Surat di Negeri Pageblug
Sejak pertama kali kabar tentang kehebatan Surat tersiar, orang yang sakit berbondong-bondong mendatangi kediamannya.
Nama Pak Surat sangat termasyur. Tidak hanya di desa tempat tingggalnya, melainkan sampai ke desa-desa lain. Penyebabnya tidak lain karena lelaki berusia senja itu adalah orang pintar. Pak Surat dipercayai mampu menyembuhkan berbagai penyakit manusia, hanya dengan tetesan air ludahnya.
Sejak pertama kali kabar tentang kehebatan Surat tersiar, orang yang sakit berbondong-bondong mendatangi kediamannya. Setetes air ludahnya selalu dinantikan belasan sampai puluhan orang sakit sepanjang hari. Bagaikan air mukjizat yang diturunkan Tuhan dari surga, ludah Surat tak dibiarkan terjatuh ke tanah barang secuil saja. Kalau saat prosesi pengobatan ada ludah Surat tertumpah ke lantai rumahnya, maka berebutanlah orang-orang sakit meraupnya kemudian membalurkan ke bagian tubuh sakit mereka.
”Pak Surat, aku akan sebut namamu setiap kali berdoa kepada Tuhan agar kau panjang umur dan ludahmu tidak pernah kering.”
”Tuan Surat, aku akan minta istriku membuat masakan daging kerbau paling lembut untuk kau santap agar ludahmu mujarab mengobati sakit di kakiku.”
”Aku berjanji, Tuan Surat, akan membawakan perhiasan emas paling mahal untuk anak dan istrimu jika ludahmu bisa menyembuhkan luka di punggungku.”
Begitulah janji-janji orang-orang sakit yang datang kepada Surat untuk minta berkah kesembuhan. Tak banyak kata yang dikeluarkan Surat setiap kali mendengar janji-janji manis mereka. Hanya senyum, anggukan, dan sesekali perkataan, ”Ya, tentu!” yang menunjukkan kalau Surat merasa senang atas segala janji untuknya.
Mengapa Surat sangat irit bicara? Tentu demikian karena sejak kecil dia dikenal sebagai lelaki pendiam. Saat telah menikah pun, Surat hanya akan memberikan anggukan atau gelengan saja jika istrinya telah terlalu banyak berbicara.
Makin hari kehebatan Surat memang tidak bisa diremehkan lagi. Setiap orang sakit yang datang kepadanya selalu berbuah sembuh sentosa. Semakin banyak orang sakit yang sembuh, semakin berbondong pula orang sakit berikutnya datang meminta kesembuhan kepadanya. Seperti nabi yang turun ke bumi membawa wahyu penyelamat manusia, Surat semakin dipuji, semakin dicari, dan tentunya semakin kaya.
Sampai suatu ketika seorang lelaki tua berjubah putih didampingi dua laki-laki muda gagah rupawan menemui Surat.
”Benarkah kau bernama Surat?” lelaki berjubah menyapa Surat dengan suara begitu wibawa.
”Siapakah Tuan dan dari manakah berasal?” Surat berbalik menanya lelaki berjubah dengan keheranan yang seksama. Baru kali ini ia mendapati orang sakit yang datang kepadanya malah dalam kondisi segar bugar.
”Aku sakit. Dapatkah kau menyembuhkan aku?”
”Tentu, kalau Tuan bermaksud mendapat pengobatan dari ludahku.”
”Sebelum kau mengobatiku dengan ludahmu, izinkan aku bertanya sesuatu hal terlebih dahulu.”
”Silakan. Hal apakah yang akan Tuan tanyakan?,
Sebelum melanjutkan maksudnya, lelaki berjubah putih terdiam sejenak sembari mengelus-elus jenggot.
”Apakah kau pernah menggunakan mulutmu untuk berdusta?” tanyanya kemudian.
Baca Juga: Air Doa
Mendengar pertanyaan itu, Surat tercekat. Selama ini belum pernah ada orang sakit bertanya demikian kepadanya. Surat menjadi dilema. Jika dijawabnya pertanyaan lelaki berjubah dengan jujur, ya, dia pernah menggunakan mulutnya untuk berdusta, reputasi kesaktiannya akan tercoreng. Namun, kalau dijawab pula dengan jawaban dusta, dua kali lipat kerugiannya; lelaki berjubah itu batal berobat dan itu artinya dia juga gagal mendapatkan uang.
Cukup lama Surat termenung sebelum menemukan jawaban yang tepat.
”Kami akan mengurungkan rencana berobat kepadamu jika kau ragu menjawab,” lelaki berjubah sedikit mengacam Surat yang masih diam.
