Polisi Gerak Cepat Tangani Kekerasan Seksual di Bogor
Kolaborasi serta tindakan cepat kepolisian dan pemerintah dibutuhkan masyarakat karena menumbuhkan asa keseriusan penanganan kasus.
BOGOR, KOMPAS — Kepolisian Resor Bogor menangkap ES (54) yang melakukan tindak kekerasan seksual kepada lima anak. Gerak cepat polisi dalam menindaklanjuti laporan warga atau keluarga korban ini sebagai upaya perlindungan terhadap korban.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bogor Ajun Komisaris Siswo DC Tarigan mengatakan, pihaknya langsung bergerak menangkap ES setelah mendapatkan laporan perbuatan tersangka, Rabu (19/1/2022).
Baca juga: Vonis 14 Tahun Penjara bagi Pelaku Pencabulan Anak Panti Asuhan di Depok
ES, seorang buruh harian lepas, melakukan aksi bejatnya kepada anak-anak yang datang untuk belajar mengaji kepada istrinya, SR, di wilayah Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
”Pelaku melancarkan aksinya kepada korban sebanyak lima anak, dengan waktu yang berbeda dan pada saat sendiri atau kondisi sepi. Tersangka memanfaatkan situasi ketika anak-anak selesai mengaji dan mengiming-imingi korban dengan uang Rp 3.000,” ujar Siswo, Minggu (23/1/2022).
Anak-anak yang saat itu sedang membersihkan ruangan setelah mereka belajar mengaji dihampiri oleh ES. Kepada salah satu korban, ES membujuk dan memberikan uang Rp 3.000.
”Selain memberikan uang, ES juga mengatakan ’mau pinter enggak’ kepada salah satu murid. Karena rasa takut anak itu menuruti yang diminta ES,” lanjutnya.
Alasan tersangka melakukan pencabulan kepada anak-anak di bawah umur, kata Siswo, karena istrinya terlihat lelah ketika diminta melayani ES. Dari keterangan keluarga, lanjutnya, salah satu anak masih dalam kondisi takut setelah pulang mengaji. Anak tersebut lalu menceritakan kepada ibunya bahwa ES telah melakukan perbuatan cabul.
Mengetahui hal tersebut, orangtua korban menanyakan kepada orangtua anak lainnya yang ikut mengaji di rumah SR (istri pelaku). Ternyata ada empat anak lain yang menjadi korban ES.
Akibat perbuatannya, tersangka akan dikenai Pasal 82 Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 15 tahun.
”Pihak kepolisian saat menangkap tersangka juga mengamankan barang bukti baju korban dan kami lakukan penyelidikan lebih lanjut. Anak-anak dalam perlindungan dan pendampingan,” ujar Siswo.
Sebelumnya, kasus kekerasan seksual juga terjadi di Kota Bogor. Kepolisian Resor Kota Bogor menangkap tiga pemuda pelaku kekerasan seksual kepada anak, NR (15).
Kepala Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Bogor Komisaris Dhoni Erwanto mengatakan, setelah mendapat laporan dugaan tindak kriminal kekerasan seksual dari keluarga korban, pihaknya langsung menyelidiki dan mengejar tiga pelaku, yaitu FMM (20), I (23), dan F (20).
”Aksi bejat mereka kepada anak di bawah umur, NR (15), pada Minggu (9/1/2022) sekitar pukul 21.30 di Kedungbadak, Tanah Sareal. Kami tangkap di rumah mereka masing-masing. NR dipaksa minum (minum alkohol jenis ciu), setelah itulah mereka melakukan aksi tindak kekerasan seksual,” ujar Dhoni.
Dhoni melanjutkan, awal tindak kekerasan terjadi saat NR diajak nongkrong oleh I. Mereka berdua berkenalan di media sosial Facebook. Setelah menjalin pertemanan cukup lama, NR tak keberatan diajak nongkrong. Namun, ternyata NR dibawa ke sebuah rumah kontrakan. Di rumah itu sudah ada FMM dan F. NR dan dua teman I tidak saling kenal.
Di rumah itu, korban diperkosa secara bergilir saat kondisinya sudah tidak kuat. ”NR dijemput I dengan alasan mau nongkrong. Mereka berdua awalnya berkenalan di medsos Facebook. Dari Facebook itu pula jadi jalan kami untuk menangkap pelaku,” ujarnya.
