Hitung Mundur Kerja Politik Partai
Tahun awal tahapan pemilu, partai politik dihadapkan tiga agenda besar, yaitu verifikasi partai, penentuan calon presiden dan koalisi, serta persiapan pilkada. Energi dan daya tahan partai politik diuji pada Pemilu 2024.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F06%2F28%2Fb62e6b08-1189-4fc7-a4f8-0ec10c6e0a09_jpg.jpg)
Deretan bendera partai politik.
Ditetapkannya tanggal 14 Februari 2024 sebagai hari pemungutan suara Pemilu 2024 dan 27 November 2024 sebagai hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah serentak nasional semakin memastikan proses kerja-kerja politik yang harus dilakukan partai sebagai peserta pemilu.
Ibarat perlombaan lari, kedua tanggal tersebut menjadi garis finis bagi partai politik untuk berlatih diri dan menguji daya tahan hingga lebih kurang dua tahun ke depan.
Pemilihan umum yang dilakukan secara serentak nasional yang juga dibarengkan dengan pemilihan kepala daerah, dengan selisih sembilan bulan di tahun yang sama, memaksa partai politik harus menyiapkan diri.
Persiapan itu tidak saja menyangkut kebutuhan konsolidasi di internal partai, tetapi juga terkait dengan upaya membangun koalisi. Keduanya harus berjalan beriringan sebagai konsekuensi dari pemilu yang digelar secara serentak.

Setidaknya ada tiga agenda besar yang membutuhkan perhatian serius bagi partai politik. Pertama, konsolidasi internal terkait agenda verifikasi partai politik calon peserta pemilu. Bagi partai politik peraih kursi DPR, tentu tahapan ini lebih ringan karena lebih bertumpu pada verifikasi administrasi.
Sebaliknya, bagi partai politik yang tidak memiliki wakil di DPR dan termasuk juga partai politik pendatang baru, selain urusan verifikasi administrasi, mereka juga akan dihadapkan pada verifikasi faktual.
Terkait dengan verifikasi ini, merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian Pasal 173 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang dimohonkan Partai Garuda yang dikabulkan sebagian pada 4 Mei 2021.
Mahkamah mengubah putusan sebelumnya, yakni Nomor 53 tahun 2017 yang menyatakan semua partai politik, baik peserta pemilu 2019 yang lulus verifikasi maupun sudah dinyatakan lolos parliamentary treshold, harus tetap melakukan verifikasi ulang.
Baca juga : Ambang Batas Presiden dan Kesetaraan dalam Pemilu
Putusan MK yang ”meloloskan” partai peraih kursi DPR dari kewajiban verifikasi faktual tentu menguntungkan partai pemilik kursi DPR.
Sementara bagi partai-partai yang belum lolos ambang batas parlemen dan partai politik baru harus berjibaku menghadapi proses tahapan verifikasi, baik administrasi maupun faktual sebagai syarat menjadi peserta pemilu. Sekali lagi, partai politik yang lolos ambang batas parlemen di pemilu sebelumnya lebih diuntungkan dalam hal ini.
Putusan MK yang ’meloloskan’ partai peraih kursi DPR dari kewajiban verifikasi faktual tentu menguntungkan partai pemilik kursi DPR.
Kedua, agenda lain yang membutuhkan perhatian dan energi partai adalah terkait dengan keharusan membangun koalisi untuk pemilihan presiden. Disebut sebagai keharusan karena hampir semua partai politik tidak memungkinkan mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden sendirian.
Jika mengacu mekanisme perolehan kursi di DPR, hanya PDI Perjuangan yang berhak mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lainnya.
Sementara partai politik lainnya, karena kurang dari ketentuan minimal 20 persen kursi di DPR, mau tidak mau harus membangun koalisi dengan partai politik lain agar bisa mengikuti kontestasi pemilihan presiden. Selain keharusan karena kekuatan kursinya belum mencapai persyaratan, partai politik juga diwajibkan mengikuti kontestasi di pemilihan presiden.

