yang tertinggi dalam empat tahun terakhir.
“Ke depan tidak ada lagi istilah hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Jangan ada lagi kasus Nenek Minah dipidana, kasus ibu dilaporkan anaknya dan dipenjarakan, dan kasus-kasus lain yang mengusik rasa keadilan,” kata Listyo.
Pergeseran makna
Sejak dilantik Presiden Joko Widodo pada 27 Januari 2021, Listyo mengusung visi Polri Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan) yang memuat empat bidang transformasi Polri. Mulai dari transformasi organisasi, operasional, pelayanan publik, hingga pengawasan. Terobosan yang dibuat pada empat ranah itu diapresiasi sejumlah pihak. Salah satunya Direktur Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Hasibuan yang memotret kerja Polri setahun terakhir dalam buku “Wajah Polri Presisi: Melahirkan Banyak Inovasi dan Prestasi”.
Dalam peluncuran dan bedah buku tersebut, Jumat (27/1), Edi mengatakan, inovasi yang ada telah memantik perubahan mendasar di kepolisian dan masyarakat. Sistem tilang elektronik (ETLE) dan aplikasi SIM Online, misalnya, telah mengurangi interaksi antara warga dan polisi yang selama ini membuka ruang transaksional dalam penegakan hukum.
Selain itu meski terus didera kritik, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri juga tinggi dalam setahun terakhir. Survei Lemkapi pada 2021 menunjukkan, tingkat kepercayaan terhadap Polri mencapai 86,2 persen. Nilai itu merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Edi mengingatkan, capaian itu jangan sampai membuat Polri lengah dan berpuas diri. Polisi harus bisa menerima kritik publik sambil memenuhi ekspektasi masyarakat tanpa harus terlebih dulu diviralkan di media sosial. “Masukan yang berharga dari masyarakat harus bisa membuat Polri berubah, memperbaiki kinerja, dan memberikan yang terbaik bagi masyarakat,” ujarnya.
Peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Hermawan Sulistyo mengatakan, gagasan dan praktik Polri Presisi selama setahun ke belakang telah menggeser makna polisi, dari sekadar pekerjaan menjadi profesi. Artinya, ada dorongan agar aparat tidak sekadar menjalankan rutinitas pekerjaannya, tetapi juga menjadikannya sebagai pengabdian. Selama ini, sebagian besar polisi masih mengganggap dirinya sebagai pekerja di institusi kepolisian, sehingga hal-hal yang dilakukan masih terjebak pada tugas rutin.
Akan tetapi, menurut dia, gagasan pergeseran makna dan ide polisi yang lebih humanis itu masih sebatas di level elite kepolisian. Pemikiran tersebut belum dipahami hingga ke jajaran terbawah, yang langsung berinteraksi dengan masyarakat. Ia mencontohkan, beberapa waktu lalu menemukan sekelompok polisi merundung remaja putri yang ditemui di jalan pada malam hari.
Oleh karena itu, diperlukan penyamaan persepsi pada polisi di semua tingkatan. Hal itu bisa dilakukan dengan mendidik para pimpinan satuan agar bisa meneruskannya kepada bawahan mereka. “Itu diperlukan karena yang bertemu dengan masyarakat secara langsung itu kan bukan para jenderal. Aparat di bawah itu belum siap,” kata Hermawan.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti sepakat, upaya untuk mewujudkan Polri yang lebih humanis harus diiringi dengan peningkatan profesionalitas sumber daya manusia mulai dari tahap rekrutmen hingga pendidikan. Polisi yang ada bertugas di mana pun hendaknya memiliki kapasitas dan pemahaman yang sama. Sebab, ketimpangan kapasitas anggota Polri hingga kini masih terasa salah satunya terkait pemahaman tentang HAM dan kesetaraan gender.
“Pengarusutamaan HAM dan gender harus terus dilakukan karena kami selalu menemukan banyak polisi yang masih menggunakan kekerasan berlebihan dan tidak sensitif gender dalam menangani berbagai permasalahan,” kata Poengky.
Baca juga: ”Delik Viral” Pelecut Kerja Kepolisian
Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala menambahkan, keberhasilan dari inovasi yang dilakukan Polri sebenarnya belum bisa diklaim saat sebuah program atau kebijakan dilakukan. Terobosan baru bisa dinilai berhasil saat masyarakat benar-benar merasakan dampaknya. Untuk itu, penting bagi kepolisian untuk memastikan bahwa selama setahun terakhir, warga benar-benar merasakan manfaat pelayanan Polri serta mendapatkan keadilan dari penegakan hukum yang dilakukan. “Jangan lupa bahwa Polri tidak hanya butuh program yang inovatif, tetapi juga perlu yang langgeng dan berkelanjutan,” ujar Adrianus.
Setahun ke belakang, upaya untuk merancang gambaran Polri yang lebih humanis memang mulai terasa. Namun, masih perlu kerja keras dan konsistensi dalam jangka panjang, agar wajah tersebut benar-benar terwujud dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.