”Oh, maaf, Tuan. Tentu saja aku tidak pernah menggunakan mulutku untuk berdusta. Kalau aku berdusta, mana mungkin ludahku mengandung kesaktian. Ah, Tuan bertiga tidak perlu mengkhawatirkan hal itu,” balas Surat akhirnya berdusta.
Selepas berkata demikian, Surat sadar telah berdusta. Namun tindakan itu harus dilakukannya
”Baiklah kalau begitu. Kami akan datang lagi besok pagi. Jika apa yang kau katakan tadi dusta, maka ludahmu akan menjadi sumber penyakit bagi semua orang.”
Surat tak sempat menjawab karena ketiga lelaki asing itu tiba-tiba telah lenyap dari hadapannya tanpa menyisakan jejak. Surat tercenung seperti mendapati kekalahan telak. Tak ingin berlama-lama memikirkan raibnya ketiga lelaki itu, Surat pun membuang muka dengan kesal. Sambil merapikan pakaian, ia bangkit dari duduk dan berjalan menemui istrinya.
”Bu, bersiap-siap, ya, besok pagi kita pergi pelesiran ke kota di negeri seberang,” perintah Surat dengan jumawa seperti ingin memusnahkan kebimbangan yang tiba-tiba menyergap pikirannya.
”Benarkah?” sambut istri Surat dengan suara tergagap, seperti tidak yakin atas apa yang baru dia dengar.
Surat mengangguk tanpa menatap wajah istrinya yang sedang memoleskan lipstik tebal-tebal ke bibir.
”Lalu bagaimana dengan orang-orang sakit yang mencarimu besok pagi?” sambung istrinya, masih dengan perasaan tidak yakin kalau Surat mendadak memutuskan pergi pelesiran.
”Ludahku dan mulutku adalah milikku. Tidak ada orang lain, apalagi orang-orang sakit itu berhak mengaturku!” intonasi Surat meninggi seketika.
Istri Surat menunduk. Perempuan bertubuh gemuk itu sedang tak ingin berdebat. Dia lebih tertarik membayangkan indahnya pelesiran ke kota besar.
”Baiklah, aku akan siapkan dulu keperluan anak-anak kita untuk berangkat besok pagi,” pungkas istri Surat menyudahi saja kegiatan berdandannya.
Surat melepas langkah istrinya dengan wajah yang masih diliputi kekesalan atas perkataan lelaki berjubah. Diseretnya langkah ke ruangan tempat biasa menerima orang sakit. Di depan ruangan itu, di luar pintu yang sedikit terbuka, puluhan orang sakit berdiri menunggu Surat. Tanpa mempedulikan orang sakit yang berjubel, Surat menutup pintu dengan hempasan keras.
”Hari ini saya tidak buka praktik!” teriak Surat begitu kencang sebelum pintu terkatup rapat.
**
Surat telah matang dengan rencana pelesirannya. Sesuai perintah kepada istri dan anaknya yang akan ikut serta, pagi-pagi betul Surat pun bermaksud memastikan apakah mereka telah siap untuk berangkat. Surat ingin, mereka telah meninggalkan rumah sebelum laki-laki tua berjubah kembali datang meneror. Maka tergopoh-gopohlah Surat menuju kamar tidur anak sulungnya. Sekonyong-konyong Surat terkejut bukan main ketika sampai di depan pintu kamar anaknya. Di lantai kamar, istri dan kedua anaknya malah ditemukannya tergeletak. Mereka nampak begitu kesakitan, mengerang, menggelepar dengan dada naik turun, serupa ikan kehilangan air. Surat tidak percaya istri dan anaknya mendadak sakit parah, karena pada malam sebelumnya ketiganya masih dalam kondisi sehat bugar.
”Bu! Kau kenapa?”
”Nak! Kau kenapa?”
Surat mengguncang-guncang tubuh istri dan kedua anaknya bergantian. Ia semakin panik menyaksikan dari mulut ketiga orang kecintaannya itu mengeluarkan bunyi gemuruh, serupa terowongan yang mengandung gelora air demikian besar.
Belum selesai Surat dengan kepanikannya, di halaman rumahnya terdengar suara-suara heboh yang entah dimulai sejak kapan.
”Surat! Surat! Keluar kau! Tanggung jawabkan kematian saudara-saudara kami!”
”Ya! Surat! Kau harus bertanggung jawab atas kematian anak-anak kami oleh ludahmu!”
”Ya! Surat keparat! Keluar kau!”
Suara-suara berteriak di halaman rumah Surat semakin ramai. Makin tak terkendali dan makin bergemuruh.
Surat demikian panik, antara ingin menyelamatkan anak dan istrinya atau melihat situasi riuh dari halaman rumah. Dalam kepanikan, dia baru ingat untuk menggunakan ludahnya sebagai obat istri dan kedua anaknya. Diluahkannya ludahnya ke atas telapak tangan untuk dioleskan ke wajah istri dan kedua anaknya berulang kali. Surat yakin itulah cara paling ampuh untuk menghentikan ketiganya dari sekarat. Tetapi kali ini Surat salah perkiraan. Ludahnya yang semula sakti mandraguna ternyata tidak mempan untuk menyembuhkan istri dan anaknya.
