Butuh Modal Kawin, Mantan Guru Honorer di Garut Bakar Bangunan Sekolah
Mantan guru honorer di Cikelet, Garut, Jabar, nekat membakar sekolah. Dia kecewa karena menganggap dirinya belum mendapatkan gaji setelah 2 tahun mengajar.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·4 menit baca
Tumpukan kekecewaan akibat diduga belum mendapatkan gaji untuk modal menikah, MA (53), mantan guru honorer SMP Negeri 1 Cikelet, Kabupatan Garut, Jawa Barat, nekat membakar sebagian sekolah itu. Tidak hanya bakal gagal menikah, MA kini terancam hukuman 12 tahun penjara.
Jumat (14/1/2022) sekitar pukul 11.00, SMPN 1 Cikelet, sepi. Sekolah yang berada di dekat pantai selatan Garut ini sudah ditinggalkan para siswa. Guru hingga pegawai sekolah juga telah pulang meninggalkan sekolah.
Akan tetapi, bagi MA, saat itu dirasa paling tepat menumpahkan kekesalan yang ia pendam sejak lama. Dari rumahnya di Desa Cikelet, tidak jauh dari sekolah, ia berencana membakar bangunan sekolah.
Tiba di dalam kompleks sekolah, ia langsung menuju ruang guru. Di sana, MA menyalakan korek api yang dibawa dari rumah untuk membakar botol plastik bekas, alat pengambil sampah dari bambu, hingga kertas-kertas bekas. Disiram bensin yang sebelumnya dibeli Rp 6.000 dari pom bensin terdekat, api dengan cepat membesar. Setelah menjalankan aksinya, dia pergi begitu saja meninggalkan api yang menyala.
Beruntung api tidak membesar. Warga yang melihat kejadian itu memadamkan api. Namun, akibatnya tetap tidak sederhana. Meski tidak sampai melalap seluruh gedung sekolah, sejumlah fasilitas rusak terbakar. Seperangkat komputer beserta meja hangus dilalap api. Dua pintu triplek pembatas ruang guru dan ruang rapat hingga rak serta buku di ruang rapat juga hangus. Asal muasal kejadian ini sempat beberapa waktu kabur karena tidak ada orang di sekolah saat itu.
Hingga akhirnya, kamera CCTV milik warga di seberang sekolah memberikan jawaban. Dalam rekaman video, ada MA yang masuk sebelum api menyala dan keluar setelah api membesar.
“Akibat perbuatan itu, sekolah merugi hingga Rp 30 juta," ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Garut Ajun Komisaris Dede Sopandi, Rabu (26/1/2022).
Saat ditangkap polisi, MA tidak berkelit. Dia mengakui perbuatannya. Kata MA, semua dilakukan karena kesal upahnya selama menjadi guru honorer di sekolah itu tidak dibayar.
MA menjadi guru honorer mengajar fisika di SMPN 1 Cikelet periode 1996-1998. Selama itu, ia mengklaim seharusnya mendapat Rp 6 juta. Selama kurang lebih 24 tahun, MA mengatakan selalu menagihnya tapi berujung tanpa hasil.
Terakhir, ia kembali mendatangi sekolah pada pertengahan tahun 2020. MA yang kini menganggur kembali tidak mendapatkan kepastian pembayaran. Ia semakin kecewa. Padahal, uang itu akan digunakan untuk biaya menikah.
Dede mengatakan, masih akan terus menyelidiki kebenaran kisah MA. Namun, untuk ulahnya membakar sekolah, pelaku bakal dijerat Pasal 187 KUHP tentang kesengajaan menimbulkan kebakaran yang berbahaya bagi barang dan nyawa manusia. Diancam 12 tahun penjara, MA besar kemungkinan gagal menikah bila terbukti bersalah.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut Ade Manadin menyatakan, kondisi ini tidak akan terjadi jika terbangun komunikasi yang baik. Dia mengatakan, pimpinan sekolah seharusnya memiliki kepekaan, memahami karakter, dan tahu kepribadian rekan kerjanya.
“Hal itu harus terus dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang kembali," ujarnya.
Ade mengklaim, pihaknya sudah memerhatikan kesejahteraan guru honorer. Dia menyebut, tahun ini, Kabupaten Garut sudah memberikan tambahan kesejahteraan untuk tenaga honorer kependidikan hingga Rp 21 miliar dari APBD Kabupaten untuk 4.867 orang.
"Pemkab memang mengeluarkan dana untuk membantu tenaga pendidik dan kependidikan di Garut. Tetapi, beban kesejahteraan guru non-PNS yang diangkat kepala sekolah saat ini tergantung sekolah masing-masing sekolah. Karena itu, pengendalian dan penguatan manajerial kepala sekolah harus dilakukan," ujarnya.
Ketua Forum Guru Honorer Bersertifikasi Sekolah Negeri Nasional, Rizki Safari Rakhmat tidak membenarkan tindakan MA. Namun, banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kejadian ini. Ada sebagian tenaga honorer atau bekas honorer yang hidup jauh dari sejahtera.
Kondisi itu berlawanan dengan Pasal 14 Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Di sana disebutkan, guru berhak mendapatkan fasilitas seperti penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum, hingga promosi dan penghargaan. Apalagi, guru honorer juga mendapatkan beban kerja yang sama dengan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS).
"Kondisi ini bisa terjadi karena tidak ada regulasi yang mengatur berapa penghasilan minimum. Memang semua diatur undang-undang, tetapi belum ada turunan peraturan yang mengatur honor guru non-PNS," ujarnya.
Menurut Rizki, pengangkatan guru honorer menjadi bagian dari Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) bisa menjadi solusi untuk kesejahteraan para guru. Dengan status kepegawaian yang jelas, para guru akan mendapatkan fasilitas yang layak.
"Di balik keterbatasan itu, harus ada perhatian dari pemerintah kepada guru-guru honorer. Padahal, rata-rata setiap sekolah, komposisi guru PNS dan honorer itu 50:50. Oleh karena itu, angkat guru honorer yang sudah mengabdi lama menjadi P3K agar kesejahteraan mereka bisa dipastikan," ujarnya.
Pilihan MA untuk menyelesaikan perkara dengan api jelas tidak bisa dibenarkan. Buktinya, uang yang ia inginkan tidak didapat. Dia bahkan rentan masuk penjara. Namun, kesejahteraan tenaga kependidikan tidak boleh dilupakan. Jangan sampai hal itu membakar masa depan pendidikan anak bangsa di pelosok negeri ini.