Momentum Pendewasaan Beragama
Agama memberikan peluang kepada pemeluknya berdialog dengan institusi kebenaran lainnya seperti sains. Menghadapi situasi seperti pandemi, respons normatif hanya berupa ajakan berdoa dan seruan moral saja tidak cukup.
Waktu bergerak begitu cepat dari 2021 ke 2022. Pada setiap pergan -tian tahun, mitologi Romawi Kuno diingat kembali. Januari, bulan pertama dalam kalender Masehi, terambil dari nama Dewa Janus, salah satu dewa menurut mitos Romawi Kuno. Dewa Janus bermuka dua. Yang satu menghadap ke belakang. Satunya lagi menghadap ke depan.
Wajah yang menghadap ke belakang berekspresi sedih dan muram. Sebaliknya, wajah yang menghadap ke depan, tampak tersenyum dan optimistis. Suasana kebatinan kita dalam memasuki tahun baru 2022, seperti gambaran mitologi Romawi Kuno itu.
Terdapat rangkaian episode kesedihan pada 2021. Menyerupai cerita dalam sinetron, kesedihan pada 2021 merupakan rangkaian dari episode tahun sebelumnya, 2020. Episentrum kesedihan itu adalah pandemi Covid-19. Sulit mengelak dari tsunami wabah yang semula merupakan fenomena lokal.
Pada gilirannya berbagai belahan bumi terdampak musibah berupa wabah, tidak terkecuali Indonesia. Setelah penyebaran varian Delta melandai, kini dunia diliputi kekhawatiran menyusul munculnya varian Omicron. Seperti ditulis Kompas (3/1/2022), memasuki 2022, status wabah Covid-19 sebagai pandemi tak berubah.
Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2021 tanggal 31 Desember 2021, menetapkan Covid-19 secara faktual masih terjadi di Indonesia.
Setelah Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret 2020, baik pemerintah maupun publik, pada mulanya terlihat cenderung mengelak (denial).
Masih terekam dalam ingatan sikap yang diperlihatkan justru oleh pemerintah yang cenderung meremehkan penyebaran virus korona, sebelum dinyatakan sebagai fenomena pandemik oleh WHO.
Alih-alih segera menyiapkan langkah-langkah kedaruratan, menteri yang menangani masalah kesehatan justru lebih memilih memberikan penghiburan kepada masyarakat dengan menyarankan berdoa agar tidak terpapar Covid-19. Respons pemerintah yang disebut beberapa media massa “gagap korona”, seharusnya tak terjadi jika sejak awal tidak melakukan penyangkalan (denial).
Yang paling dikhawatirkan terkait dampak Covid-19, setelah kesehatan dengan beragam implikasinya, adalah ekonomi.
Momen penerimaan
Setelah hampir genap dua tahun, telah terjadi transformasi sikap pada Covid-19. Merujuk kepada Ross, dunia telah menerima (acceptance) Covid-19 setelah terjadi penyangkalan (denial), amarah (anger), tawar-menawar (bargaining), dan depresi (depression).
Bentuk penerimaan paling nyata terhadap Covid-19 adalah melakukan penyesuaian perilaku di berbagai ruang aktivitas supaya setidaknya survivalitas masih terjaga. Yang paling dikhawatirkan terkait dampak Covid-19, setelah kesehatan dengan beragam implikasinya, adalah ekonomi.
Semua aktivitas yang dilakukan oleh manusia pada umumnya bertolak dari motif ekonomi. Karena di satu sisi aktivitas ekonomi tidak bisa menghindari interaksi antar-manusia yang terkadang dalam ukuran besar, sementara di sisi lain, penyebaran Covid-19 menyertai mobilitas manusia, maka pilihan pelik harus ditentukan.
Jika bukan dengan membatasi mobilitas dan pertemuan antar-manusia semisal penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dalam beragam level, bahkan jika terpaksa dilakukan penguncian atau karantina wilayah (lockdown).
Bermula dari masalah kesehatan dan berikutnya ekonomi, drama dan nestapa kemanusiaan muncul. Tidak sedikit yang kehilangan mata pencaharian secara mendadak dan penurunan secara signifikan kinerja perusahaan.
