Melihat sengkarut permasalahan pekerja migran, publik mendorong pemerintah untuk memperkuat perlindungan hukum bagi pekerja migran. Peraturan sudah tersedia, tetapi yang terpenting adalah implementasi dan tindakan tegas.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
Β·5 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Sri Rejeki (27) menunjukkan potret Sutinih (47), ibunya, di Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (22/1/2022). Selama 13 tahun, Sri tidak berjumpa dengan ibunya yang menjadi pekerja migran di Irak. Keluarga berharap Sutinih segera pulang.
Sengkarut permasalahan terkait perlindungan pekerja migran Indonesia terus terjadi. Publik mengharapkan tindakan tegas pemerintah untuk melindungi pekerja migran sejak sebelum berangkat, selama bekerja di negara penempatan, dan setelah bekerja untuk kembali ke Tanah Air.
Dalam dua bulan terakhir telah terjadi lima kecelakaan perahu pekerja migran asal Indonesia menuju Malaysia yang menyebabkan puluhan korban. Kelimanya adalah perahu pengangkut pekerja migran tanpa dokumen. Peristiwa ini menguak kembali praktik penyelundupan pekerja migran yang selama ini masih terus berjalan.
Lima tragedi tersebut menjadi bagian dari ratusan permasalahan pekerja migran yang masih terus terjadi hingga saat ini. Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) melaporkan hingga akhir 2021, masih ada 152 pengaduan pekerja migran meninggal dunia di negara penempatan, 58 pengaduan perdagangan orang, 51 pengaduan penipuan peluang kerja dan 200 kasus upah tidak dibayarkan.
Fenomena permasalahan perlindungan pekerja migran ini juga terekam dalam jajak pendapat Kompas pada 12-14 Januari 2022. Terdapat sejumlah permasalahan utama yang dipandang publik perlu untuk segera ditindak.
Bagian terbesar responden (37,2 persen) berpendapat bahwa pemasalahan utama perlindungan pekerja migran selama ini terletak pada kurangnya perlindungan hukum oleh Pemerintah Indonesia di negara penempatan.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Potret rumah keluarga Nenah, pekerja migran Indonesia asal Majalengka, di rumahnya di Desa Ranji Wetan, Majalengka (24/5/2021). Nenah terancam hukuman mati di Arab karena dituduh membunuh sopir majikannya.
Hal ini berkaitan dengan maraknya kasus kekerasan, pelanggaran hak pekerja dan penelantaran pekerja yang menurut publik juga menjadi problem utama perlindungan pekerja migran. Situasi tersebut menyiratkan masih lemahnya pemantauan kondisi WNI yang bekerja di luar negeri yang mana hal ini sudah diatur dalam sejumlah peraturan pemerintah.
Selain itu, lemahnya perlindungan hukum juga menyangkut perlindungan pekerja migran setelah bekerja. Problem ini semakin nyata saat masa pandemi Covid-19. Nasib sejumlah pekerja migran terkatung-katung karena PHK dan upah tidak dibayarkan.
Selain menyoroti problem pekerja migran selama di negara penempatan, publik juga merasa bahwa lemahnya perlindungan pekerja migran terjadi sejak proses rekrutmen dan penyaluran pekerja.
Problem tata kelola yang dirasa masih menjadi celah perlindungan adalah rekrutmen dan penyaluran pekerja migran tanpa dokumen dan melalui proses yang tidak resmi (22,5 persen). Minornya pengawasan di tahap perekrutan dan penyaluran dinilai publik menghadirkan problem lanjutan yaitu praktik penipuan dan perdagangan orang (7 persen).
NINGSIAWATI
Belum memadai
Mencermati dari poin-poin utama permasalahan perlindungan pekerja migran, celah pelanggaran terhadap perlindungan pekerja migran sebenarnya sudah terjadi sejak proses awal pemberangkatan hingga kembalinya pekerja migran ke Tanah Air. Hal ini menjadikan pekerja migran sangat rentan akan kekerasan, penelantaran, hingga ancaman hilangnya nyawa.
Pada tahap awal misalnya, masih banyak informasi penawaran penyaluran tenaga kerja tanpa dokumen dan tidak resmi di media sosial maupun melalui oknum-oknum tertentu. Informasi yang bertebaran di mana saja ini lebih mudah dilihat masyarakat daripada informasi penempatan pekerja migran secara resmi oleh pemerintah.
Tanpa pengetahuan yang memadai tentang syarat, pekerjaan dan keterampilan kerja, masyarakat bisa dengan mudah mendaftarkan diri menjadi pekerja migran melalui kanal-kanal tersebut. Dari situlah masalah-masalah lain muncul seperti penipuan, perdagangan orang, kekerasan hingga pungutan liar di negara penempatan atau ketika kembali ke Indonesia.
Masalahnya, kasus-kasus tersebut terjadi bukan karena ketiadaan hukum atau aturan. Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan sejumlah peraturan tentang perlindungan pekerja migran. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, perlindungan pekerja migran dijamin saat sebelum, selama dan setelah bekerja. Di dalamnya termasuk sosialisasi informasi, peningkatan kualitas pekerja migran, pemberian jaminan sosial, pengawasan, penyelesaian kasus ketenagakerjaan hingga fasilitas kepulangan pekerja migran sampai daerah asal.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Penyelundup pekerja migran berinisial SL dihadirkan oleh TNI Angkatan Laut saat rilis pers di Markas TNI AL Batam, Kepulauan Riau (21/1/2022).
