Telepon yang Menghantui Saat Menyelisik Penyelewengan Pupuk Bersubsidi
Rasa cemas pun muncul, terutama mengingat lokasi desa itu yang terpencil. Kami tidak bisa meninggalkan desa itu dengan mudah jika terjadi sesuatu yang buruk. Desa itu begitu di pelosok, tepatnya di muara Sungai Musi.
Rentetan pertanyaan dari juragan pupuk W membuat kami terpojok. Untuk menutupi kegugupan, kami berulang kali menenggak air mineral meskipun sebenarnya tidak sedang haus. W terus menanyakan kartu tanda penduduk dan surat izin mengemudi kami. Meskipun disampaikan lewat telepon, kalimatnya terasa mendesak.
Saat itu, kami tengah menyamar untuk liputan investigasi penyelewengan pupuk bersubsidi di beberapa daerah. Salah satunya di Desa Cibeureum, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, tempat W tinggal, Jumat (21/1/2022).
Kami sengaja meninggalkan semua identitas asli. Sebagai gantinya, kami membawa kartu nama yang telah disiapkan sebelumnya dengan identitas samaran sebagai karyawan perusahaan perkebunan di Indramayu.
Kami datang ke rumah W, tetapi yang bersangkutan sedang tidak berada di tempat. Kami lantas ditemui seorang kerabatnya. Saat kami tengah berbincang, W menelepon kerabatnya itu.
Tiba-tiba, si kerabat menanyakan kartu identitas kami. ”Punten, apakah kalian membawa KTP atau SIM? Boleh saya cek terlebih dahulu?” ucapnya. Rupanya W mendapat kabar tentang kedatangan kami.
Tidak cukup, telepon dari W kemudian diberikan ke kami.
”Asalammualaikum, Pak Haji.”
”Waalaikumsalam, kok tidak bawa KTP?”
”Ketinggalan atuh, Pak. He-he-he.”
Di mulut kami tertawa, tetapi di hati kami berdoa agar semua baik-baik saja.
Kemudian W berujar, ”Ini sangat aneh, karena ada dua orang datang dari luar daerah, tetapi tidak membawa kartu identitas sama sekali.”
Perasaan kami ketar-ketir. Target menggali sepak terjang W dalam menjalankan bisnis pupuk bersubsidinya terancam buyar. Padahal, kami baru saja mulai liputan.
Baca juga: Tak Ada Pupuk Subsidi, Petani Tinggalkan Padi
Gelisah rasanya membayangkan apa yang akan terjadi jika identitas asli kami ketahuan. Apakah kami akan dipukuli, atau bahkan terjadi hal terburuk, tidak bisa pulang hidup-hidup.
Meski dilanda kecemasan, kami berusaha tetap tenang agar penyamaran tidak terbongkar. Kami jelaskan bahwa kami hanyalah orang suruhan dari bos perkebunan di Indramayu yang sedang mencari pupuk dengan harga murah. W dikabarkan menjual pupuk bersubsidinya hingga ke Indramayu.
Kami mendesak W agar dirinya mau menjual pupuk dengan harga murah ke kami. Namun, W terus berdalih tidak mau menjual pupuk kepada petani perkebunan. Sebagai gantinya, ia menyuruh kami mencari pupuk ke tempat lain.
Baca Juga: Sosok Misterius di Goa Karst
Liputan investigasi tentang penyimpangan distribusi pupuk bersubsidi yang kami jalani ini memang mendebarkan. Informasi awal yang kami himpun, W bukanlah distributor resmi. Namun, ia bisa menyalurkan pupuk bersubsidi di wilayah Bandung hingga ke sejumlah daerah lainnya di Jawa Barat. Ia disebutkan memiliki empat pegawai.
Untuk menemui W di Cibeureum, kami berangkat dari Kota Bandung pukul 09.30 menggunakan mobil sewaan. Setibanya di sana, pukul 11.00, kondisi rumah yang sekaligus dijadikan gudang pupuk itu sepi karena sebagian besar pegawai tengah bersiap untuk shalat Jumat. W juga sedang tidak berada di rumah.
Kami masuk ke area belakang yang ternyata sangat luas. Dari Jalan Raya Cibeureum, rumah berkelir biru milik W tampak mencolok lantaran halaman belakang rumahnya yang hampir seluas lapangan sepak bola. Tiga truk pengangkut tampak terparkir di belakang rumah. Terlihat pula tumpukan ratusan karung pupuk bersubsidi berjenis NPK Phonska dan urea di bagian kanan dan kiri gudang.
Baca juga: Sindikat Menguasai Pupuk Bersubsidi
Saat tengah mengamati kondisi sekitar, datang seseorang yang mengaku kerabat W. Sesuai rencana, kami mengaku sebagai karyawan perkebunan tanaman porang dari Kabupaten Indramayu yang mencari pupuk urea dengan harga murah.