Bagi yang tidak memiliki kebertahanan secara psikologis, kecemasan berlebihan dan depresi akan menjadi fenomena individual dan sosial berikutnya. Dalam konteks kompleksitas permasalahan yang ditimbulkan oleh Covid-19 inilah, kita membutuhkan pegangan, sandaran atau rujukan bahkan tidak hanya digunakan untuk bertahan (survival), tetapi juga yang dapat memerkuat penerimaan dan membangkitkan harapan atau optimisme.
Di tengah peliknya masalah yang ditimbulkan pandemi Covid-19, agama menjadi subyek yang sering diperbincangkan, baik karena sebagai pihak terdampak, maupun yang diharapkan memberikan solusi. Karena terkait dengan sistem lainnya, dampak pada kehidupan keagamaan bergulir pula hingga ke sektor ekonomi.
Sekadar contoh, selama dua tahun terakhir, tidak ada lagi pergerakan secara berjamaah dari kalangan Islam untuk menunaikan ibadah haji. Ibadah umrah juga terdampak. Terdapat banyak rantai aktivitas ekonomi yang melambat bahkan terhenti secara tiba-tiba karena tertundanya pelaksanaan haji dan umrah.
Konstruksi teologis
Disrupsi pandemi Covid-19 terhadap wilayah keagamaan tak pelak memicu munculnya narasi-narasi keagamaan yang kontra-produktif terhadap penegakan protokol kesehatan untuk menekan penyebaran Covid-19. Kontra-narasi yang berlanjut penolakan terhadap protokol kesehatan dan tetap melaksanakan praktik keagamaan dengan pelibatan pengikut dalam jumlah yang banyak, memiliki kaitan dengan teologi yang dianutnya.
Teologi merupakan konstruksi terhadap ajaran agama untuk memahami relasi kuasa Tuhan dengan ciptaan-Nya.
Yang menjadi masalah dalam konteks Covid-19 adalah konstruksi teologis yang menempatkan manusia, tidak saja pada kondisi tidak berdaya, tetapi juga menyangkal terhadap kebenaran tesis sains terkait karakter virus, penyebaran, dampak, serta ikhtiar penangkalnya.
Konstruksi teologi yang demikian bisa disebut teologi fideisme-fatalistik. Fideisme adalah cara beragama yang lebih mengandalkan iman saja daripada penalaran ilmiah. Sedangkan fatalistik merupakan keyakinan atas ketidakberdayaan manusia mengubah sesuatu terutama yang buruk yang diyakini merupakan kehendak Tuhan. Bagi penganut teologi fideisme-fatalistik, kepatuhan terhadap protokol kesehatan, sama halnya dengan mengalihkan obyek kepatuhan dan ketakutan dari Tuhan kepada korona yang merupakan ciptaan Tuhan.
Dalam fideisme-fatalistik, dengan demikian terdapat kontradiksi apa yang disebut oleh Arthur D’Adamo, penulis Science Without Bounds: A Synthesis of Science, Religion and Mysticism (2004) antara religion’s way of knowing dengan science’s way of knowing. The religious way of knowing, menurut D’Adamo, “Menuntut penerimaan buta; keyakinannya teratur, tetap, tidak terbuka untuk kritik, revisi, dan perbaikan.” Sedangkan science’s way of knowing, “Mencegah penerimaan buta, dan menerima diskusi, kritik dan perbaikan”
Teologi fideisme-fatalistik ternyata berakar kuat pula pada entitas keagamaan tertentu yang memiliki organisasi yang terbilang berukuran besar serta memiliki rentang kendali hingga ke bawah. Kendati terdapat ketentuan secara formal dari organisasi untuk menerapkan pembatasan sosial (physical distancing) dan pembatasan pelaksanaan ibadah secara bersama, justru berbuah kecaman dan penolakan dari anggota atau jemaahnya sendiri.
Baca juga : Memahami Kemelut, Mengatasi Pandemi
Momentum pendewasaan
Dengan demikian, di satu sisi, pandemi Covid-19 merupakan cerminan atau refleksi kehidupan individual dan publik kita, termasuk di bidang keagamaan. Covid-19 telah memberikan penyadaran bahwa ada masalah dalam orientasi keberagamaan yang sekaligus mencerminkan ketidakdewasaan atau ketidakmatangan beragama (immature religiosity).
Dari beberapa dimensi agama berdasarkan konstruksi ahli-ahli psikologi dan sosiologi, ada satu dimensi yang menjadi perhatian karena menjadi penanda keberadaan dan keberlangsungan aktivitas keagamaan, yaitu dimensi ritual.