Pada aturan turunan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2021 juga diatur bahwa pelaksanaan perlindungan pekerja migran dilakukan oleh pemerintah pusat hingga daerah. Pada pemerintah daerah, tanggung jawab untuk melindungi pekerja migran diemban mulai dari pemerintah tingkat provinsi hingga desa. Artinya lingkup pemerintahan terkecil seperti desapun memiliki kewajiban untuk menjamin perlindungan warga desanya yang berniat atau sudah menjadi pekerja migran.
Sayangnya, menurut hasil penelitian Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) masih banyak pemerintah daerah hingga desa yang belum mengetahui adanya UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Dari 1.082 desa kantong buruh migran hanya 19,13 persen yang menyimpan catatan jumlah warga yang bekerja di luar negeri. Lebih dari 90 persen desa responden tidak memiliki Peraturan Desa tentang Perlindungan Buruh Migran.
Dari hasil survei itu saja terlihat kurangnya perhatian pemerintah terhadap keberadaan pekerja migran yang dapat memperbesar peluang praktik-praktik pelanggaran perlindungan pekerja migran. Hal itu juga diungkapkan tujuh dari sepuluh responden jajak pendapat yang menyebutkan bahwa perlindungan pemerintah untuk pekerja migran masih belum cukup memadai.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Ribuan calon pekerja migran Indonesia dari berbagai daerah menggelar aksi di Kementerian Tenaga Kerja, Jakarta (18/10/2021). Mereka menuntut kejelasan status penempatan pekerja migran Indonesia dan meminta pemerintah membuka kembali program Goverment to Goverment (G to G) ke Korea Selatan. Dampak pandemi Covid-19 membuat sejumlah negara masih menutup pintu masuknya seperti Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Brunei Darussalam dan Jepang.
Perkuat perlindungan
Melihat sengkarut permasalahan pekerja migran yang kompleks, publik mendorong pemerintah untuk memperkuat perlindungan sejak sebelum, selama dan setelah bekerja. Hal utama yang diharapkan publik adalah menjamin perlindungan hukum pekerja migran di negara penempatan.
Kesepakatan dan kerja sama penempatan, pengawasan dan kepastian hukum bagi pekerja migran di negara-negara penempatan perlu diperkuat. Salah satu yang sedang diperjuangkan yaitu penandatanganan nota kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia yang berisi sejumlah kesepakatan tentang aturan kerja pekerja migran.
Sejauh ini Indonesia memiliki 11 dokumen aktif tentang kerja sama bilateral pengiriman pekerja migran. Selain itu, terdapat enam dokumen yang telah habis masa berlakunya.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Keluarga menunjukkan potret Ratna Erna Sari (20), calon pekerja migran, di Desa Sudimampir Lor, Kecamatan Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (21/1/2022). Ratna merupakan salah satu korban yang meninggal akibat kecelakaan di perairan Johor, Malaysia, Senin (17/1). Ibu satu anak itu terpaksa ke luar negeri melalui jalur non-prosedural karena impitan ekonomi.
Publik juga mendorong pemerintah untuk meningkatkan jaminan perlindungan pekerja migran sebelum bekerja. Beberapa di antaranya adalah memastikan jalur rekrutmen dan penyaluran pekerja migran secara resmi (21,1 persen), memberikan pelatihan kerja dan pembekalan kepada pekerja migran (11,6 persen) dan memberikan jaminan sosial (5,2 persen).
Bagi perlindungan pekerja migran selama bekerja, publik mengharapkan jaminan kepastian upah, waktu dan keamanan pekerjaan. Selain itu, pemantauan pekerja migran di negara penempatan diharapkan dapat ditingkatkan dan menyeluruh ke dalam berbagai sektor pekerjaan yang dilakukan pekerja migran. Terakhir yang tak kalah penting, publik mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memperkuat koordinasi terkait perlindungan pekerja migran.
Ragam permasalahan perlindungan pekerja migran yang disoroti publik tersebut bukan kasus baru lagi. Dari tahun ke tahun, kasus-kasus yang sama masih saja terjadi. Miris rasanya jika melihat kasus-kasus tersebut mengingat Indonesia menjadi salah satu negara pengirim pekerja migran terbesar di Asia Tenggara dengan jumlah pekerja migran mencapai lebih dari 3,2 juta orang.
Melihat banyaknya kasus berulang terkait perlindungan pekerja migran dan banyaknya pekerja migran di berbagai negara penempatan, wajib hukumnya bagi pemerintah untuk menjamin keamanan dan kesejahteraan pekerja migran. Peraturan hukum memang sudah tersedia, namun yang terpenting adalah implementasi dan tindakan tegas dari pemerintah. Tentunya hal ini memerlukan koordinasi penuh antarlembaga serta pemerintah dari pusat hingga daerah. (LITBANG KOMPAS)