Lewat pagelaran busana yang diselenggarakan kembali secara virtual, desainer Sebastian Gunawan dan Cristina Panarese melalui jenama Sebastian Gunawan Signature mengajak berkelana ke masa silam.
Oleh
RIANA AFIFAH
·4 menit baca
Di tengah hiruk pikuk masa kini, pikiran terkadang mengembara ke masa lalu. Sekadar mengingat untuk tetap berjalan melanjutkan hidup dengan pengalaman di waktu yang lampau. Bukankah yang terjadi di era sebelumnya adalah yang membentuk kita saat ini?
Lewat pergelaran busana yang diselenggarakan kembali secara virtual, desainer Sebastian Gunawan dan Cristina Panarese melalui jenama Sebastian Gunawan Signature mengajak berkelana ke masa silam. Koleksi bertajuk Yao Xiang Wang Xi dalam rangka Imlek 2022 dirilis berbentuk video berdurasi 11 menit pada Selasa (18/1/2022).
Bagi Seba, sapaan akrab Sebastian Gunawan, Yao Xiang Wang Xi digambarkannya seperti sedang berada di atas gunung yang tinggi dan melihat pemandangan begitu indah di bawah hingga kemudian mengingat apa yang terjadi di masa lampau. Karya kali ini pun semacam bentuk refleksi diri.
”Kita tidak terlepas dari ikatan masa lalu ketika menyongsong masa depan. Baju dalam koleksi kali ini terinspirasi dari busana China di masa lampau, lalu mencoba menginterpretasikan ke dunia zaman sekarang. Mengambil acuannya dari masa lampau punya pakaian, tapi siluetnya berkaca ke modern,” ungkap Seba ketika berbincang di kawasan Suryopranoto, Jakarta, Rabu (12/1/2022).
Sebanyak 39 tampilan disuguhkan pada koleksi kali ini. Masih memegang pakem seperti koleksi Imlek sebelumnya, Seba lebih memilih warna marun untuk sejumlah busananya. Bukan merah menyala seperti yang identik dengan perayaan Imlek. Namun, kali ini, sejalan dengan busana Tiongkok masa silam, pemilihan warnanya pun disesuaikan.
Apabila menilik sejarah dinasti di Tiongkok pada setiap periodenya, warna yang dihadirkan justru bukan merah. Sesekali ada marun, tapi yang acap kali terlihat adalah ungu muda, pink muda, hijau limau, kuning muda, coklat muda, hingga biru dongker. Selintas mengingatkan pada ragam busana yang dikenakan dalam serial Putri Huanzhu yang populer pada pertengahan 1990-an.
Namun, pada presentasi virtual yang dibuat di dalam sebuah studio ini, setiap warna sengaja dikelompokkan dan ditampilkan terpisah. Pertama dibuka dengan deretan busana dominasi putih. Lalu, disusul dengan aneka pakaian bernuansa hijau limau dan seterusnya.
”Memang mengambil banyak period (dinasti). Bahkan, beberapa dikombinasikan juga dengan budaya Barat, seperti motif bunganya yang lebih ke arah Eropa klasik. Siluetnya juga dipadukan dengan tren modern yang ada, seperti transparan seethrough, jumpsuit, asimetris,” ujar Seba.
Memang jika dicermati satu per satu, siluet pakaian seperti yang dikenakan pada Putri Huanzhu yang berada pada periode waktu Dinasti Qing digubah oleh Seba. Detail seperti aksen pada bagian kerah yang memanjang seperti dasi dipertahankan, tapi siluet busana yang lebar sengaja dibuat lebih ramping dengan lengan asimetris. Ada pula yang tampak depan seperti gaun panjang, tapi ternyata merupakan jumpsuit.
Gaya cheongsam yang menjadi ciri khas pakaian Imlek jelas tak ditinggalkan. Namun, kali ini ia memodifikasinya. Tak melulu berpotongan di tengah, tetapi ada yang sengaja dibuat menyamping atau malah potongannya dibuat lebih lebar. Bahkan, siluet gaun cheongsam qipao yang sedikit ketat jatuh di lutut dimodifikasi secara asimetris pada bagian lengan dan potongan separuh motif bunga dengan separuh atasnya mengambil konsep colorblock warna dongker dan marun.
Busana pada era Dinasti Ming yang berupa kemeja longgar dan menggantung di luar rok bordir berlipit, yang terasa mirip Hanbok Korea, juga dibuat lebih segar dengan atasannya yang diubah menjadi model croptop. Busana pada masa itu yang lebar dan lurus dibuatnya lebih ramping, bahkan ada yang sengaja dimodifikasi menjadi mini dress atau babydoll, tapi detail khas pada bagian kerah tidak dihilangkan karena menjadi penandanya.
Ada pula yang sengaja dibuat dress bertumpuk transparan di bagian bawah yang terlihat segar dan modern meski kerah cheongsam tetap jadi pilihan pada detail atasnya.
Permainan motif
Pakaian yang digunakan para perempuan Tiongkok di masa silam juga identik dengan motif. Untuk itu, Seba menggunakan burung bangau dan bunga sebagai motif andalannya. Aplikasi burung bangau ala lukisan Cina dijahitkan di atas bahan halus. Ada yang menjadi detail pada modifikasi gaun yang diubah menjadi ponco tipis menerawang dengan ornamen bangau dan manik-manik.
Inspirasi kimono juga dikombinasikan kali ini sebagai luaran sebatas dada dengan warna emas yang mewah. Semua ini diwujudkan dengan berbagai bahan yang ringan, seperti tile dan crepe. Ada juga yang menggunakan sequin dengan ornamen renda, payet, dan manik-manik. Ciri khasnya yakni bulu yang menjadikannya gaun-gaun mewah kaya ornamen juga tak ketinggalan.
”Kalau mengacu ke masa kerajaan di masa lampau itu, bahannya berat. Silk yang berat. Ini visinya dibuat lebih ringan sehingga yang mengenakan juga nyaman. Pilihan bahan-bahan ini karena hasilnya memang terasa ringan digunakan dan lebih ramping,” katanya.
Meski telah dikonsepkan sejak lama, proses pengerjaan masuk ke dalam studio cukup singkat. Dari pergelaran terakhirnya yang bertajuk Fairies’ Ball, hanya berjarak sekitar dua bulan. ”Untuk selanjutnya, aku lebih cepat saja yang koleksi tahunan. Biar enggak kayak sekarang, baru selesai sudah nyiapin lagi yang ini walau konsepnya sudah lama sebenarnya,” ungkap Seba.
Ya, tahun baru memang momen untuk merencanakan masa depan, tapi tanpa melihat pada masa lalu, bukan tidak mungkin kesalahan yang sama bisa berulang. Untuk masa depan yang lebih baik.