Akibat aksi bejatnya, mereka dikenai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman 15 tahun penjara.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Bogor Inspektur Satu Komang mengatakan, korban saat ini dalam perlindungan dan pemulihan setelah kejadian itu. Dari kasus kekerasan seksual ini, Komang berharap para orangtua untuk mawas dan mengawasi anak-anaknya agar tidak sembarang keluar rumah malam hari, apalagi dengan orang yang tidak terlalu kenal.
”Penting orangtua juga kenal dengan teman-teman anaknya. Jangan memberikan izin anak keluar rumah malam,” katanya.
Upaya perlindungan
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Livia Istania Iskandar mengapresiasi tindakan cepat kepolisian dalam laporan penanganan tindak kekerasan seksual.
Kolaborasi dan tindakan cepat kepolisian Bogor dan Kota Bogor, kata Livia, sangat dibutuhkan masyarakat karena ada rasa percaya bahwa polisi serius dalam penanganan kasus. Kepercayaan itu harus dipegang oleh kepolisian sebagai pelayan masyarakat.
Hal ini cukup beralasan karena beberapa kasus tindak kekerasan seksual, seperti di Kota Bekasi dan daerah lainnya, polisi tidak menunjukkan profesionalitas dan kinerja pelayanan dari laporan warga tidak cepat direspons hingga diambil tindakan cepat.
Ada kedewasaan di lingkungan kita bahwa mereka juga harus dilindungi dan dijaga. Sikap ini mendorong lingkungan menjadi sehat bahwa satu sama lain harus saling melindungi dan mendukung, bukannya justru menyalahkan korban.
Selain kinerja positif polisi, lanjutnya, warga atau keluarga korban juga sudah mulai terbuka untuk segera melaporkan kejadian kekerasan seksual. Meski begitu, para keluarga korban tetap harus mendapatkan perlindungan, terutama dalam hal psikologis oleh aparat penegak hukum, lembaga, negara, termasuk di lingkungan sosial. Kepastian perlindungan ini perlu dijaga agar keluarga dan korban tidak didiskriminasi atau dipandang negatif oleh lingkungan.
”Ada kedewasaan di lingkungan kita bahwa mereka juga harus dilindungi dan dijaga. Sikap ini mendorong lingkungan menjadi sehat bahwa satu sama lain harus saling melindungi dan mendukung, bukannya justru menyalahkan korban,” katanya.
Menurut dia, tindakan cepat dari kepolisian ini sebagai upaya penanganan dini dan komprehensif serta perlindungan bagi korban, terutama anak-anak yang dalam kondisi ketakutan. Tindakan cepat selanjutnya yaitu kepolisian Bogor dan Kota Bogor juga ikut memfasilitasi perlindungan dan pemulihan korban pasca-kejadian.
Livia melanjutkan, meski kepolisian sudah bergerak cepat dan dari beberapa penanganan kasus di pengadilan hakim menjatuhkan hukuman maksimal, perjuangan melawan tindak kekerasan seksual serta upaya perlindungan kepada anak-anak dan perempuan belum berakhir.
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diperkuat oleh negara dalam menghadirkan keberpihakan kepada korban. Hal itu perlu dukungan kuat pula oleh sinergisitas lintas sektor.
Untuk itu, katanya, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) diharapkan bisa menjadi kekuatan hukum untuk memastikan pemulihan korban secara penuh, layanan hukum yang komprehensif, hingga aparat penegak hukum yang memiliki perspektif baik atau berpihak kepada korban.
”Kita tidak ingin penanganan kasus kekerasan seksual berlarut. Korban harus lebih diperhatikan. Terkait psikologis ini belum maksimal. Ini perlu dipastikan dan diperkuat juga ke depan,” ujar Livia.
Baca juga: Perjuangkan Keadilan, Keluarga Korban Tangkap dan Serahkan Penjahat Seksual ke Polisi
Ia melanjutkan, penting pula dalam penanganan hukum yang komprehensif, pelaku tindak kekerasan seksual tidak hanya wajib membayar denda, tetapi juga pemenuhan hak restitusi.
”Terkait restitusi, ini penting secara hukum dan untuk para korban yang dibebankan kepada pelaku. Denda dari putusan hakim itu masuk ke negara, sementara restitusi untuk korban. Ini hak yang harus ada karena korban atau keluarga sudah berjuang dan ini untuk proyeksi psikologis korban juga,” tutur Livia.