Dalam panik itu Surat teringat kembali pertanyaan lelaki berjubah tentang mulutnya yang berdusta.
”Sial!”
Surat mengumpat kencang dan melompat ke luar kamar, berlari ke arah teras rumahnya. Belum sempat membuka pintu, dari kaca jendela Surat menyaksikan orang-orang sakit yang pernah diobatinya berkumpul berdempetan di halaman. Mereka terlihat sakit dan sesak nafas. Puluhan atau mungkin ratusan di antaranya bahkan telah terkapar tak bernyawa. Sementara puluhan orang lainnya berdiri huyung dengan mulut yang berbatuk dan berbuih. Surat tak siap mental menghadapi situasi seburuk itu. Dia berbalik badan dan berlari secepatnya menuju tanah lapang berpohon-pohon lebat di belakang rumahnya. Surat ingin membenamkan diri di sana tanpa dapat dikejar lagi oleh orang-orang sakit itu. Ia tak percaya kalau ludahnya yang menyebabkan orang-orang itu sekarat dan meninggal.
**
Sudah setahun kejadian ngeri itu berlalu, namun Surat masih belum bisa melepaskan diri dari rasa takutnya.
”Kami mohon Pak Surat bersedia menyerahkan tanah yang Bapak beli dari hasil praktik dukun itu,” begitulah permintaan pak Lurah setahun lalu, saat ratusan orang meninggal dalam peristiwa pageblug mendadak setelah Surat berbohong kepada lelaki berjubah putih.
Surat tidak sanggup menolak permintaan pak lurah di desanya. Entah disulut oleh rasa ditekan atas ucapan si lurah atau karena rasa simpatinya terhadap korban yang pernah diobati dengan ludahnya, Surat menyanggupi untuk menyerahkan tanah miliknya untuk dijadikan sebagai area pemakaman para orang sakit yang telah meninggal.
”Ya saya bersedia.”
Lurah yang mengenakan kopiah itu mengangguk sebagai tanda puas atas kesediaan Surat.
”Serahkan surat-surat tanah itu kepada saya,” sambung Lurah.
Surat bingung. Dia tidak mengerti dan tidak tahu apa yang dimaksud dengan surat-surat tanah.
”Tidak ada, Pak,” tanggap Surat singkat.
”Baiklah. Kalau begitu biarkan kami bekerja,” putus Lurah.
Tak butuh lama, tanah seluas ratusan meter di belakang kediaman Surat telah menjelma kuburan masal dengan nisan berjejer-jejer. Di tempat itu juga Surat menyaksikan mayat istri dan anaknya dimasukkan ke dalam tanah kuburan. Prosesi penguburan itu dilakukan oleh perangkat desa yang dibantu oleh puluhan orang dari kota yang memakai seragam serba putih. Surat masih belum mengerti, mengapa orang-orang dari kota tersebut memakai pakaian seragam yang aneh, serba putih, tertutup dari ujung kaki sampai kepala. Mereka tak ubahnya seperti badut besar yang sedang bermain di taman anak-anak.
Baca Juga: Api Menari di Belantara
Surat telah mendengar, sejak kejadian itu, orang-orang kota yang datang ke tempat tinggalnya menyebut kejadian nahas itu sebagai musim pandemi. Surat tidak mengerti apakah maksud dari musim pandemi. Dia tidak pernah sekolah, apalagi mempelajari tentang musim-musiman begitu. Membaca dan menulis saja Surat tidak bisa, apalagi belajar ini dan itu. Kalau pun dia mengetahui musim-musim berpenyakit, namanya adalah musim pageblug, bukan musim pandemi. Atas kebodohannya, orang-orang berseragam serupa badut putih itu memang tidak sepenuhnya menyalahkan Surat sebagai penyebar pageblug yang merenggut nyawa ratusan manusia. Namun Surat merasakan perasaan bersalah yang sangat deras.
”Saya bersedia dihukum atas kejadian ini. Sebagai hukumannya, saya mohon, biarkan saya tetap menghuni kampung ini sendirian,” putus Surat ketika dia diminta pindah dari kampung yang hampir semua penduduknya telah meninggal.
”Kalau kau ingin tetap tinggal di kampung ini, kau harus tandatangani dulu surat pernyataan,” balas seorang perangkat desa kesayangan Lurah.
”Surat pernyataan apa? Saya tidak bisa membaca dan menulis, bagaimana saya akan tanda tangan,” tanya Surat dengan raut wajah bingung.