Hal ini merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama di Pasal 235 Ayat 5 yang menyebutkan dimana disebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tidak mengajukan bakal pasangan calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya.
Baca juga : Lebih Dari Dua Calon Presiden, Lebih Baik
Modal kursi DPR
Soal koalisi di pemilihan presiden ini tentu peluangnya hanya dimiliki oleh partai politik pemilik kursi di DPR. Setidaknya ada sembilan partai politik yang berpeluang masuk dalam kontestasi koalisi menjelang pemilihan presiden. Dari komposisi kursi yang dimiliki partai di DPR, bisa dibagi ke dalam tiga kluster.
Kluster pertama adalah partai politik yang memiliki modal cukup untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden, yakni minimal menguasai 20 persen kursi DPR. PDI Perjuangan menjadi satu-satunya partai politik yang ada dalam kluster ini. Dengan modal ini, sebenarnya dengan mudah bagi PDI-P berlaga pada pemilihan presiden.
Sejumlah nama dari internal partai yang muncul dalam survei-survei elektabilitas calon presiden. Salah satunya menempatkan kader PDI-P yang juga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di peringkat atas tingkat keterpilihan. Meskipun demikian, nama Ganjar tentu akan dibayangi oleh nama Ketua DPR Puan Maharani yang gencar bersosialisasi melalui media luar ruang.

Mural tentang pemilu menghiasi tembok di Dukuh Atas, Jakarta, Rabu (26/1/2022). Jadwal pemilu yang telah disepakati, 14 Februari 2024, diharapkan akan membuat persiapan pelaksanaannya lebih matang agar persoalan yang terjadi pada Pemilu 2019 tak terulang.
Sementara itu, kluster kedua adalah partai politik yang memiliki modal 10 persen atau lebih kursi DPR. Dengan modal ini, partai lebih mudah mencari koalisi karena relatif memiliki pengaruh yang lebih dengan penguasaan kursi di parlemen tersebut. Di kelompok ini ada empat partai politik, yakni Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, dan PKB.
Tiga dari empat partai ini masing-masing sudah memunculkan wacana untuk mengusung ketua umumnya dalam bursa Pemilihan Presiden 2024. Dari Partai Golkar muncul nama Airlangga Hartarto. Sementara itu, Partai Gerindra kelihatannya masih menempatkan Prabowo Subianto sebagai nama yang paling sering disebut sebagai calon presiden mereka.
Hal yang sama terjadi di PKB dengan mengusung Muhaimin Iskandar sebagai kandidat calon presiden. Hanya Partai Nasdem yang belum secara kuat menunjukkan siapa yang diusung mereka meskipun secara santer juga diberitakan nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan lebih berpeluang dicalonkan dari partai ini.

Di kluster ketiga adalah partai-partai politik yang memiliki kursi kurang dari 10 persen. Ada empat partai politik dalam kluster ini, yakni Partai Demokrat, PKS, PAN, dan PPP. Dari empat partai ini, hanya Partai Demokrat yang diprediksi kuat berniat mengusung ketua umumnya, Agus Harimurti Yudhoyono, di pemilihan presiden nanti. Sementara ketiga partai lainnya cenderung belum menunjukkan sinyal siapa calon presiden yang diusung.
Dengan modal kursi kurang dari 10 persen, empat partai ini lebih banyak mengandalkan koalisi di pemilihan presiden nanti. Meskipun demikian, posisi empat partai ini bisa jadi penentu koalisi, terutama jika jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden nanti lebih dari dua pasangan calon.
Baca juga : Mematangkan Persiapan Pemilu
Pola koalisi
Praktis, agenda membangun koalisi di pemilihan presiden akan berjalan beriringan dengan verifikasi partai politik. Jika mengacu rancangan tahapan Pemilu 2024, penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden dijadwal pada Oktober 2023. Tahun ini dipastikan dinamika koalisi sudah mulai dijajaki.
Jika mengacu komposisi perolehan kursi, pola koalisi akan mengacu pada jumlah kursi yang dimiliki sembilan partai di DPR dan juga mengacu pada elektabilitas sosok calon presiden ataupun calon wakil presiden. Selain itu, ada ada juga pertimbangan politis terkait dengan keberadaan partai politik di pemerintahan ataupun di luar pemerintahan.
Jika mengacu komposisi kursi, peluang muncul lebih dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden lebih besar dibandingkan dengan mengacu pada dikotomi partai pendukung pemerintah dengan partai yang berada di luar pemerintahan.

