Berangkat dipaksa keadaan, sebagian pekerja migran Indonesia harus merasakan sepi di negeri orang. Akibatnya, nasib keluarga yang ditinggalkan di Tanah Air semakin nelangsa.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Sudah 13 tahun Sutinih (42) tertahan di negeri orang. Selama itu pula, pekerja migran asal Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, ini tak berjumpa keluarga. Berbagai upaya dilakukan demi memulangkan Sutinih. Namun, entah kapan harapan itu terwujud.
Sri Rejeki (27) tersenyum memandang potret Sutinih di telepon selulernya, Sabtu (22/1/2022). Foto sang ibu yang mengenakan baju merah itu jadi pengobat rindunya. Tidak jarang, mata Sri memerah, lalu menjatuhkan air mata ketika melihat gambar itu. “Pengin banget ada di samping ibu,” ucapnya.
Sri masih duduk di bangku SMP kelas 1 waktu sang ibu mengadu nasib ke luar negeri, Desember 2008. Adiknya, bahkan masih berusia tiga tahun kala itu. Bapaknya, Casrudin (50), juga tidak punya pilihan lagi selain mengizinkan Sutinih menjadi pekerja migran.
Casrudin tak punya pekerjaan dan penghasilan tetap. Kadang jadi buruh tani, nelayan, dan kuli bangunan. “Bapak terlilit utang. Enggak tahu berapa. Keluarga juga pengin punya rumah sendiri,” ucap Sri yang gagal melanjutkan pendidikan ke SMA karena persoalan biaya.
Awalnya, Sutinih direkrut sponsor atau calo asal Balongan. Melalui perusahaan penyalur pekerja migran di Bekasi, ia menjadi pekerja rumah tangga untuk seorang warga Irak yang kerja di Uni Emirat Arab. Setelah setahun, Sutinih baru berkabar kepada keluarga di Indramayu. Itu pun memakai telepon majikannya.
“Ternyata, ibu sudah pindah ke Irak, tidak melalui agen,” ucap Sri. Komunikasi Sutinih dengan keluarga pun timbul tenggelam. Paling cepat, ibunya menelepon sebulan sekali. Kiriman uang sekitar Rp 6 juta juga hanya sekali dalam empat atau lima bulan. Alhasil, keluarga masih kesulitan. Belakangan, adik Sri tidak mampu lanjut ke sekolah menengah pertama.
Ketika tersambung dengan sang ibu, Sri selalu memintanya pulang. Namun, majikannya yang dipanggil "madam" melarang. “Ibu kangen sama kampung halaman sampai sakit, diinfus. Tapi, enggak dipulangin. Gaji sekitar empat tahun juga belum dibayar. Untungnya, ibu enggak pernah mendapat kekerasan,” ungkapnya.
Kondisi itu membuat Sri dan Casrudin memutar otak agar Sutinih kembali. Sejumlah orang pernah berjanji membantu. Keduanya juga pernah meminta pertolongan dukun. Namun, bukannya bertemu Sutinih, keluarga malah kehabisan uang. Mereka belum melapor ke pemerintah setempat karena tidak tahu mekanismenya.
Pada saat yang sama, Sri terus mendesak majikan untuk mengembalikan ibunya. Melalui pesan WhatsApp, ia menggunakan aplikasi berbahasa Arab agar berkomunikasi dengan si "madam". Titik terang mulai datang dua tahun terakhir saat Sri meminta telepon video dengan ibunya. Si majikan mengizinkan.
“Senang banget bisa tatap muka lewat video call. Wajah ibu sedikit berubah. Saya menangis. Ibu juga nangis lihat anak dan cucunya,” kata Sri yang menjadi orangtua tunggal untuk anaknya berusia 2,5 tahun. Saking bahagianya, Sri sampai menunjukkan telepon video itu kepada tetangganya.
Akan tetapi, kehadiran Sutinih di tengah keluarga tetap yang utama. Sayangnya, majikannya belum memberi lampu hijau. Casrudin pun melaporkan hal itu ke Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Indramayu, pertengahan Desember 2021. Kabar tersebut menyebar di media massa dan sosial.
Pada Selasa (11/1/2022), Sri menerima surat dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler. Surat yang ditandatangani Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Judha Nugraha itu menyebutkan, Kedutaan Besar RI Baghdad di Irak telah menelusuri keberadaan Sutinih.