Awalnya, ia tidak menaruh curiga dan mempersilakan kami masuk ke ruang pertemuan di bagian belakang rumah. Foto W dan jabatannya sebagai pimpinan anak cabang sebuah ormas terpampang di spanduk yang terpasang di sana.
Sebelum dicecar tentang KTP dan SIM, kami sempat mengobrol tentang pupuk urea nonsubsidi yang harganya di pasaran bisa mencapai Rp 500.000 per karung (isi 50 kg). Namun, di tempat itu, si kerabat menjelaskan, pupuk urea bersubsidi dijual dengan harga Rp 200.000 per karung (isi 50 kg). Harga itu belum termasuk ongkos kirim untuk luar daerah Kabupaten Bandung.
Baca Juga: Lubang Peluru di Kamar Hotel Wamena
Karena tidak bisa bertemu dengan W, kami kemudian memutuskan pamit dengan alasan ingin berkoordinasi dahulu dengan bos di Indramayu. Kerabat W mempersilakan kami meninggalkan lokasi tersebut.
Di kepala kami kemudian muncul banyak pertanyaan. Bagaimana caranya W yang bukan distributor resmi itu bisa menguasai ratusan karung pupuk bersubsidi? Kelak, kami mendapat keterangan dari PT Pupuk Indonesia, bahwa W tidak tercatat sebagai distributor ataupun pemilik kios resmi. Artinya, sebenarnya ia tidak boleh menjual pupuk bersubsidi.
Merasa diawasi
Liputan investigasi penyelewengan pupuk juga kami lakukan di desa-desa di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Desember 2021. Ketegangan menemani kami sepanjang liputan. Kami merasa diawasi, bahkan sejak wawancara pertama dengan pengecer di sana.
Salah satunya Apriadi, pengecer di Desa Sumber Mulya, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Ia mencecar kami dengan beragam pertanyaan mendetail dengan nada kurang bersahabat, mulai dari alasan kedatangan kami hingga kenapa ada liputan khusus mengenai pupuk bersubsidi.
Baca juga: Keluarga Politisi di Jalur Distribusi Pupuk Bersubsidi
Selama wawancara berlangsung, Apriadi kerap memotret kami. Ia juga terlihat sibuk dengan telepon selulernya saat diwawancara. Tidak jelas apa yang dilakukan.
Tak lama, ia menerima panggilan telepon. Pengecer yang melayani distribusi pupuk untuk beberapa desa tersebut terdengar bercakap tentang kedatangan kami terkait liputan pupuk bersubsidi. Saat itu, saya mulai merasa tak nyaman. Siapa orang yang menghubunginya di telepon? Apa arti percakapannya yang membicarakan kedatangan kami?
Baca Juga: Maksud Hati Mencari Pramudi Apa Daya Dipepet Jambret
Rasa cemas pun muncul, terutama mengingat lokasi desa itu yang terpencil. Kami tidak bisa meninggalkan desa itu dengan mudah jika terjadi sesuatu yang buruk. Desa itu begitu di pelosok, tepatnya di muara Sungai Musi.
Desa ini satu dari ribuan desa di kawasan yang lebih dikenal sebagai Jalur, yaitu desa-desa eks-transmigrasi yang terletak di kanal-kanal buatan semasa era Orde Baru di sepanjang Sungai Musi. Satu-satunya cara untuk mencapainya adalah dengan kapal cepat dari Palembang, Sumatera Selatan, yang hanya berangkat di sore hari.
Belum ada jalan darat yang menghubungkan wilayah kecamatan itu dengan daerah lainnya. Waktu tempuh Palembang-Muara Telang sekitar 2 jam dengan kapal cepat. Itupun saat cuaca baik.
Baca juga: Beban Ganda Demi Dapat Pupuk Bersubsidi
Saat hujan, jalan-jalan tanah di sana menjadi berlumpur. Dengan kondisi itu, tidak memungkinkan untuk pergi ke desa tetangga sekalipun meski jaraknya hanya 1 kilometer. Apalagi, untuk pergi ke dermaga kapal cepat yang lebih jauh. Tak ada mobil yang bisa melaluinya dan tak ada ojek sepeda motor yang bersedia mengantar. Berada di sana saat musim hujan artinya harus bersiap untuk terisolasi setidaknya selama sepekan.
Celakanya, kami tiba di sana saat puncak musim hujan. Sejak kami tiba di sana, hujan turun dengan rajin selama beberapa hari yang membuat kami tidak bisa ke dermaga kapal dengan cepat jika diperlukan.
Sikap kurang bersahabat yang ditunjukkan Apriadi dan panggilan telepon yang ia terima membuat kami tidak nyaman. Dorongan untuk meninggalkan desa itu menguat. Kami ingin segera kembali ke Palembang. Setidaknya di sana ada Kantor Kompas Biro Sumsel yang membuat kami merasa lebih aman. Di sana juga ada beberapa kawan yang bisa memberikan perlindungan apabila terjadi hal-hal buruk.