Dalam konteks lebih dari dua pasangan calon, peluang munculnya tiga pasangan calon lebih besar dibandingkan dengan empat pasangan calon. Mengapa? karena empat pasangan akan terwujud jika PDI Perjuangan memutuskan sendirian mengusung pasangan pada pemilihan presiden tanpa berkoalisi dengan partai politik lain.
Di atas kertas, tentu peluang ini kecil karena kalkulasi politik lebih menguntungkan bergandengan dengan partai lain. Namun, tentu peluang ini masih terbuka lebar jika PDI-P mampu dan yakin pasangan yang akan diusungnya akan memenangi kontestasi.
Golden ticket yang dimiliki PDI-P ini akan memosisikan partai ini memiliki daya tawar tinggi di hadapan partai-partai lain, apalagi jika sosok calon presiden yang diusungnya memiliki modal elektabilitas yang tinggi.
Namun, jika PDI-P tidak menggunakan golden ticket-nya, peluang lahirnya tiga pasangan calon lebih besar. Komposisinya boleh jadi akan berbasis pada partai-partai besar yang berkoalisi dengan PDI-P, partai-partai besar dan partai menengah menghimpun koalisi sendiri, dan partai-partai yang selama ini berada di luar pemerintahan bersama partai-partai menengah. Jika polarisasi ini yang terjadi, peluang munculnya tiga pasangan calon akan terjadi.

Pola koalisi yang ketiga adalah bangunan aliansi dua kutub yang selama ini sudah terjadi. Pembelahan publik yang menjadi residu persaingan pad Pemilihan Presiden 2014 dan 2019 bisa saja terulang dan menjadi pola koalisi pada Pemilihan Presiden 2024.
Bagi partai politik, kontestasi dua pasangan calon presiden dan wakil presiden akan lebih praktis dan efisien secara politik karena dipastikan tidak ada putaran kedua, seperti yang sudah terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019.
Baca juga : Capres Otoritas Versus Elektabilitas
Pilkada
Selain verifikasi partai dan koalisi di pemilihan presiden, partai politik juga dihadapkan pada agenda pilkada. Inilah agenda kerja ketiga bagi partai politik. Di tengah energi terserap pada dinamika verifikasi dan upaya membangun koalisi presiden, partai politik juga dihadapkan pada pekerjaan rumah membangun koalisi dengan partai politik lain di pilkada.
Jika mengacu tahapan, pilkada yang digelar pada 27 November 2024, pasangan calon yang diusung oleh partai politik di pilkada harus sudah final pada bulan Agustus atau tiga bulan sebelum pemungutan suara. Kesibukan partai benar-benar akan estafet menjalani agenda dan tahapan pemilu dan pilkada serentak nasional yang dilakukan pada tahun yang sama.

Baliho bergambar para politisi yang berniat maju dalam suksesi kepemimpinan di Tanah Air mulai banyak dipasang di sudut-sudut Ibu Kota, Rabu (11/8/2021). Selain media sosial, media luar ruang masih menjadi favorit politisi untuk mempromosikan dirinya pada masyarakat untuk kepentingan politik pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024.
Tak pelak, kerja-kerja politik dari partai mau tidak mau harus dimulai tahun ini. Hari pemungutan suara pada pemilu dan pilkada yang sudah ditetapkan akan menjadi acuan bagi partai politik untuk menghitung mundur guna mempersiapkan diri.
Bagaimanapun partai politik harus menjalani tahapan pemilu dan pilkada yang pasti saling beririsan sebagai konsekuensi dari keserentakan dalam penyelenggaraannya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Membangun Koalisi Politik sejak Awal