”Kalau kau tidak bisa membaca dan menulis, tandatangani dengan cara ini. Gampang kok,” sambung petugas itu sambil memegang jempol tangan kanan Surat. Kemudian petugas itu mencelupkannya jempol kanan Surat ke dalam cairan tinta yang diletakkan di sebuah botol terbuka. Jempol kanan Surat yang telah dilumuri cairan berwarna biru tua ditempelkan si petugas ke atas selembar kertas yang telah berisikan kalimat panjang-panjang.
”Selesai, pak Surat. Kau boleh tetap berada di tempat ini, sesuai permintaanmu,” ujar si petugas berbaju putih dengan wajah datar.
Pak lurah dan pengikutnya pergi meninggakan Surat dengan mengantongi surat tanah bercap jempol pak Surat. Tanah yang semula milik Surat kini telah menjelma hamparan batu nisan berjejer-jejer. Penguburan dan pemasangan nisan diselesaikan petugas kelurahan dan petugas dari kota dalam waktu sehari semalam saja.
**
Setahun sudah musim pageblug berlalu. Namun pak Surat masih berada di sana, di antara jejeran batu nisan. Tak ada yang tersisa, hanya kesunyian dan detak jantung Surat yang berlomba-lomba dengan desau angin di ujung daun-daun. Setiap hari Surat bersimpuh di samping makam istrinya. Di sana dia tak henti mengajak istri dan kedua anaknya bercakap-cakap.
”Pak, serifikat tanah kau serahkan ke siapa toh?” suara istri Surat bertanya setengah mengomeli suaminya.
”Ya ndak tahu aku toh, Bu. ‘Kan aku tidak bisa baca toh. Kau tanya sana sama pak Lurah,” Surat membela diri atas ketidakmampuannya membaca dan menulis.
”Sejak pageblug dan kau tak buka praktik pengobatan lagi, kita bangkrut, Pak. Kau lihat perhiasanku sudah habis terjual! Rumah kita sudah tergadai! Apalagi yang bisa kau banggakan, Pak? Apa kau mau mati kelaparan, toh?”
Istri Surat masih mengomel tanpa henti, sementara lelaki yang makin ringkih itu hanya tertunduk lesu.
”Kemarin orang kelurahan bagi-bagi bantuan untuk tetangga kita yang di-PHK sejak pageblug. Lha kita dapat apa, Pak?”
”Sudah Bapak tanya, Bu, ke petugas kelurahan itu. Eh, jatah bantuanku mana? Kok nggak dikasih? Tapi mereka malah balik nanya, apa bapak punya kartu identitas yang onlen-onlen itu? Ya Bapak nggak punya. Lha, mereka jawab lagi, kalau bapak nggak punya kartu identitas, tidak bisa ngambil jatah bantuan itu.”
Mendengar jawaban Surat yang panjang lebar, istrinya bangkit dan merentakkan kaki. Perempuan setengah tua itu berlalu dengan wajah kusut berkerut. Surat tak menanggapinya. Ia hanya tertunduk dengan tangan meremas lengan kursi. Remasannya kuat dan semakin kuat.
**
”Suster! Bantu saya lepaskan pegangan pasien ini!” seorang dokter terlihat meringis karena lengannya dicengkram oleh seorang pasien tua.
”Ya, Dok!” seorang perawat perempuan berjalan dengan langkah cepat menuju ruangan tempat pasien tua yang mencengkram lengan dokter muda.
”Berikan dia suntik penenang, ya Sus! Jangan sampai dia mengamuk sebelum dimasukkan ke ruang isolasi.”
”Baik, Dok.”
Perawat itu gesit mengeluarkan jarum suntik, menakar dosis obat suntikan dan bersiap menghadap kepada lelaki tua yang tatapannya kosong.
Dokter yang menangani pasien tua dengan gangguan jiwa itu membaca dokumen yang tergeletak di atas meja. Di lembar catatan identitas pasien tertulis nama Surat.
Padang, 14 Oktober 2021
****
Iswadi Bahardur lahir dan menetap di kota Padang. Selain menulis puisi dan cerpen, dia juga bercatat sebagai dosen di Universitas PGRI Sumatera Barat (UPGRISBA). Puisi-puisi terbarunya terhimpun dalam buku puisi Riwayat Tanah Ibu (2021). Cerpen-cerpennya terhimpun dalam kumpulan cerpen Menunggu Damar. Puisi-puisinya juga terhimpun dalam berbagai buku antologi puisi bersama, di antaranya Jejak Puisi Digital (yayasan HPI, 2021), Bunga Rampai Jalur Rempah & Sejarah Kemaritiman Dunia (2021), Khatulistiwa (2021), Ombak, Laut, dan Kerinduan (2021). Penulis dapat ditemui di instagram @adhi_trusardi dan Facebook Iswadi Bahardur Adhi.