Dimensi ini berkait erat dengan dimensi keyakinan atau iman (belief). Pelaksanaan ritual menjadi pembuktian keyakinan (faith in action) atau disebut juga rightness in action (membenarkan iman/keyakinan melalui aksi nyata) antara lain melalui ibadah.
Konsep ibadah sejatinya memiliki cakupan yang luas seperti tergambar dalam konsep kesalehan sosial. Apa pun aktivitas yang dilakukan, dalam pandangan Islam, misalnya, sejatinya bermakna ibadah, jika dibingkai dengan kemurnian motif atau niat (ikhlas), ihsan (mencakup kebaikan dan kebajikan untuk semua), dan dilaksanakan dengan penuh kesungguhan (itqan).
Berdasarkan konsep universalitas ibadah ini, maka kendati tidak dilaksanakan di tempat-tempat ibadah tertentu semisal masjid dan gereja dan dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu pula, tetap merupakan ibadah dan manifestasi kesalehan (sosial).
Masalahnya, orientasi keberagamaan kita terlalu kuat pada praktik ritual dengan bertahan pada cara dari mazhab tertentu secara ketat bahkan dalam kondisi anomali dan tidak normal seperti pada masa pandemi.
Padahal prinsip beragama adalah memudahkan, tidak membebani, dan mengutamakan keselamatan jiwa.
Bila coba merujuk pada pandangan Islam, ambillah contoh yang ditulis Ibnu Hajar al-Asqalani, Badzl al-Ma’un fi Fadhl ath-Tha’un (Kitab Wabah dan Taun dalam Islam), terdapat ketentuan terkait praktik agama bila sedang terjadi wabah, yakni: 1. Tidak berkumpul sebisa mungkin; 2. Tidak meninggalkan daerah wabah; 3. Tidak mendatangi daerah wabah; 4. Tidak mendekati dan menjenguk korban terkena wabah; dan 5. Tidak berkumpul untuk doa bersama.
Menghadapi situasi kritikal dan krusial seperti pandemi, respons normatif hanya berupa ajakan berdoa dan seruan moral saja tidak cukup.
Dengan mengemukakan hal-hal seperti itu, al-Asqalani ingin mengingatkan dua hal penting dalam beragama, yaitu fleksibilitas pelaksanaan ritual dan prioritas keselamatan jiwa.
Pandemi Covid-19 memberikan momentum untuk merekonstruksi keberagamaan agar lebih kontekstual dan responsif dengan kondisi anomali dan tidak normal yang terkadang datang secara tiba-tiba dan tidak terduga. Agama sendiri sebenarnya telah menyediakan bahan yang lengkap untuk dijadikan rujukan.
Tentu dalam banyak kasus, persoalan, dan pertanyaan, solusi dari agama tidak detail. Namun menariknya, agama juga memberikan peluang kepada pemeluknya berdialog dengan institusi kebenaran lainnya seperti sains. Menghadapi situasi kritikal dan krusial seperti pandemi, respons normatif hanya berupa ajakan berdoa dan seruan moral saja tidak cukup. Perlu dukungan sains dan teknologi yang dapat memberikan solusi yang lebih terukur.
Kedewasaan beragama terlihat antara lain pada apresiasi terhadap penalaran dan temuan sains. Tetapi apresiasi kepada nalar dan temuan sains tidak cukup dinyatakan dalam ungkapan-ungkapan normatif, retorik, penuh pembelaan (apologetik) bahwa temuan yang dihasilkan sains telah menjadi isyarat Kitab Suci. Kedewasaan beragama harus dibuktikan juga dengan keterlibatan pranata-pranata keagamaan, terutama pendidikan tinggi.
Ada banyak organisasi keagamaan di Indonesia yang memiliki lembaga pendidikan tinggi. Sayangnya, banyak pendidikan tinggi yang berafiliasi pada keagamaan tertentu, baru menjalankan peran-peran superfisial dalam penanggulangan pandemi.
Ke depan, pendidikan tinggi yang berafiliasi pada keagamaan tertentu harus mencurahkan energi untuk melakukan riset yang memiliki nilai inovatif dan berdampak terhadap kemanusiaan berjangka panjang.
Syamsul Arifin Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Muhamamadiyah Malang