Baca Juga: Berguru pada Seorang Loper Buta
Dengan beragam cara, kami mencari cara keluar dari sana di tengah ketiadaan akses ke dermaga kapal cepat. Akhirnya, setelah dibantu Wawan Darmawan, tokoh petani di Desa Sumber Mulya, kami berhasil memperoleh tumpangan kapal cepat yang bersedia berangkat dari dermaga kecil di desa itu dalam cuaca buruk.
Kebetulan, kapal cepat berkapasitas enam orang itu hendak menjemput satu keluarga di Palembang. Sore itu, atas bantuan berbagai pihak, kami berhasil mencapai Palembang. Lega rasanya.
Untuk melepas ketegangan, kami mampir di kedai kopi di pinggiran Sungai Musi. Saat itulah, masuk telepon dari Kasim (bukan nama sebenarnya), petani yang menjadi narasumber kami di Desa Daya Kesuma, Muara Sugihan, Kabupaten Banyuasin.
Ia memberitahukan bahwa informasi kedatangan kami di Banyuasin telah tersebar di kalangan pengecer di sana. Ia sendiri memperoleh informasi itu dari Fadil (bukan nama sebenarnya), pengecer kenalannya di Muara Sugihan.
Kami terkejut. Desa Daya Kesuma berjarak tempuh sekitar 2 jam perjalanan dengan kapal cepat dari Muara Telang. Begitu cepatnya kabar itu menyebar. Kami seperti memasuki jejaring yang rapat dan waspada.
Ketegangan selanjutnya kami rasakan ketika kami tiba di Desa Daya Kesuma keesokan harinya. Desa itu sama terpencilnya dengan Desa Sumber Mulya di Muara Telang. Begitu pula dengan kondisi jalannya yang tak jauh berbeda. Sejak awal, Kasim menginformasikan bahwa dirinya telah dihubungi oleh beberapa aparat terkait kedatangan kami. Bahkan, ada yang menawari untuk mengawal kami selama liputan di sana.
Baca Juga: Gurih yang Berakhir Perih Saat Melahap Ulat Sagu
Kami merasa semakin diawasi. Setiap gerak-gerik kami rasanya terpantau di segenap kawasan perkebunan kelapa dan kelapa sawit di sana.
Kami memilih menolak pengawalan. Kendati disebutkan untuk menjaga keamanan, pengawalan akan membuat kami merasa tak bebas bergerak ataupun melontarkan pertanyaan. Kasim kemudian mengatakan tidak akan ada pengawalan jika memang kami menolaknya.
Pada hari berikutnya, kami mewawancarai pengecer yang membawahkan Desa Daya Kesuma di Kecamatan Muara Sugihan. Di sana, lagi-lagi, seorang kerabat pengecer memotret kami dan menanggapi pertanyaan dengan sikap waspada. Sama seperti di desa sebelumnya, tak berapa lama, si kerabat juga menerima telepon. Ia beringsut ke dalam agar kami tak bisa mendengar percakapannya.
Di hari yang berbeda, masih di desa yang sama, saat kami mewawancarai Beni (bukan nama sebenarnya), distributor pupuk, ia juga menerima panggilan telepon di tengah-tengah wawancara. Berbeda dengan orang-orang sebelumnya, Beni lebih terbuka tentang siapa yang meneleponnya. ”Ini dari distributor kami di Palembang,” katanya. Ia kemudian menjelaskan kedatangan kami kepada si penelepon.
Baca Juga: Di Nusakambangan, Bertemu Buaya Muara hingga Ditipu Narapidana
Setelah menutup telepon dan melanjutkan percakapan dengan kami, tak sampai 30 menit, kembali teleponnya berbunyi. Kali ini, dari seorang pejabat Dinas Pertanian Kabupaten Banyuasin. Lagi-lagi, Beni menjelaskan kedatangan kami kepada si penelepon yang lokasinya di Pangkalan Balai, sekitar 4 jam perjalanan dari desa itu.
Kami semakin merasa tak nyaman dengan rangkaian telepon yang seolah menghantui selama proses liputan di desa-desa terpencil itu. Kami memutuskan memperpendek waktu peliputan di sana. Dari rencana tiga hari menjadi dua hari saja.
Kami ingin segera keluar dari desa yang berjarak tempuh sekitar 8 jam perjalanan darat dari Palembang itu. Mungkin kami hanya cemas berlebihan. Namun, lebih baik waspada daripada celaka. Malam itu juga, kami tiba kembali di Palembang. Satu pertanyaan tetap tak terjawab, mengapa para pelaku distribusi pupuk bersubsidi itu bersikap begitu waspada.