Akan tetapi, dari tiga nomor telepon yang diberikan Sri, dua di antaranya tidak aktif. Pihak yang menerima telepon juga mengaku tidak mengenal Sutinih. Begitupun rumah yang didatangi petugas, Sutinih tak ditemukan. KBRI juga kesulitan melacak karena Sutinih dibawa majikan dari UEA ke Irak, tanpa melalui perusahaan penyalur pekerja migran.
Anehnya, ketika Sri menelepon, Kamis (6/1) lalu, ibunya meminta agar keluarga tak lagi melapor ke pemerintah. Katanya, majikan ibu marah-marah. “Ibu nanti dipulangkan pertengahan tahun ini. Kemarin-kemarin juga ngomong gitu, tapi buktinya mana? Pulangkan ibu. Kalau perlu, saya yang gantiin ibu di sana,” tegasnya saat mengirim pesan ke majikan itu.
Sutinih merupakan potret pekerja migran yang hilang kontak. Sebelumnya, Turini pekerja migran asal Cirebon, juga baru bisa pulang pada 2019 setelah dilarang keluar rumah oleh majikannya di Arab Saudi sejak 1998 atau selama 21 tahun. Majikan mengganti alamat dan nama Turini agar tidak terdeteksi petugas. Ia bebas setelah temannya melapor ke media sosial.
Rokaya (40), pekerja migran asal Indramayu, juga nyaris tertahan di Irak. Ibu dua anak ini terbang ke Irak pada Januari 2021 karena ditawari gaji besar dan terjerat utang. Sekitar 10 bulan di sana, istri nelayan ini sakit. Ia juga mengeluhkan gaji yang tidak sesuai janji perekrut. Ia pun mengadu ke Presiden Joko Widodo. Videonya yang viral membawanya kembali ke tanah air.
“Sekarang, kondisi Bu Rokaya lumayan membaik, tetapi masih ada rasa tegang di kepala dan leher. Nanti, mau urus kartu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan untuk berobat,” tutur Desty Puspa (29), adik Rokaya, yang beberapa kali mengucapkan terima kasih kepada Presiden Jokowi karena memulangkan kakaknya.
Kepala Bidang Penempatan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja Indramayu Johar Manun mengatakan, masalah yang dihadapi pekerja migran berawal dari perekrutan unprosedural. “Mereka pergi tidak melalui dinas. Giliran kecelakaan (bermasalah), baru melapor. Pemerintah tetap harus bisa mengayomi,” ujarnya.
Oleh karena itu, pihaknya terus berupaya mencegah pekerja migran melalui jalur ilegal. Selain sosialisasi kepada kepala desa, Johar juga berencana merekrut dua purna pekerja migran di setiap desa tahun ini. Mereka diharapkan memastikan calon pekerja migran memenuhi ketentuan, seperti cukup umur, mendapat izin keluarga, hingga memahami hak-haknya.
Disnaker juga menjalankan program Perempuan Berdikari yang memberdayakan purna pekerja migran dalam bentuk pelatihan kewirausahaan hingga pendampingan akses permodalan. Tahun lalu, program berlangsung di 10 kecamatan, seperti Balongan, Losarang, Tukdana, dan Cantigi. “Setiap kegiatan, ada 20 peserta. Targetnya, program ini ada di 31 kecamatan,” paparnya.
Koordinator Advokasi SBMI Juwarih menilai, pemerintah bisa mencegah penyaluran pekerja migran unprosedural dengan penegakan hukum yang tegas. Apalagi, sejumlah kasus, seperti Rokaya, diduga merupakan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang meliputi proses, cara, dan tujuan.
Misalnya, proses perekrutan hingga pemindahan calon pekerja tidak sesuai prosedur. Caranya juga berupa penipuan, pemalsuan dokumen, hingga penjeratan utang. Adapun tujuannya, mengeksploitasi pekerja migran, seperti beban kerja berlebih dan tidak menerima gaji yang sesuai. Jika unsur tersebut terpenuhi, pelaku bisa ditindak dengan ancaman TPPO.
“Jadi, memulangkan pekerja migran, seperti Bu Rokaya saja tidak cukup. Kasus ini harusnya jadi pintu masuk untuk mencari pelaku agar ada efek jera bagi perekrut pekerja migran secara unprosedural,” ujar Juwarih.