Pelukis Sindudarsono Sudjojono alias S Sudjojono kerap mensketsa sebelum melukis. Menurutnya, sketsa menunjukkan kemampuan teknis seniman.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Maestro seni Sindudarsono Sudjojono (1913-1986) pada tahun 1970 pernah berkata, “Buat saya, sketsa itu penting sekali. Dengan warna, orang bisa menipu. Dengan tema, orang bisa ngibulan si penglihat. Dengan sketsa, orang tidak bisa bohong, dia tidak bisa lain daripada bares (jujur)."
Menurut dia, gelar pelukis besar, master, hingga pelukis kelas berat yang disematkan pada seseorang bisa diverifikasi lewat buku sketsanya. “Bukti si master atau si pelukis gede itu terlihat di garis-garis sketsa hitam putih tadi. Menurut pengalaman saja (saya), kalau bisa saja lihat sketsa-sketsa mereka, kasian, banjak mereka bergelimpangan di bawah tanah.”
Sudjojono banyak mencorat-coret kertas sebelum mulai melukis. Isi coretannya macam-macam, mulai dari sketsa wajah, tangan, panji-panji kerajaan zaman dulu, serta catatan pemikiran dan hasil risetnya tentang objek lukisan. Singkatnya, sketsa serupa jurnal visual Sudjojono.
“Sketsa bagi saya adalah catatan harian. Aantekening (catatan) perasaan saya, gambaran pikiran saya, visualisasi peristiwa saya. Sketsa adalah potongan-potongan autobiografi,” katanya pada 1981.
Lukisan berjudul Pertempuran antara Sultan Agung dan Jan Pieterszoon Coen yang dibuat Sudjojono juga didahului dengan sketsa. Ada 38 sketsa studi yang ia buat. Ada pula kertas-kertas lain berisi catatan risetnya.
Lukisan Pertempuran antara Sultan Agung dan Jan Pieterszoon Coen merupakan salah satu lukisan ikonik Sudjojono. Lukisan ini dibuat pada 1974 atas permintaan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin untuk peresmian Museum Sejarah Jakarta. Versi asli lukisan ini dipajang di Museum Sejarah Jakarta.
Sudjojono butuh waktu lama untuk merampungkan lukisan ini. Lukisan dengan dimensi 3 meter x 10 meter tersebut dibuat selama tujuh bulan. Ia membagi lukisan ini menjadi tiga bagian. Untuk membuat bagian pertama yang menggambarkan kebesaran Sultan Agung, Sudjojono membuat lima sketsa.
Sudjojono ingin melukiskan Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma sebagai penguasa Kerajaan Mataram dengan tepat. Ia pun mempelajari posisi duduk, posisi tangan, ekspresi wajah, pakaian kebesaran sultan, motif pakaian, hingga siapa saja orang yang biasanya berada di sekitar sultan.
Ia juga meriset sosok JP Coen untuk digambarkan di lukisan bagian ketiga. Sementara itu, bagian kedua lukisan menggambarkan perang antara pasukan Sultan Agung melawan pasukan JP Coen setelah negosiasi antara kedua belah pihak tidak menemui titik terang.
Riset
Jika lukisan itu digarap dalam tujuh bulan, Sudjojono sebelumnya menghabiskan tiga bulan untuk riset. Ia mengunjungi Jakarta, Solo, hingga Belanda untuk mengumpulkan data. “Bapak ingin sekali semuanya berdasarkan data, jadi tidak ngarang. Mungkin sebagai orang Indonesia, kita akan memihak (pada Sultan Agung). Tapi, sebagai seniman, dia mau (melukis) dari sisi yang netral. Dia menggabungkan kreativitas dengan hasil riset,” kata perwakilan S Sudjojono center sekaligus putri Sudjojono, Maya Sudjojono, pada pertemuan daring, Jumat (21/1/2022).
Menurut pendiri Museum Tumurun, Iwan K Lukminto, ada proses panjang dan detail di balik karya yang besar. Ketekunan Sudjojono dalam berkarya dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda. “Tidak ada proses yang instan. Kebanyakan orang sekarang maunya instan,” katanya.
Sementara itu, kurator pameran Santy Saptari mengatakan, sketsa dan catatan tersebut menunjukkan Sudjojono sebagai sosok yang rapi dan sistematis. Sketsa itu juga memberi pemahaman tentang cara bekerja, pemikiran, perasaan, pengambilan keputusan, kesulitan, hingga pertanyaan yang dihadapi Sudjojono selama membuat lukisan ini.
Sketsa-sketsa dan catatan riset Sudjojono dipamerkan ke publik dalam pameran Mukti Negeriku: Perjuangan Sultan Agung Melalui Goresan S Sudjojono. Adapun pameran ini digelar hingga 28 Februari 2022. Sudah ada sekitar 5.000 orang yang berkunjung ke pameran itu selama beberapa bulan terakhir.
Pameran dapat diakses secara luring di Museum Tumurun, Surakarta, Jawa Tengah. Publik bisa mengunjungi museum secara gratis dengan melakukan registrasi secara daring sebelum datang.
Pesan lukisan
Meski bercerita tentang perang, tidak ada darah pada lukisan Pertempuran antara Sultan Agung dan Jan Pieterszoon Coen. Maya mengatakan, Sudjojono tidak suka kekerasan. Lukisan tersebut sekaligus menyuarakan gagasan Sudjojono bahwa berembuk satu kali lebih baik daripada perang.
Pada catatan kuratorialnya, Santy menyebut ada tiga pesan yang disampaikan Sudjojono melalui lukisan ini. Pertama, pentingnya berunding daripada perang; kedua, persamaan derajat antara bangsa Indonesia dengan Belanda; dan ketiga, pentingnya kerja sama untuk masa depan hubungan kedua negara.
“Sudjojono tidak sebatas memvisualisasi pertempuran bersejarah antara Sultan Agung dan JP Coen, tapi ia sekali lagi mengingatkan kita akan pentingnya cinta, semangat juang, dan harga diri suatu bangsa,” kata Santy.
Pameran Mukti Negeriku, menurutnya, menjadi wadah untuk mengenal dua tokoh penting, yaitu Sultan Agung sebagai tokoh sejarah dan Sudjojono sebagai tokoh sejarah seni rupa Indonesia. Pameran ini disertai pula dengan lokakarya sketsa buat publik bekerja sama dengan Bentara Budaya. Dalam pameran diluncurkan pula buku Sultan Agung dalam Goresan S Sudjojono.